Doom Spending ialah suatu fenomena di mana ketika seseorang akan menghabiskan uang mereka secara implusif atau secara berlebihan dengan dalih atas respon terhadap stress, kecemasan, atau perasaan negative yang tengah dialaminya. Istilah ini juga mulai muncul kembali dikarenakan dengan pergeseran perilaku konsumsi masyarakat, terutama selama mnegalami krisi pandemi Covid-19.Â
Dalam konteks pembahasan kali ini ialah terkait budaya konsuptif seseorang dalam belanja berbagai macam dengan mudahnya melalui e-commerce sebagai pelarian diri dari ketidakpatian dan tekanan sosial yang tengah mereka alamai, meskipun secara sadar seringkali mereka membelanjakan barang-barang yang mereka beli namun tidak benar-benar merka perlukan ataupun butuhkan.
Sejarah Doom Spending di Kalangan Gen-Z
Fenomena doom spending tidak sepenuhnya baru, tetapi kemunculannya semakin populer di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z (mereka yang lahir antara 1997 dan awal 2010-an). Gen Z tumbuh di era digital yang serba cepat dan terhubung dengan internet. Mereka terpapar budaya konsumsi dan media sosial sejak usia dini, yang secara signifikan mempengaruhi perilaku belanja mereka. Adanya akses mudah ke aplikasi e-commerce, penawaran diskon online, dan rekomendasi produk dari influencer di platform seperti Instagram dan TikTok membuat belanja impulsif semakin sulit dihindari.
Mengapa Doom Spending Marak di Kalangan Gen Z?
Doom spending tumbuh subur di kalangan Gen Z karena pengaruh besar dari media sosial dan digitalisasi kehidupan sehari-hari. Media sosial menjadi sarana utama bagi mereka untuk berinteraksi, mengikuti tren, dan membangun identitas diri.Â
Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi dengan konten dari influencer yang sering kali menampilkan gaya hidup konsumtif. Mereka mempromosikan produk-produk baru dengan pesan bahwa kebahagiaan atau status sosial bisa dicapai melalui konsumsi. Hal ini menciptakan tekanan bagi Gen Z untuk selalu mengikuti at mereka terus terpapar promosi barang yang dianggap relevan, mendorong belanja impulsif yang tidak terencana.
Gen Z juga menghadapi ketidakpastian yang tinggi, baik dalam hal ekonomi, pendidikan, maupun pekerjaan. Situasi ini menciptakan kecemasan yang seringkali diatasi dengan belanja sebagai bentuk pelarian sementara dari tekanan. Doom spending menawarkan kepuasan instan, meskipun bersifat sementara, karena belanja memberikan perasaan sejenak bahwa mereka bisa mengendalikan sesuatu di tengah ketidakpastian hidup.
Dampak Buruk Doom Spending
Salah satu dampak utama dari doom spending adalah masalah keuangan jangka panjang. Gen Z, banyak di antaranya belum stabil secara ekonomi, bisa terjebak dalam hutang akibat kebiasaan belanja yang tidak terkendali. Pengeluaran impulsif ini sering kali membuat mereka mengabaikan prioritas keuangan seperti menabung, membayar hutang, atau berinvestasi. Ketika hutang menumpuk, terutama melalui kartu kredit atau pinjaman online, beban finansial mereka semakin berat dan sulit diatasi.
Doom spending juga berdampak buruk pada kesehatan mental. Meskipun memberikan kepuasan instan, perilaku ini sering diikuti oleh rasa bersalah dan penyesalan setelahnya. Gen Z mungkin menyadari bahwa barang-barang yang mereka beli sebenarnya tidak diperlukan, namun tetap merasa terdorong untuk berbelanja lagi saat menghadapi tekanan emosional. Lingkaran setan ini memperburuk kecemasan, menciptakan pola berulang di mana mereka terus mencari kepuasan sementara melalui konsumsi material.
Selain itu, doom spending juga menciptakan kontradiksi dengan nilai-nilai keberlanjutan yang banyak dianut oleh Gen Z. Sebagai generasi yang umumnya lebih sadar lingkungan, perilaku konsumtif ini berseberangan dengan upaya mereka untuk mengurangi jejak karbon dan mendukung praktik yang lebih ramah lingkungan. Banyak produk yang mereka beli, terutama dari fast fashion, berkontribusi pada polusi dan limbah lingkungan, yang akhirnya bertentangan dengan komitmen mereka terhadap keberlanjutan.
Solusi Mengatasi Doom Spending
Untuk mengatasi doom spending, penting bagi Gen Z untuk mulai memprioritaskan pendidikan finansial. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang cara mengelola uang, membuat anggaran, dan menabung, mereka bisa lebih bijaksana dalam pengeluaran. Mengurangi waktu di media sosial dan membatasi paparan terhadap iklan juga bisa membantu menghindari godaan untuk berbelanja impulsif.
Terakhir, mencari cara sehat untuk mengatasi stres, seperti meditasi, olahraga, atau aktivitas kreatif, dapat menjadi alternatif yang lebih efektif dan berkelanjutan daripada menggunakan belanja sebagai pelarian dari tekanan emosional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H