Salah satu istilah yang sangat familiar dalam sejarah budaya masyarakat Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yakni BELIS. Belis terkait dengan upacara perkawinan yang sakral.Â
Tidak ada definisi yang jelas tentang belis. Namun, masyarakat Manggarai memaknai belis sebagai bentuk penghormatan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.
Belis bisa berupa uang tunai, barang dan hewan peliharaan. Contohnya uang sebesar Rp 300.000.000, kain songke 1 buah, dan 3 ekor kerbau. Tergantung permintaan keluarga perempuan.
Budaya belis ini sudah sejak lama hidup dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Tidak ada referensi tertulis yang menunjukkan kapan budaya belis ini muncul.Â
Sebab, kebudayaan Manggarai dan mungkin juga kebuyaan-kebudayaan di daerah lain di Indonesia, tidak dibuat secara tertulis. Budaya belis ini hanya diceritakan secara lisan dari suatu generasi ke generasi  berikutnya sehingga tetap hidup.
Besarnya jumlah nominal dan jumlah hewan yang akan menjadi belis seorang perempuan Manggarai sangat tergantung pada kesepakatan antara keluarga perempuan (anak rona) dan keluarga laki-laki (anak wina).Â
Keluarga perempuan dan keluarga laki-laki berkumpul di rumah adat (mbaru gendang) untuk menyepakati jumlah belis. Â
Biasanya keluarga perempuan dan keluarga laki-laki mempercayai salah satu tokoh masyarakat yang dipandang memiliki kemampuan berbicara yang baik, untuk  menjadi juru bicara.
Proses pembicaraan pengambilan keputusan jumlah belis membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan kadang-kadang diskusi antara kedua juru bicara tidak menemukan titik temunya.Â
Artinya, permintaan belis dari keluarga perempuan tidak diterima oleh keluarga laki-laki. Misalnya, keluarga perempuan meminta belis sebesar Rp 300.000.000, sementara keluarga laki-laki hanya membawa uang sebesar Rp 150.000.000.Â
Jadi, permintaan keluarga perempuan tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga laki-laki.
 Belis Mahal  Bentuk Penyimpangan Adat Perkawinan Manggarai
Seiring perkembangan pola pikir dan perkembangan budaya Manggarai, belis akhirnya menjadi momok yang menakutkan bagi pemuda Manggarai yang hendak menikah karena jumlah nominalnya seringkali sesuka hati keluarga perempuan. Dengan demikian, belis akhirnya menjadi bentuk penyimpangan terhadap budaya perkawinan Manggarai.
Belis yang sejatinya menjadi budaya sakral dan lambang penghargaan terhadap keluarga perempuan dalam perkawinan Manggarai lantas menjadi momen untuk "menjual" anak perempuan kepada keluarga laki-laki.Â
Keluarga perempuan mengkalkulasi berapa banyak duit yang dihabiskan oleh orang tua untuk menafkahi anak perempuannya dari kecil hingga menyelesaikan pendidikan S1. Besarnya jumlah duit tersebut harus dikembalikan oleh keluarga laki-laki.
Kalkulasi untung rugi seperti itu, hemat penulis, sama halnya "menjual" anak perempuan. Sangat miris dan tak masuk akal. Padahal para pendahulu yang pertama kali melaksanakan upacara perkawinan tidak menuntut belis yang melangit seperti saat ini.Â
Para pendahulu sangat menjunjung tinggi budaya perkawinan. Sebab, melalui upacara perkawinan ini terciptalah hubungan yang harmonis antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki.
Dampak Buruk Mahalnya Belis
Mahalnya jumlah belis yang diminta keluarga perempuan pada keluarga laki-laki telah memberikan dampak buruk terhadap pasangan calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki. Ada tiga dampak yang muncul.
Pertama, para perempuan Setres. Tak sedikit jumlah perempuan Manggarai yang stres karena gagal nikah. Gagal nikah ini disebabkan oleh mahalnya belis yang diminta oleh keluarga perempuan.Â
Bahkan ada fakta dimana calon pengantin perempuan yang akhirnya melakukan aksi bunuh diri hanya karena gagal nikah. Sangat miris, bukan?
Kedua, hamil di luar nikah. Banyak perempuan Manggarai yang hamil di luar nikah. Hal tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan antara laki-laki dan perempuan.Â
Mereka melakukan hubungan seks ilegal karena mahalnya belis yang diminta. Sehingga ketika dilaksanakan acara perkawinan adat, belis yang diminta pun tidak terlalu mahal.
Ketiga, menikahi perempuan di luar Manggarai. Mahalnya belis menyebabkan pemuda Mangarai menikahi perempuan di luar Manggarai, misalnya menikah dengan perempuan Jawa, Medan, Papua, dll.Â
Pemuda Manggarai berpikir bahwa lebih baik menikahi perempuan dari daerah lain daripada harus memerima mahalnya belis yang mengakibatkan rantai kemiskinan di Manggarai tak kunjung putus.
Penutup
Budaya di mana-mana di Indonesia ini mesti dijunjung tinggi apapun jenis budayanya. Bahkan menempatkan budaya setaraf dengan agama sejauh nilai-nilai budaya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.Â
Akhir penulis berharap, agar kita sungguh-sungguh mencintai dan menghidupkan budaya daerah masing-masing. Jangan menjadikan budaya sebagai alat untuk meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya, seperti yang terjadi dalam upacara perkawinan masyarakat Manggarai.
Perempuan adalah bukti cinta Tuhan untuk manusia, sebab melalui para perempuanlah muncul generasi-generasi baru yang dapat meneruskan sejarah peradaban manusia di dunia ini. Oleh karena itu, janganlah "menjual" anak perempuan  dengan meminta belis yang mahal!Â
Salam cerdas dalam berbudaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H