Dan sebagai hukum yang berada di tengah-tengah masyarakat yang amat heterogen, maka hukum adat memiliki banyak variasi dan model yang tidak selalu bersesuaian dengan setiap daerah yang satu dengan daerah yang lain.Â
Dalam artian, ada kekhasan adat tertentu bagi setiap daerah atau wilayah, misalnya budaya Siri' untuk menyelesaikan suatu persoalan di Sulawesi.Â
Siri' merupakan tuntutan budaya terhadap setiap individu yang ada pada masyarakat Sulawesi Selatan dalam mempertahankan kesucian, keamanan, ketertiban dan kesejahteraan agar tetap terjamin. Artinya, Siri' dalam budaya Bugis merupakan realitas sosial dalam kehidupan sehari - hari.Â
Demikian halnya dengan Carok di masyarakat Madura. Carok adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan untuk mempertahankan harga diri dari pelecahan orang lain. Penyebab paling utama adalah pelecehan terhadap istri orang lain, sengketa tanah / lahan dan atau sumber daya alam.
Maka dari itu, praktek yang terjadi pada masyarakat hukum adat dalam perkembangan dan keberadaannya sering menimbulkan pertanyaan - pertanyaan, apakah aturan hukum adat tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari - hari masyarakat, termasuk dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul di tengah - tengah masyarakat hukum adat!Â
Sementara Indonesia mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Jadi antara hukum adat dengan hukum negara secara nasional mempunyai daya pengikat yang berbeda, dimana secara konstitusional bersifat sama akan tetapi ada perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Walaupun keberadaan hukum adat secara resmi telah diakui oleh negara, tetapi keberadaan dan eksistensi penggunaannya masih terbatas.Â
Pengakuan atas hukum adat merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan - kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang." Hal itu berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat dimana hak konstitusional hukum adat berada dalam system hukum Indonesia.
Berbagai peraturan perundang-undangan juga mengakui eksistensi hukum adat, misalnya Undang-undang Pokok Agraria yang mengatur masalah hak ulayat dalam Pasal 3 tentang "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang - undang dan peraturan - peraturan lain yang lebih tinggi".Â
Demikian halnya dengan UU No.1/1974 tentang Perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing - masing agamanya dan kepercayaannya itu." Jadi hukum adat dan kepercayaan masyarakat mendapat ruang yang cukup memadai dalam beberapa peraturan perundangan -- undangan yang ada di tanah air.
Eksistensi hukum adat dalam hukum nasional tidak terlepas dari aspek kesejarahan. Sejarah hukum nasional mengenal istilah hukum adat (adatrecht)Â pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje pada tahun 1893, melalui bukunya yang berjudul De Atjehers.Â