Harga rata-rata sebuah mobil listrik, bahkan untuk model kecil, berkisar sekitar 57.000 Euro (sekitar 950 juta rupiah). Bagi banyak orang, angka ini sulit dibayangkan. Di sejumlah negara, ini setara dengan dua kali lipat gaji tahunan rata-rata seorang pekerja.
Filosofi awal para produsen besar seperti Volkswagen adalah menciptakan kendaraan untuk rakyat -- terjangkau, praktis, dan dapat diakses semua kalangan. Ironisnya, mobil listrik justru membalikkan prinsip ini, menciptakan kesenjangan baru dalam aksesibilitas.
Salah satu alasan utama tingginya harga adalah komponen baterai lithium-ion. Komponen ini menjadi inti dari mobil listrik, tetapi proses produksinya sangat kompleks dan membutuhkan teknologi canggih.Â
Selain itu, fitur-fitur modern seperti perangkat lunak pintar, sensor otomatis, dan kemampuan pengisian daya cepat semakin menambah biaya produksi. Alhasil, mobil listrik menjadi kendaraan yang lebih dekat ke barang mewah ketimbang solusi transportasi massal.
Meskipun banyak pemerintah memberikan subsidi untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik, subsidi ini sering kali tidak cukup untuk menjangkau konsumen kelas menengah ke bawah. Harga setelah subsidi tetap tinggi, menciptakan hambatan besar bagi mereka yang ingin beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil.
Kesenjangan ini tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga mengguncang industri. Produsen besar seperti Ford, yang telah mengalihkan fokus penuh pada produksi mobil listrik, menghadapi tantangan berat.Â
Penurunan permintaan dan harga jual yang tidak kompetitif membuat banyak perusahaan harus memangkas produksi. Bahkan perusahaan yang telah menginvestasikan miliaran dolar dalam infrastruktur mobil listrik menemukan bahwa ekspektasi pasar tidak sejalan dengan realitas penjualan.
Paradoks ini menggambarkan ketidakcocokan antara tujuan mulia mobil listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang inklusif dengan realitas pasar yang menjadikannya barang mewah. Jika tujuan akhirnya adalah keberlanjutan yang adil bagi semua, maka harga dan aksesibilitas harus menjadi prioritas utama. Teknologi tidak hanya harus maju, tetapi juga harus memastikan bahwa ia dapat dinikmati oleh lebih banyak orang, bukan hanya segelintir kalangan.
Pasar Indonesia perlu mengkritisi kehadiran mobil listrik. Mobil listrik mungkin adalah kendaraan masa depan, tetapi masa depan itu tidak akan inklusif kecuali hambatan harga dan aksesibilitas berhasil diatasi. Ketika mobil listrik benar-benar menjadi "mobil untuk rakyat," barulah janji transportasi hijau akan benar-benar terasa nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H