Minggu berikutnya, Rina mendapati dirinya duduk di dalam mobil bersama Sari, menuju panti asuhan yang dimaksud. Perjalanan itu terasa canggung, karena sudah lama Rina tidak berbicara banyak dengan siapa pun, bahkan dengan Sari. Namun, Sari memahami, ia tidak memaksa Rina untuk bicara, hanya memberi kehadirannya yang menenangkan.
Setibanya di panti asuhan, Rina disambut oleh pemandangan anak-anak yang berlarian dan tertawa. Suara mereka memecah keheningan dalam hatinya, menyentuh sesuatu yang telah lama terkubur. Mereka penuh energi, meski jelas terlihat bahwa kehidupan mereka tidak mudah. Panti itu sederhana, bahkan bisa dibilang minim fasilitas, tetapi anak-anak di sana tampak bahagia, sesuatu yang tidak lagi dirasakan Rina.
Seorang anak perempuan kecil, berusia sekitar tujuh tahun, mendekati Rina dan menarik tangannya. "Kakak, mau bermain denganku?" tanya anak itu dengan mata yang berbinar-binar. Rina terkejut, namun senyuman kecil mulai muncul di bibirnya. "Baiklah," jawabnya singkat.
Selama beberapa jam berikutnya, Rina bermain dan tertawa bersama anak-anak itu. Mereka mengajaknya bermain kelereng, melukis, dan bahkan bernyanyi. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, Rina merasakan sedikit kebahagiaan. Anak-anak itu, dengan segala keterbatasannya, mampu menikmati hidup dan menyebarkan keceriaan. Rina mulai menyadari bahwa meski hidupnya telah hancur, ia masih bisa menemukan kebahagiaan kecil di tengah kesedihannya.
Ketika hari beranjak sore, seorang pengasuh panti asuhan mendekati Rina. "Anak-anak sangat senang bermain denganmu. Terima kasih sudah datang. Kami selalu butuh relawan untuk membantu di sini. Jika kamu berminat, kami akan sangat senang jika kamu bisa datang lebih sering," katanya dengan senyum hangat.
Rina merasa tersentuh. Tawaran itu menggugah sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang telah lama hilang---keinginan untuk hidup dan memberikan makna pada hidupnya. Ia berpikir sejenak, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa ada secercah harapan. "Aku akan mencoba datang lagi," jawabnya pelan, namun penuh tekad.
Kepulangan dari panti asuhan itu terasa berbeda. Di dalam mobil, Rina lebih banyak berbicara dengan Sari, mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Sari mendengarkan dengan sabar, dan akhirnya berkata, "Aku bangga padamu, Rina. Mengambil langkah kecil ini sudah merupakan kemajuan besar."
Hari-hari berikutnya, Rina mulai sering mengunjungi panti asuhan itu. Ia tidak hanya bermain dengan anak-anak, tetapi juga membantu mengajar mereka dan merawat fasilitas di panti. Semakin sering ia datang, semakin banyak ia merasakan manfaatnya. Perlahan, rasa sakit dan kesedihannya mulai terkikis oleh perasaan puas dan bahagia yang ia dapatkan dari membantu orang lain.
Pada suatu hari, saat Rina sedang membantu anak-anak menyiapkan pementasan drama sederhana, salah satu pengasuh mendekatinya. "Rina, aku bisa melihat perubahan besar pada dirimu. Kamu membawa kebahagiaan bagi anak-anak di sini, dan itu sangat berarti bagi kami," katanya.
Rina tersenyum. Ia menyadari bahwa kebahagiaan yang ia temukan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Kehadiran anak-anak itu telah memberinya alasan untuk bangkit dan menemukan makna baru dalam hidupnya. Mereka telah menyelamatkannya dari jurang kesedihan yang dalam.
Enam bulan berlalu sejak kunjungan pertamanya ke panti asuhan. Kini, Rina tidak hanya menjadi relawan tetap, tetapi juga terlibat dalam pengelolaan panti asuhan. Ia membantu mencari donatur, mengorganisir acara, dan bahkan memberikan pelatihan keterampilan bagi anak-anak yang lebih besar. Hidupnya kembali memiliki tujuan, dan ia merasa lebih kuat dari sebelumnya.