Pemilu sejak reformasi 1998 merupakan mekanisme demokrasi paling dinamis, kalau tidak mau dikatakan bahwa sistem pemilu selama periode tersebut tidak ajeg, dalam arti, belum ada suatu sistem pelaksanaan pemilu yang definitif, dimana rakyat betul-betul memahami dengan komprehensif setiap tahapan pelaksanaannya, termasuk kekurangan dan kelebihan dari masing-masing sistem pemilu pada setiap tahapan pesta rakyat tersebut.Â
Pemahaman atas pelaksanaan pemilu secara komprehensif bisa dialami oleh rakyat bilamana terjadi transformasi yang layak, berkesinambungan dan menyeluruh, sehingga ada internalisasi kesadaran dari seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, sekaligus sebagai penentu kualitas pemilu itu sendiri. Ironisnya, rakyat belum sampai memahami betul dari suatu sistem pemilu yang sedang dijalankan akibat sistem pemilu yang selalu berubah dalam setiap kesempatan.Â
Demikian halnya dengan wakil-wakil rakyat yang terpilih, baik legislatif maupun eksekutif, mula-mula ia mewakili rakyat, kemudian menjadi mewakili partai sepenuhnya akibat perubahan sistem. Sehingga jangan heran bila kemudian ia bisa seenaknya pindah partai  politik (parpol) menjelang pemilu.Â
Padahal, setiap keterpilihan seseorang dalam kontestasi pemilu, disana ada amanah yang dititipkan untuk satu periode pengabdian. Artinya, rakyat bukan saja menjadi obyek dari suatu sistem pemilu akan tetapi pada waktu yang bersamaan menjadi subyek di setiap tahap pelaksanaan pemilu. Rakyat menjadi pelaku, penanggungjawab sekaligus korban dari kualitas sistem pemilu yang sedang dijalankan.
Partisipasi rakyat di setiap pemilu bisa dikatakan memiliki basis kesadaran bilamana partisipasi yang dilakukan -- baik dalam arti positif maupun yang destruktif sekalipun -- melalui proses internalisasi yang memadai untuk melakukan suatu aksi.Â
Internalisasi merupakan suatu tahapan dimana rakyat dimungkinkan untuk menilai korelasi antara hasil dari suatu sistem pemilu dengan kehidupan mereka sehari - hari, bisa membedakan kelebihan dan kekurangan dari sistem pemilu yang satu dengan sistem pemilu lain, dalam arti bukan hanya aspek teknis, yang hanya memproduksi kebingungan pada pemilih untuk memberikan hak suaranya. Kenyataan itu kemudian membuat para penyelenggara dan kontestan pemilu sibuk menghamburkan sumber daya dalam rangka mensosialisasikan sistem baru yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Sementara agenda-agenda kerakyatan makin jauh dari kenyataan dan impian kehidupan rakyat terhenti pada sebatas slogan.
Pelaksanaan pemilu sejak reformasi banyak mengalami perubahan, bahkan uji coba praktek pesta demokrasi ini bisa dikatakan berkepanjangan, bukan itu saja, setiap perubahan terbuka ruang dimana suatu mekanisme, tahapan dan syarat di tolak pada suatu periode tertentu, akan tetapi kembali di pertimbangkan pada masa yang lain. Perubahan demi perubahan, tambal sulam, quasi model dari berbagai varian sistem pemilu yang dipraktekan di negara lain terbuka ruang untuk dipraktekan dan siap di uji coba setiap saat.
Praktek uji coba penerapan pelaksanaan sistem pemilu bukan saja soal perubahan jumlah kontestan pemilu, partai politik dan daftar calon, atau parliamentary threshold, tetapi sistem pelaksanaan pun mengalami tambal sulam hampir pada setiap pemilu, mulai dari sistem proporsional tertutup, setengah terbuka, sampai dengan proporsional terbuka dan tentu saja dengan keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.Â
Demikian halnya dengan sistem perhitungan suara yang dianut, mulai dengan Kuota Hare sampai Sainte Lague atau Webster. Dan masih banyak lagi perubahan, baik dari aspek mekanisme, syarat, tahapan, sistem perhitungan dan tabulasi suara yang semakin membingungkan rakyat sebagai pemilih serta penentu kualitas pemilu.
Ironisnya lagi adalah, bila perubahan - perubahan sistem pemilu itu hanya mengikuti selera sekelompok orang yang tetap ingin berkuasa dengan segala macam cara, tanpa mempertimbangkan apakah ajang kontestasi pemilu yang diterapkan merupakan metode paling efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan nasional Indonesia. Sebab menurut Robert Michels, kelas politik yang memiliki kekuasaan di parpol adalah kelas paling dominan dalam sebuah organisasi politik karena kekuasaan tersebut cenderung terkonsentrasi pada kelas politik (elit) tertentu.Â
Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa di setiap parpol terdapat suatu kelas politik yang akan mendominasi kelas politik lainnya. Dominasi suatu kelas politik itu timbul sebagai hasil dari hubungan antara berbagai kekuatan sosial yang saling bersaing untuk mendapatkan supremasi, hal ini yang kemudian oleh Michels disebut sebagai "Hukum Besi Oligarki".