Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Sistem Pemilu Tiada Akhir

20 Mei 2023   04:18 Diperbarui: 20 Mei 2023   04:21 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai-partai politik peserta pemilu sejak reformasi 1998, baik parpol yang memiliki fraksi di DPR RI maupun yang gagal meraih kursi, sesungguhnya bila ditelusuri dengan seksama, ternyata ada banyak parpol yang bisa dikatakan bahwa ia hanya menggantungkan diri kepada tokoh atau sosok figure tertentu saja. Bahkan bisa dikatakan bahwa jumlahnya tidak sampai setengah dari parpol-parpol tersebut yang platform perjuangannya bisa dipahami dan dimengerti oleh kadernya. Situasi itu kemudian mendorong demokrasi di tanah air menjadi demokrasi elit atau oligarki yang dikuasi oleh sekelompok elit politik dan ekonomi.

Dari realitas tersebut di atas menjadi menarik untuk mengkaji kualitas pemilu di Indonesia, khususnya setelah gerakan reformasi 1998 yang membuka cakrawala demokratisasi dengan perluasan partisipasi dalam segala aspek dan aras melalui ruang - ruang publik. 

Memang, untuk mengukur kualitas pemilu sejatinya membutuhkan alat ukur yang konsisten, relevan, dan ajeg dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan satu-satunya alat ukur yang demikian adalah Pancasila sebagai sumber hukum atas pelaksanaan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun pada prakteknya, pemahaman atas Pancasila  sendiri sangat interpretatif.

Hakim Konstitusi Ambingu Tentang Sistem Pemilu 

Salah satu buah dari reformasi adalah adanya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) dalam sistem peradilan di tanah air. Namun dalam perjalanannya, putusan-putusan MK RI makin menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada kepastian hukum, terutama tentang hukum Pemilu. Undang-undang tentang pemilu merupakan UU yang paling sering dilakukan Judicial Review. Padahal mekanisme Yurisprudensi Peradialn yang bisa diterapkan pada setiap putusan MK RI bisa menjadi jaminan akan adanya suatu kepastian hukum atau kepastian sistem pemilu. Hal tersebut sejalan dengan keberadaan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2011, dimana MK diberi ruang untuk melengkapi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam bentuk peraturan MK demi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Realitiasnya, Putusan MK RI tidak selalu menjadi yurispudensi peradilan. Padahal, putusan-putusan MK RI diharapkan menjadi Yurisprudensi Peradilan dalam berbagai peristiwa hukum. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang lahir dari putusan-putusan hakim sebelumnya. Ada cukup banyak putusan MK yang kemudian bertentangan atau menganulir putusan MK itu sendiri. Penulis telah mengulas beberapa putusan MK RI yang menganulir putusannya sendiri pada opini yang lain.

Beberapa Hakim Konstitusi mulai membuka wacana untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup. Padahal putusan untuk menggunakan sistem  pemilu proporsional terbuka itupun lahir melalui palu sidang MK RI, akankah MK RI kembali mengingkari putusannya sendiri? Publik tinggal tunggu waktu saja.

Terlepas dari apapun putusan yang akan dibuat oleh MK RI terkait dengan Judicial Review mengenai sistem proporsional terbuka, dimana hal itu merupakan kewenangan yang melekat pada diri mereka sepenuhnya. Akan tetapi patut diingat, bahwa pada 14 abad yang lalu, seorang manusia bernama Muhammad SAW telah mengingatkan bahwa, "barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung. 

Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah tergolong orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang celaka." Artinya, apabila putusan - putusan MK RI dijadikan pijakan sebagai Yurisprudensi Peradilan sesungguhnya ia merupakan jawaban atas permasalahan sistem pemilu di masa lalu. 

Dimana putusan untuk menganut sistem proporsional terbuka yang dipakai pada beberapa kali pemilu di Indonesia merupakan jawaban atas permasalahan sistem pemilu proporsional tertutup yang dianut dimasa lalu. Sehingga kembali ke proporsional tertutup sejatinya merupakan kemunduran demokrasi. Oleh sebab itu, para Hakim Konstitusi perlu mengakui bahwa MK RI pernah lalai menjalankan kewajibannya dengan membuat putusan sistem pemilu proporsional terbuka.

Dan memang, wacana yang dikemukan oleh sebagian pihak, terutama para pendukung sistem proporsional tertutup, termasuk sejumlah Hakim Konstitusi itu sendiri, menarasikan bahwa banyak aktivis parpol dan "politisi sepatu miring" yang kalah dalam kontestasi dengan para publik figur yang popular dan "berkantong tebal" walaupun ia tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik dan wakil rakyat. Karena memang, popularitas dan "isi tas" tidak selalu sejalan dengan kompetensi dan profesionalitas seseorang. Sebab nilai - nilai kejuangan untuk menjadi seorang politisi dengan segudang kompetensi memerlukan proses. Namun demikian, narasi soal popularitas dan gizi Caleg sebagai faktor utama kemunduran kualitas demokrasi sejatinya melupakan bahwa ada kontribusi kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya, (baca Achmad Suhawi dalam Pseudo Partai Politik : studi perbandingan PKS, Golkar dan PDIP). 

Kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya itulah yang justru menghantarkan suatu demokrasi transaksional. Pragmatisme elit parpol demi berebut sumber-sumber ekonomi melalui pusat - pusat kekuasaan bukan saja merusak sendi-sendi demokrasi tetapi telah menjelma menjadi oligarki yang berjubah demokrasi para elit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun