Publik sedang ramai membicarakan pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan atau biasa disingkat LBP. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sering dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperburuk citra Indonesia, “Kita ngak usah bicara tinggi-tinggilah. OTT-OTT ini khan ga bagus sebenarnya, buat negeri ini jelek banget,” himbau LBP! Pernyataan tersebut menuai kritik dari mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, yang selama bercokol di KPK kerap melakukan OTT. Seolah tidak terima dan merasa dipersalahkan karena memperburuk citra negara dimata dunia, Novel pun tidak tinggal diam, dia mulai membangun Narasi seolah banyak pejabat yang tidak paham soal pemberantasan Korupsi.
Wacana LBP soal OTT KPK cenderung diamini oleh Mahfud MD. Sikap Mahfud MD menjadi menarik untuk ditelisik bukan hanya karena ia adalah Menko Polhukam saat ini, bukan pula karena ia seorang pakar hukum yang sudah malang melintang dalam jagad politik nasional, namun yang amat menarik justru perannya yang jarang disorot yaitu panitia seleksi penasehat KPK sekaligus pernah menjadi penasehat KPK itu sendiri. Demikian halnya dengan LBP, selain sebagai purnawirawan militer yang punya rekam jejak cemerlang, ia merupakan sosok pejabat dengan segudang pengalaman bisnis dan pemerintahan.
Kejadian ini menarik dijadikan sebagai bahan diskursus untuk mencerdaskan nalar publik, bukan saja karena LBP adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvest) yang amat membutuhkan citra positif Indonesia dimata dunia internasional.
Akan tetapi lebih daripada itu, efektifitas metode yang digunakan oleh KPK dalam upaya pemberantasan korupsi cenderung kurang tepat. Padahal telah banyak orang dijebloskan ke dalam penjara, disita asetnya, mangkrak proyeknya, kehilangan pekerjaan, dan dipermalukan oleh KPK. OTT KPK sebenarnya sudah berjalan cukup lama dengan biaya yang tidak sedikit tapi hasilnya hanya menangkapi koruptor kelas teri sekaligus kegaduhan publik dengan narasi bombastis, namun tetap tidak mampu menangani Korupsi yang sistematis.
Persepsi publik atas KPK sejatinya mirip dengan Hollywod yang menyajikan film – film Superhero bagi masyarakat yang mencari solusi atas berbagai kesulitan hidup mereka sehari-hari. Kekecewaan terhadap institusi penegak hukum telah menimbulkan ilusi tersendiri terhadap atraksi KPK sebagai Superhero dalam pemberantasan Korupsi.
Artinya, selama KPK mampu menjaga ilusi bahwa Korupsi adalah musuh rakyat, menyengsarakan rakyat, extra ordinary crime, maka harapan rakyat akan tetap tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, KPK berkepentingan untuk menjaga ilusi sebagai Superhero dengan model pendekatan OTT agar efek magisnya terasa, walaupun dalam beberapa hal banyak terjadi tebang pilih – pilih tebang.
Wajar bila dimasa lalu sempat menjelma menjadi lembaga superbody, negara dalam negara, sebelum ada revisi atas UU KPK. Sehingga Lembaga Negara ini sempat menjelma layaknya NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat.
Pandangan masyarakat atas KPK bisa dikelompokan menjadi 2 (dua) arus utama yaitu masyarakat yang menganggap bahwa KPK bebas nilai, bebas dari kepentingan bisnis, bebas dari sponsor, dan bebas dari kepentingan politik, sehingga KPK dianggap sebagai penegak hukum yang hanya bekerja untuk hukum itu sendiri dalam rangka pemberantasan korupsi;
Arus kedua ialah mereka yang melihat KPK dengan lebih obyektif, dalam arti bahwa KPK tidak sepenuhnya bersih, sarat kepentingan, tebang pilih kasus, sibuk menggerakan buzer dan NGO yang bisa mengatasnamakan rakyat dalam rangka mewakili kepentingan sejumlah pihak dengan membuat laporan, membuat pengaduan, membangun narasi dan opini atau bahkan berdemonstrasi.
Dari kedua arus utama tersebut diatas, sesungguhnya kita bisa menyelami kenapa ada tokoh sekaliber LBP dan Mahfud MD seolah permisif soal korupsi, setidaknya demikian narasi yang dibangun kepermukaan oleh sejumlah pihak yang membuat ilusi magis bahwa KPK sebagai lembaga anti korupsi yang bebas nilai. Betulkah demikian adanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, rasanya perlu menilai dari sejumlah realitas atas beberapa kasus serta dampak yang ditimbulkan oleh aksi Superhero KPK selama ini. Beberapa kasus kejadian yang akan diulas hanya sebagai gambaran bahwa tindakan KPK tidak bisa dilihat secara parsial semata-mata soal pemberantasan korupsi.
KPK BIKIN PROYEK MANGKRAK
Aksi KPK dalam melakukan pemberantasan Korupsi di tanah air bukan saja dianggap sebagai tindakan mulia,Superhero, pembela kepentingan rakyat, pejuang keadilan, penegak hukum, atau institusi bersih tanpa cela. Namun dampak yang ditimbulkan sesungguhnya tidak selalu demikian.
Akan tetapi, dalam teori ahli ilusi, publik tidak boleh melihat trik yang dimainkan selain daripada tujuan ilusi itu sendiri. Artinya, publik tidak akan dibiarkan dapat menyaksikan fakta yang hendak ditutupi oleh pembuat ilusi, sebab, hanya dengan demikian maka ilusi magis dapat tercipta, bahkan mistik bagi para audiensnya.
Megaproyek Hambalang digadang-gadang sebagai pusat pendidikan dan pelatihan olahraga yang bertaraf internasional. Aksi KPK dalam melakukan penindakan membuat Megaproyek itu akhirnya mangkrak pada tahun 2012. Proses pengerjaan terhenti dan banyak bangunan yang akhirnya terbengkalai karena tak terurus.
Bahkan menurut hasil audit investigasi Badan Pemerika Keuangan (BPK) sepanjang tahun 2012 sampai dengan 2013, proyek tersebut membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp706 miliar. Aksi Superhero KPK telah memakan korban dengan dijebloskannya sejumlah tokoh nasional ke dalam Penjara. Tetapi jangan lupa bahwa ada kerugian yang harus dibayar oleh rakyat. Melodrama Hambalang ibarat masuk ke Gedung Bioskop yang harus membayar Tiket bernilai miliaran. Setelah menonton pertunjukan yang mengharu biru, rakyat harus membayar kerugian akibat proyek yang mangkrak karena pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab ditangkap dan dipidana.
Dampak dari aksi Superhero KPK tersebut tentu saja sungguh fatal. Selain kompleks olahraga yang dijanjikan tidak terwujud, beberapa bangunan yang sudah ada pun mangkrak tidak terurus. Bahkan saat dikunjungi oleh Presiden Joko Widodo pada 18 Maret 2016, sejumlah fasilitas sudah terlihat kusam dimakan waktu, rumput liar tak beraturan menutupi tangga, jalanan dan sekeliling kompleks. Padahal proyek tersebut telah menyedot anggaran negara sebesar Rp 2,7 triliun.
Sempat ada asa untuk membangun kembali Hambalang, tetapi sejumlah pendapat mengatakan bahwa proyek Hambalang sudah dianggap tak layak untuk diteruskan. Salah satunya datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati. Jadi, rakyat Indonesia yang seharusnya mendapatkan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olahraga senilai 2,7 triliun harus berpuas diri dengan suguhan melodrama sejumlah tokoh nasional yang dimasukan ke dalam penjara.
e-KTP
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Oktober 2009 menyampaikan keinginannya untuk menyelesaikan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dimana salah satu komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan demikian, maka KTP tradisional sudah tidak berlaku lagi sejak 1 Januari 2014. Untuk itu pemerintah mendorong masyarakat segera merekam e-KTP agar dokumen administrasi, seperti urusan perbankan dan paspor tidak terhambat.
Tetapi perjalanan panjang e-KTP baru membuahkan hasil pada November 2017, ketika Kemendagri menyebut bahwa masyarakat yang belum merekam e-KTP berjumlah sekitar tujuh juta orang. Padahal sebelum ada gonjang - ganjing kasus e-KTP, Mendagri pada waktu itu menegaskan bahwa pendataan NIK selesai pada tahun 2011, sehingga e-KTP sudah bisa tersebar di seluruh Indonesia pada 2012.
Ironisnya lagi, walaupun perekaman e-KTP sudah hampir merata di seluruh tanah air, tetapi tidak semua yang telah merekam e-KTP langsung menerima kartu penduduk. Ketiadaan blanko kerap menjadi alasan di balik molornya penerbitan e-KTP.
Molornya proyek single identity ini terkait erat dengan kejadian sebelumnya, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 22 April 2014, setelah sebelumnya ada banyak kegaduhan yang disuguhkan ke publik.
Dan KPK sendiri baru dapat menilai bahwa proyek tidak memiliki kesesuaian dalam teknologi yang dijanjikan dalam kontrak tender dengan yang ada di lapangan pada tahun 2016 atau dua tahun setelah mengobrak – abrik proyek e-KTP. Salah satu ketidaksesuaian itu menyangkut alat pemindai. Di dalam kontrak tender disebutkan bahwa konsorsium menjanjikan iris technology (pemindai mata), namun dalam pelaksanaannya hanya menggunakan finger print (sidik jari).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa kerugian proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) sebesar Rp 2,3 triliun dari anggaran yang disetujui oleh DPR RI yaitu sebesar Rp 5,9 triliun. Penentuan besaran kerugian didasarkan pada keterangan Auditor Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) yang telah melakukan perhitungan dengan menelusuri semua unsur yang terlibat dalam proyek e-KTP . “Unsur kerugian negara terdiri atas pengadaan blangko e-KTP, pengadaan hardware dan software, pengadaan sistem AFIS, jaringan komunikasi data, gaji help desk pendamping kecamatan dan kota,” ujar Suaedi di Pengadilan. Sehingga berdasarkan hasil audit proyek dari 2011 sampai 2012 tersebut ditaksir mencapai Rp 2,376 triliun, walaupun belakangan jumlah ini di koreksi menjadi 2,275 triliun berdasarkan SP2D dari pemerintah kepada konsorsium PNRI.
Namun demikian, tidak pernah ditelusuri kemungkinan adanya pihak - pihak yang menjadi Sapi Perahan selama kasus tersebut mencuat ke permukaan, termasuk kenapa ada kesan tebang pilih dalam penanganannya. Jangan sampai kerugian yang begitu besar atas proyek tersebut justru karena ada perselingkuhan lanjutan sebagai bagian dari upaya melokalisir atau tebang pilih dalam penangannya. Dan seluruh praktek perselingkuhan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung dibebankan kepada proyek e-KTP, sehingga nilai kerugian bisa mencapai triliunan rupiah.
Dalam imajinasi nakal pernah ada yang menyampaikan di sosial media tentang suatu anekdot kejahatan yang dilakukan oleh penjahat berkuasa dan tanpa kuasa. Dikisahkan dalam anekdot tersebut bahwa telah terjadi suatu tindak pidana berupa perampokan Bank. Anekdot pelaku perampokan terjadi antara Perampok Bank dengan Direktur Bank yang di rampok (korban). Dalam anekdot tersebut dikisahkan bahwa sang Direktur Bank membuat siaran pers atas kejadian perampokan itu dan mengatakan bahwa uang bank yang telah dirampok dan dibawa kabur oleh si perampok jumlahnya lima miliar, padahal uang yang dibawa kabur oleh si perampok hanya satu miliar. Mengetahui pemberitaan yang disampaikan oleh Direktur Bank, si perampok hanya bisa gusar dengan mengatakan, Sialan! Direktur Bank hanya duduk-duduk dan ngomong ke pers dapat empat miliar, lebih banyak dari dirinya yang susah payah melakukan perampokan, tapi cuma dapat 1 miliar.
Dan berapa jumlah uang yang telah di rampok oleh si perampok tentu saja hanya Direktur Bank dan Perampok itu saja yang tahu kebenarannya, sedangkan pihak lain hanya tahu dari penjelasan Direktur Bank. Sementara perampok Bank juga tidak mungkin menjelaskan bahwa uang yang dia rampok jumlahnya hanya satu miliar, tidak sebanyak pengakuan Direktur Bank yang mengatakan jumlahnya mencapai lima miliar. Anekdot satir ini, bisa terjadi dalam praktek pemberantasan korupsi di Indonesia.
Meikarta merupakan proyek pembangunan dengan skala besar di sektor swasta berupa pembangunan kota mandiri yang dikembangkan oleh Perusahaan properti ternama di indonesia yaitu Lippo Group. PT. Lippo melalui PT. Mahkota Sentosa Utama sebagai anak perusahaan menjadi developer yang mengelola project Meikarta.
Meikarta memiliki lokasi sangat strategis, terletak antara kota Jakarta dan Bandung dengan akses jalan yang sangat mudah, belum lagi rencana pembangunan Tol yang menghubungkan berbagai daerah dengan kawasan Cikarang. Hal ini menjadikan unit apartemen Meikarta banyak diminati oleh para investor dan konsumen. Apalagi, Bekasi, khususnya Cikarang merupakan pusat industri yang banyak ditempati pabrik, perakitan, dan pergudangan dari berbagai perusahaan-perusahaan besar seperti Suzuki, Hankook, Honda, Astra, Toyota, Isuzu, Mitsubishi, Panasonic, Samsung, Toshiba, dan masih banyak lagi lainnya.
Meikarta direncanakan akan menjadi sebuah kota dengan bangunan gedung-gedung bertingkat seperti apartemen dan perkantoran. Rencana awalnya Miekarta akan melakukan pembangunan apartemen sebanyak 250 tower (dua ratus lima puluh tower apartemen), belum lagi office tower, mall, rumah sakit dan hotel.
Ditambah dengan pusat perbelanjaan yang disediakan seperti mall, minimarket, pasar atau market. Kemudian terdapat beberapa pusat pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi yang berstandar nasional maupun internasional. Ditambah dengan pusat kesehatan yang juga bertaraf internasional. Jadi pusat kesehatan yang disediakan benar-benar akan memfasilitasi penghuni Meikarta dengan baik.
Namun aksi Superhero OTT KPK membuyarkan proyek mercusuar ini. OTT terhadap Direktur Operasional PT Lippo dan Bupati Bekasi periode 2017-2022 karena terkait dengan gratifikasi pengurusan ijin Miekarta menjadi pukulan telak, bukan hanya kepada PT Lippo dan investor tetapi pembeli unit property Miekarta pun terkena imbasnya. Bahkan pembeli Miekarta sampai saat ini nasibnya terkatung-katung tidak tentu rimbanya, karena unit yang mereka pesan tidak ada kepastian.
Pukulan telak dari KPK bukan saja kepada terpidana Gratifikasi pengurusan ijin Miekarta, tetapi dialami juga oleh investor, pembeli unit, dan masyarakat sekitar. Bahkan KPK sempat menggeledah rumah CEO Lippo Group, James Riady, walaupun kemudian diketahui bahwa tidak ditemukan bukti adanya keterlibatan James Riady dalam kasus gratifikasi tersebut, namun kepercayaan investor terhadap pelaksanaan proyek Miekarta telah runtuh. Akibatnya, proyek sampai saat ini mangkrak.
PEMBANGUNAN BERNILAI TRILIUNAN
Dari ulasan tersebut di atas dapat dimaklumi bila LBP mewanti-wakti bahwa OTT cenderung memperburuk citra Indonesia dimata investor, apalagi, saat ini pemerintah sedang berfokus dengan pembangunan Kereta Api cepat Jakarta - Bandung dan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur.
Proyek mercusuar pemerintah dengan sejumlah pihak bukan saja membutuhkan dana trilliunan rupiah yang menguras pundi-pundi negara, tetapi ada investor dari negeri lain yang terlibat di dalamnya. Kegaduhan dan ketidakpastian atas dasar OTT bisa membuat mereka hengkang dari tanah air dan membuat proyek unggulan tersebut kembali mangkrak, walaupun proyek - proyek di inisiasi oleh pemerintah.
Proyek kereta cepat akan dibangun sepanjang 142,3 kilometer dengan 4 stasiun yaitu Stasiun Halim, Stasiun Karawang dari arah Jakarta. Selanjutnya Stasiun Padalarang stasiun Tegaluar dan Depo di Tegalluar dari arah Bandung.
Progres pengerjaan proyek diperkirakan telah mencapai 90 persen, dimana Kementerian Perhubungan telah membuat regulasi tentang penyelenggaraan kereta api cepat dalam upaya mendukung percepatan pembangunan kereta api. Ruang lingkup regulasi meliputi sarana dan prasarana teknis, lalu lintas dan angkutan kereta api cepat, standar keselamatan serta sertifikasi sumber daya manusia. Akan tetapi masih membutuhkan payung hukum dalam rangka percepatan proyek kereta api cepat Jakarta – Bandung terkait dengan operasi dan perawatan, masalah konektivitas, assebililitas, integrasi dan kelembagaan unit pelaksana teknis balai pengelolaan kereta api cepat. Dan sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur itu.
Disamping itu, ternyata target penyelesaian mengalami keterlambatan dari jadwal semula, yaitu tahun 2019 molor menjadi tahun 2022. Dan belakangan, targetnya mundur kembali menjadi 2023. Penyebab mundurnya pembangunan adalah dana yang tersedia di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) semakin menipis. Padahal pada awalnya, menurut perhitungan China, proyek ini membutuhkan biaya sebesar Rp 86,5 triliun. Namun saat ini, biaya proyek menjadi Rp 114,24 triliun alias membengkak sebesar Rp 27,09 triliun.
PT KCIC sendiri dalam keterangan resminya menjelaskan bahwa komposisi pendanaan proyek Kereta Cepat porsi pembiayaan terbesar berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) yaitu sebesar 75 persen. Sementara 25 persen pendanaan sisanya berasal dari setoran modal konsorsium dua negara, yakni Indonesia-China. Konsorsium BUMN Indonesia menyetorkan kontribusi sebesar 60 persen, sedangkan sisanya dari modal konsorsium China, Beijing Yawan sebesar 40 persen.
Dengan demikian, maka utang akan ditanggung oleh konsorsium PT KCIC, yang di dalamya terdapat beberapa perusahaan BUMN yang terlibat yakni PT KAI (Persero), yaitu PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN. Pola sindikasi semacam ini sangat rentan bila sampai terjadi proyek mangkrak, sebab Indonesia bisa kehilangan sejumlah aset strategis.
Lain soal Kerata Cepat, lain pula dengan IKN. Pembangunan megaproyek Ibu Kota Negara yang baru atau IKN diperkirakan memakan waktu antara 15-20 tahun. Namun, Presiden, TNI, Polri, dan sejumlah kementerian ditargetkan mulai pindah ke wilayah IKN pada tahun 2024. Artinya, sudah tinggal hitungan bulan.
Keseriusan Indonesia dalam menangani proyek ini ditunjukan dengan terbitnya UU Nomor 3/2022 tentang IKN, termasuk dengan pembiayaan. Sebab pembangunan IKN membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jokowi mengungkapkan bahwa proyek pemindahan ibu kota negara baru menelan anggaran hingga Rp 501 triliun. Dalam Undang-undang disebutkan bahwa sumber pendapatan IKN berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembangunan Proyek yang menelan biaya sangat besar ini, melibatkan sejumlah potensi nasional dan negara lain, tetapi tidak menutup kemungkinan bisa bubar di tengah jalan bila ditemukan potensi Korupsi yang penuntasannya dilakukan dengan cara-cara atraksi ala Superhero. Sehingga sangat beralasan apabila dua orang Menteri Koordinator, LBP dan Mahfud MD, gelisah dengan cara-cara main tangkap dulu urusan belakangan ala KPK.
*** ---***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H