Jadi, permintaan keluarga perempuan tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga laki-laki.
 Belis Mahal  Bentuk Penyimpangan Adat Perkawinan Manggarai
Seiring perkembangan pola pikir dan perkembangan budaya Manggarai, belis akhirnya menjadi momok yang menakutkan bagi pemuda Manggarai yang hendak menikah karena jumlah nominalnya seringkali sesuka hati keluarga perempuan. Dengan demikian, belis akhirnya menjadi bentuk penyimpangan terhadap budaya perkawinan Manggarai.
Belis yang sejatinya menjadi budaya sakral dan lambang penghargaan terhadap keluarga perempuan dalam perkawinan Manggarai lantas menjadi momen untuk "menjual" anak perempuan kepada keluarga laki-laki.Â
Keluarga perempuan mengkalkulasi berapa banyak duit yang dihabiskan oleh orang tua untuk menafkahi anak perempuannya dari kecil hingga menyelesaikan pendidikan S1. Besarnya jumlah duit tersebut harus dikembalikan oleh keluarga laki-laki.
Kalkulasi untung rugi seperti itu, hemat penulis, sama halnya "menjual" anak perempuan. Sangat miris dan tak masuk akal. Padahal para pendahulu yang pertama kali melaksanakan upacara perkawinan tidak menuntut belis yang melangit seperti saat ini.Â
Para pendahulu sangat menjunjung tinggi budaya perkawinan. Sebab, melalui upacara perkawinan ini terciptalah hubungan yang harmonis antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki.
Dampak Buruk Mahalnya Belis
Mahalnya jumlah belis yang diminta keluarga perempuan pada keluarga laki-laki telah memberikan dampak buruk terhadap pasangan calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki. Ada tiga dampak yang muncul.
Pertama, para perempuan Setres. Tak sedikit jumlah perempuan Manggarai yang stres karena gagal nikah. Gagal nikah ini disebabkan oleh mahalnya belis yang diminta oleh keluarga perempuan.Â
Bahkan ada fakta dimana calon pengantin perempuan yang akhirnya melakukan aksi bunuh diri hanya karena gagal nikah. Sangat miris, bukan?