Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Sistem Pemilu Tiada Akhir

20 Mei 2023   04:18 Diperbarui: 20 Mei 2023   04:21 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas semacam itu bukan saja membuat bangsa Indonesia merugi sebagaimana Hadist tersebut di atas bila kembali kepada sistem proporsional tertutup. Bahkan lebih daripada itu, bangsa Indonesia akan menjadi celaka karena pusat-pusat oligarki bisa semakin merajalela menguasai sendi - sendi negara, baik secara politik maupun ekonomi melalui sedikit elit partai - partai politik. Ingat bahwa parpol dalam berbagai spektrum telah menjadi semu atau pseudo parpol. 

Hal ini sejalan dengan pandangan Suzanne Keller yang menjelaskan bahwa individu-individu yang berada pada pusat-pusat kekuasaan tidak dapat berkomunikasi langsung dengan individu - individu dalam masyarakat, akan tetapi harus berkomunikasi dengan organ-organ di dalam masyarakat, dalam hal ini pusat-pusat kekuasaan. Artinya, parpol hanya sebatas label yang bisa digunakan oleh para oligarki bisnis dan politik untuk melancarkan operasinya.

Ada sejumlah argumentasi yang dikemukakan oleh para pendukung pemilu 2024 untuk kembali ke sistem proporsional tertutup dalam sidang - sidang di MK RI. Diantara argumentasi yang dikembangkan ada narasi yang bersifat substantif tetapi ada pula narasi dengan aspek teknis, termasuk menyelipkan impian para politisi berkantong tipis agar terpilih dengan tetap berbekal idealisme dan cita - cita perjuangan.

Diantara narasi tersebut adalah adanya jumlah suara yang tidak sah pada pemilu 2019 yang disinyalir mencapai 17.503.953 atau setara dengan 11,12 persen suara akibat proses pemungutan, perhitungan dan rekapitulasi suara yang di nilai rumit sehingga berpotensi terjadi kesalahan. Suatu argumentasi yang melupakan peluang untuk melakukan pemilu secara e-voting. Ingat bahwa rakyat Indonesia yang berusia 5 (lima) tahun ke atas merupakan pemilik Handphone atau Ponsel yang menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 jumlahnya sudah mencapai 67,88 persen dimana jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2021 yang masih 65,87 persen. 

Pelaksanaan pemilu secara e-voting bukan saja sangat mungkinkan untuk dilaksanakan, karena secara teknis cukup memadai. Dan selain itu, bisa menekan biaya pelaksanaan pemilu, menghindari poltik uang, dan lebih sesuai dengan perkembangan teknologi yang berbasis Teknologi Informasi.

Kemudian dijelaskan pula bahwa potensi politik uang menjadi mengemuka melalui sistem proporsional terbuka, dimana pada pemilu tahun 2019 ada sebanyak 69 putusan pengadilan terkait dengan pelanggaran pidana politik uang. Praktek politik uang merupakan suatu kondisi yang merusak sendi-sendi demokrasi melalui proses pemilu yang sedang terjadi. Narasi yang menjelaskan bahwa praktek politik uang timbul akibat sistem proporsional terbuka merupakan suatu narasi yang tidak menyajikan data secara komparatif bahwa dalam sistem proporsional tertutup pun dimungkinkan adanya praktek politik uang. Transaksi politik uang bisa terjadi antara calon (Caleg) dengan konstituen (pemilih) dalam sistem proporsional terbuka tetapi bisa pula antara Calon (Caleg) dengan elit parpol itu sendiri dalam sistem proporsional tertutup. Jadi hanya soal transparansi saja.

Dan sesungguhnya, praktek politik uang akan tetap terjadi selama kesadaran rakyat sebagai pemilih belum sampai pada kesadaran tentang "kontrak politik" yang berbasis pada tawaran program, ideologi, atau sumber-sumber nilai yang ada, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Membangun kesadaran pemilih sejatinya menjadi tanggungjawab parpol dengan seluruh anggota - kadernya, namun oligarki di parpol tidak  memungkinkan untuk hal tersebut terjadi. Sebab anggota - kader parpol lebin sibuk melayani para elit parpol daripada memastikan bahwa parpol yang menaunginya berjalan sesuai dengan fungsinya. 

Artinya, praktek politik uang bisa dihindari apabila parpol berfungsi dengan benar, bukan sekedar loket tiket event pemilu. Selain itu, sistem  pemilu perlu menjadi ajeg, bukan setiap 5 (lima) tahun berganti sistem. Oleh sebab itu, MK RI berperan penting untuk tidak ambingu dalam setiap putusannya dengan menjadi Yurisprudensi Peradilan terkait  dengan pemilu. Hanya dengan demikian maka partai-partai politik dan penyelenggara pemilu bisa lebih awal menyusun daftar calon dengan tahapan pemilu yang bisa dimajukan lebih awal, misalnya saja 4 (empat) tahun sebelum pelaksanaan pemungutan suara. 

Disamping itu, parpol melalui daftar calon yang telah  ditetapkan jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu bisa menggalakan program dan menanamkan platform kejuangannya ditengah-tengah rakyat sebagai calon pemilih. Hal ini justru memungkinkan bagi para politisi atau anggota - kader parpol untuk turun langsung ke masyarakat demi menyerap aspirasi yang akan ia perjuangkan bila terpilih menjadi legislatif atau eksekutif.

Memang sistem proporsional terbuka bisa melemahkan pelembagaan parpol, terutama bagi parpol - parpol yang hanya berfungsi sebagai organisasi "event pemilu" semata. Artinya, selama parpol tidak menjalankan fungsinya untuk mentransformasi nilai dan ideologi yang dianut, tidak melakukan pendidikan, rekrutment, dan sosialisasi sehingga parpol hanya berfungsi sebatas menjadi loket "tiket kontestasi pemilu", maka pelembagaan  parpol tersebut menjadi sangat rapuh. Bukankah hal ini yang saat ini sedang dialami oleh parpol - parpol! Namun sebaliknya, bagi parpol yang menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dan benar, maka sebaliknya, relasi antara parpol dengan rakyat semakin melembaga, relasi antara parpol dengan wakil - wakilnya yang ada di eksekutif dan legislatif, termasuk bila ada yang di yudikatif bisa dibangun atas kesadaran ideologi dan jaringan structural yang dimiliki.

Artinya, keinginan sejumlah pihak untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup ibarat kata pepatah, "buruk muka cermin dibelah." Ketidak becusan elit parpol dalam  menjalankan fungsi parpol telah melahirkan demokraasi yang buruk, dengan wakil-wakil yang seharusnya merepresentasikan kehendak rakyat berkualitas rendah dan yang kurang kompeten. Suatu situasi yang nampaknya akan diaminkan oleh para Hakim Konstitusi sebagai keniscayaan demokrasi elit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun