Sistem Pemilu Distrik Menuju Demokratisasi Substantif
Sistem pemilu proporsional terbuka yang mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dinilai menjadi penyebab timbulnya pemilu berbiaya mahal dan melahirkan para politisi yang berjiwa saudagar. Akibatnya, parlemen dipenuhi oleh para pemburu rente tetapi tidak kompeten dalam menjalankan fungsinya. Sistem proporsional terbuka di pandang sebagai suatu kondisi yang kemudian dilihat sebagai akibat dari adanya suatu sistem yang muncul dari proses kompetisi yang tidak sehat dan destruktif bagi perkembangan demokrasi.
Kompetisi antara para calon (Caleg) yang berkontestasi dari satu parpol selain harus melawan Caleg dari parpol lain, maka ia harus bersaing dengan Caleg dalam satu parpol. Jadi Calon Legislatif (Caleg) yang dicalonkan oleh parpol bukan saja harus berkompetisi melawan Caleg dari parpol lain, tapi juga harus melawan rekan sesama Caleg dari satu Parpol atau dalam istilah Latin dikenal dengan istilah Bellum Omnium Contra Omnes. Demikianlah sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini sebagai penyebab dari tingginya biaya kontestasi dan kurang kompetennya para politisi yang dihasilkan. Sistem pemilu proporsional terbuka dianggap sebagai biang kerok kebobrokan kualitas para politisi di parlemen.
Sesungguhnya situasi tersebut bisa dihindari, walaupun kemudian pebincangan mengarah ke Das Sollen (keinginan) dan Das Sein (kenyataan). Thomas Hobbes dalam Leviathan menuturkan bahwa pada dasarnya tidak ada manusia yang menginginkan semua lawan semua, demikian halnya dengan Caleg melawan semua Caleg, tetapi karena kebutuhan untuk meraih apa yang menurutnya baik maka timbullah praktek politik uang atau praktek-praktek yang bisa menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Artinya, para Caleg tersebut tidak ada keinginan untuk merusak sendi-sendi demokrasi yang mereka hendak perjuangkan, tetapi sistem yang kemudian  memaksa mereka melakukan semua itu.
Praktek politik berbiaya mahal tidak bisa dipisahkan dari model pemilihan yang menerapkan sistem Daerah Pemilihan (Dapil) dengan sistem keterwakilan antara 3-10 orang, tergantung jumlah penduduk dalam satu Dapil. Padahal penentuan Dapil pun berpengaruh penting terhadap perolehan kursi  dari setiap parpol, termasuk potensi suara terbuang (sisa). Suatu pernyataan yang bisa diuji dengan menggunakan matematika pemilu di setiap Dapil yang sudah ditetapkan. Akan tetapi, sistem ini tetap dipertahankan karena ada keuntungan politik disana.
Bandingkan dengan dengan sistem pemilu distrik, dimana Dapil ditetapkan berdasarkan jumlah alokasi kursi secara keseluruhan. Jadi Dapil untuk DPR RI ada 580 Dapil, bukan 84 Dapil bukan seperti saat ini. Sedangkan untuk DPRD Provinsi sebanyak 2.372 dapil sesuai dengan jumlah kursi yang diperebutkan, demikian halnya dengan DPRD Kabupaten / Kota menjadi 17.510 Dapil bukan 2.325 Dapil. Artinya, setiap parpol bisa mengusung kadernya di setiap dapil sesuai alokasi kursi yang diperebutkan. Selain daripada itu, mekanisme mengurangi jumlah parpol dengan pendekatan Parliamentary Threshold menjadi efektif pula. Sedangkan untuk DPD RI bisa tetap menggunakan sistem yang berlaku ada saat ini, dengan keinsyafan bahwa ia mewakili daerah administratif, Provinsi.
Dengan demikian, maka setiap Caleg berkontestasi pada wilayah yang lebih sempit dimana basis untuk sosialisasi / interaksi dengan konstituen bisa menjadi lebih intens dan murah. Caleg pun tidak terjebak dengan kondisi dimana Caleg harus melawan semua Caleg. Ia hanya berkompetisi dengan Caleg dari parpol lain. Artinya, alasan mengenai politik biaya tinggi dengan keharusan populer bisa dihilangkan. Sebab, lebih mudah dikenal oleh 100 ribu manusia bila dibandingkan oleh 1 juta manusia. Dan tidak butuh biaya operasional yang terlalu besar untuk Dapil yang di persempit, barangkali bisa setingkat kecamatan untuk daerah yang padat penduduk. Selain daripada itu, dengan penyusunan daftar calon yang lebih lama, 3-4 tahun sebelum pemilihan, maka rakyat sebagai pemilih memiliki kesempatan untuk melakukan suatu interaksi yang lebih lama, intensitas yang memadai, sekaligus menilai konsistensi perjuangan dari sang kontestan itu sendiri. Sebab menjadi wakil rakyat bukan aktivitas sampingan tetapi memang membutuhkan totalitas. Jadi berbeda dengan  saat ini, Caleg selama 4 tahun bisa menjauh dari calon konstituennya dan baru hadir ditengah-tengah mereka saat menjelang pemilu, akibatnya, rakyat pun mematok harga atas absennya para politisi dalam keseharian mereka.
Memang akan ada pertanyaan bahwa pemilu dengan sistem distrik tidak sesuai dengan nilai-nilai NKRI atau Pancasila, dan segudang retorika lainnya. Pendapat ini bisa muncul manakala tidak berpijak kepada sejauh mana fungsi parpol dijalankan dalam konteks negara demokrasi.
Ada lima fungsi yang harus dilakukan oleh Parpol menurut Ramlan Surbakti, yaitu melakukan sosialisasi dan pendidikan politik, melakukan rekrutmen, mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, memadukan berbagai kepentingan masyarakat, dan yang terakhir ialah melakukan komunikasi politik. Dari fungsi - fungsi parpol yang demikian, adakah fungsi yang kemudian mengalami emaskulasi akibat dari praktek pelaksanaan pemilu dengan sistem distrik. Bukankah justru sebaliknya, sistem distrik justru menjadi suatu sistem yang mampu mendorong agar parpol menjalankan  fungsinya dengan layak, bukan sekedar menjadi penjual tiket event pemilu.
*** --- ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H