Dr.-Ing. Suhendra. Pengalaman sebagai konsultan industri Jerman lebih dari 10 tahun. Saat ini dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Mobil listrik sering kali digambarkan sebagai jawaban atas krisis lingkungan global. Dengan emisi lokal yang hampir nol saat digunakan, kendaraan ini menawarkan janji masa depan yang lebih hijau. Namun, realitas di balik transisi ini menyimpan tantangan yang tidak dapat diabaikan.Â
Pengalaman Jerman sebagai salah satu pusat inovasi otomotif dunia memberikan gambaran jelas tentang kesenjangan antara visi ideal dan kenyataan di lapangan.
Beberapa catatan berikut semoga dapat dijadikan patokan untuk konsumen dan pasar Indonesia.
Belajar dari Volkswagen dan Ford
Di pabrik-pabrik besar seperti Volkswagen dan Ford, perubahan skala besar telah dilakukan untuk memenuhi tuntutan zaman. VW, misalnya, mengubah total fasilitasnya di Zwickau menjadi pabrik khusus mobil listrik. Langkah ini dianggap sebagai bukti keberanian industri Jerman dalam menghadapi era baru. Namun, hasilnya justru memperlihatkan sisi gelap dari ambisi besar ini.Â
Angka produksi yang terus menurun menunjukkan bahwa permintaan pasar belum siap mendukung lonjakan penawaran. Mobil listrik, dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan mobil berbahan bakar fosil, belum mampu menarik konsumen massal. Ford, yang juga beralih ke produksi listrik penuh, kini menghadapi ancaman keberlanjutan operasional.
Permasalahan ini tidak hanya soal angka dan grafik penjualan, tetapi juga menyangkut manusia di balik industri. Teknologi mobil listrik yang lebih sederhana membutuhkan tenaga kerja yang jauh lebih sedikit.Â
Dampaknya terasa nyata di banyak wilayah, dengan pengurangan tenaga kerja dan ancaman pengangguran yang meluas. Padahal, industri otomotif adalah salah satu tulang punggung ekonomi di negara seperti Jerman. Perubahan ini, meskipun penting, memaksa kita untuk menghadapi realitas sosial yang berat.