Berbeda dengan matrilineal yang merupakan kebalikan dari Patrilineal. Matrilineal merupakan masyarakat hukum adat yang mengikuti garis keturunan Ibu. Artinya kedudukan Ibu lebih tinggi daripada Ayah. Dan terakhir ialah Parental. Dalam masyarakat hukum adat yang bersifat parental sistem kekerabatan yang dimiliki oleh anggota-anggotanya  bisa mengikuti garis keturunan Ayah maupun Ibu.
Adapun masyarakat hukum adat yang terbentuk karena teritorial dibatasi oleh wilayah-wilayah tertentu saja, misalnya adat Minangkabau yang ada di Sumatera Barat, adat Madura khusus di Kepulauan Madura dan sekitarnya, adat Batak yang dilestarikan oleh suku Batak, dan demikian pula dengan adat Bugis, Jawa, maupun adat Bali.
Dengan demikian maka hukum adat sebagai hukum tidak tertulis bisa dipakai oleh Hakim dalam memutuskan perkara sesuai dengan kebiasaan yang berkembang di daerah atau masyarakat adat setempat. Selain daripada itu, hukum adat juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan hukum di Indonesia.Â
Sehingga ketika Hakim menghadapi suatu perkara yang tidak ditemukan pengaturannya dalam hukum tertulis maka seorang Hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat adat guna memutus perkara tersebut. Artinya, seorang Hakim harus mengerti perihal hukum adat dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.Â
Namun demikian bukan berarti harus mengabaikan asas legalitas hukum yang melarang menghukum seseorang apabila belum ada aturannya. Kebolehan menggunakan eksistensi hukum adat sebagai rujukan dalam menangani perkara memiliki landasan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Â
Pada Pasal tersebut menyatakan bahwa "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Maksudnya, agar Hakim bertindak arif dan bijaksana di dalam mewujudkan rasa keadilan yang lebih komprehensif sesuai dengan hukum positif, sekaligus sejalan dengan adat kebiasaan setempat. Â
Ketentuan dalam Undang-undang No. 48/2009 pada pasal 5 tersebut memang lebih mengadopsi praktek Common Law System yang merupakan sistem hukum di Inggris.Â
Di dalam ketentuan tersebut lebih menganut aliran frele recht lehre sebagai suatu asas hukum yang tidak dibatasi Undang-undang. Sedangkan di Indonesia lebih mengadopsi Civil Law System atau eropa continental. Akan tetapi dalam beberapa kasus terkontaminiasi dengan common law system, dimana Hakim diberi kebebasan untuk melaksanakan Undang - undang atau mengabaikannya.Â
Oleh sebab itu, dengan merujuk pada ketentuan pasal 5 tersebut, maka Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat karena pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa belum ada hukum yang mengatur atau kurang jelas. Artinya, melalui ketentuan tersebut seorang Hakim wajib memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan.Â
Sehingga Hakim perlu mengetahui dan memahami eksistensi hukum adat dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menangani perkara. Apalagi hukum adat memiliki pengaruh dalam pembangunan hukum nasional sehingga mendalami dan menerapkan hukum adat menemukan urgensinya.
Â