Selain dasar pemberatan pidana umum, Undang -- undang juga menyebutkan beberapa dasar sebagai alasan pemberatan pidana khusus. Disebut sebagai dasar pemberatan pidana khusus karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkan sebagai alasan pemberatan tetapi tidak berlaku pada tindak pidana lain, menurut Adami Chazawi.Â
Pemberatan pidana meliputi aspek kualitas dan kuantitas. Aspek kualitas apabila pemberatan terjadi karena perubahan dari satu jenis pidana yang lebih ringan kepada jenis pidana lain yang lebih berat sesuai dengan ketentuan Pasal 69 KUHP. Sedangkan aspek kuantitas apabila jumlah pidana bertambah dari jumlah pidana yang diancamkan sebelumnya. Dan pemberatan bisa terjadi dalam Hukum Pidana Khusus apabila ada kekhususan yang logis dibandingkan dengan rumusan tindak pidana lain yang lebih bersifat umum sebagaimana diatur dalam suatu Undang - undang Pidana Khusus. Sehingga terjadi perubahan jenis dan jumlah ancaman pidana sebagaimana ditentukan dalam suatu delik yang bersifat generalis dibandingkan dengan delik lain dalam suatu perbuatan yang dilarang. Dan apabila ditambahkan maka akan menjadi ketentuan pidana yang bersifat spesialis, kata Moeljatno.
Jadi Hakim memiliki kekuasaan untuk memberikan pemberatan hukuman di dalam pengadilan terhadap seorang terdakwa dengan mengacu kepada ketentuan tersebut diatas. Pemberatan hukuman yang bisa diberikan oleh Hakim berupa pemberatan umum, pemberatan kualitas pidana, pemberatan dengan perubahan model ancaman pidana, dan pemberatan dengan Pengancaman Minimum Khusus.
Pemberatan umum karena di dalam Undang - undang Pidana Khusus menyatakan bahwa suatu delik percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat suatu tindak pidana diperberat ancaman pidananya, dibandingkan dengan umumnya delik serupa di dalam KUHP. Suatu perbuatan yang masih dalam tingkat percobaan atau pembantuan dalam KUHP umumnya diancamkan pidana lebih rendah apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sempurna (vooltoid)Â maka diperberat dengan mengancamkan pidana yang sama.
Pemberatan kualitas pidana mengacu kepada pemberatan di dalam Undang - undang Pidana Khusus yang cukup banyak ditemukan apabila dibandingkan dengan delik umumnya dalam KUHPidana dan delik khususnya. Sedangkan kualitas pidana dalam Pidana Khusus dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu : Pertama, pemberatan dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti dalam KUHPidana; Kedua, pemberatan pidana dalam Undang - undang Pidana Khusus, karena kekhususan deliknya. Sementara pemberatan dalam tindak pidana korupsi dilakukan karena keadaan tertentu dimana menurut Andi Hamzah perlu dimuat dalam rumusan delik, yaitu pada Pasal 2 ayat (2) akan tetapi pada kenyataannya ditempatkan dalam penjelasan pasal.
Pemberatan dengan perubahan model ancaman pidana sebagaimana dalam KUHPidana yang hanya mengenal model ancaman pidana tunggal atau ancaman pidana alternatif sehingga hanya dimungkinkan penjatuhan satu pidana pokok untuk satu delik (single penalty), akan tetapi dalam beberapa Undang -- undang yang ada di luar KUHPidana ada beberapa ketentuan yang menggunakan model ancaman kumulatif. Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus (double penalties). Hal ini dapat dipandang sebagai pemberatan pidana, misalnya delik Tindak Pidana Pencucian Uang untuk Pidana Khusus semacam Korupsi dan Narkoba.
Pemberatan dengan pengancaman minimum khusus diatur di dalam beberapa Undang-undang. Penggunaan ancaman minimum khusus dalam ancaman pidana tidak dikenal dalam KUHPidana. Hal ini dapat dipandang sebagai pemberatan pidana. Undang -undang bukan hanya menentukan ancaman pidana maksimum yang dapat dijatuhkan oleh hakim, tetapi juga minimumnya. Dalam Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membolehkan penjatuhan pidana minimum khusus, baik pidana penjara maupun pidana denda. Pidana denda yang biasanya sudah dipraktekan adalah Pencabutan Hak Politik oleh Hakim melalui pengadilan. Bahkan menurut data yang diajukan oleh ICW pada saat mengajukan judicial review sebagai argumentasi agar Cakada mantan Narapidana diberi jeda 10 tahun sebelum diperbolehkan mencalonkan diri kembali sebagai Cakada. Ia menyajikan data bahwa dari 32 Terdakwa yang dituntut pencabutan hak politiknya, ternyata ada 26 terpidana korupsi yang dicabut hak politik dan cuma 6 orang yang tidak dikenai pencabutan hak politik. artinya, pemberatan berupa pencabutan hak politik telah berlangsung, sehingga pembatasan Cakada mantan terpidana melalui peraturan perundang-undangan sebagai mekanisme diluar pengadilan tidak bisa dibenarkan.
Jadi pemberatan pidana dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, baik pidana umum maupun pidana khusus sebagamana diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Sedangkan alas an - alasan penjatuhan pidana berat yang dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara berdasarkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan suatu tindak pidana. Artinya, praktek diskriminasi melalui putusan MK nomer 56/PUU-XVII/2019 sejatinya bertentangan dengan asas equality before the law yang berarti bahwa suatu negara hukum harus memberikan keadilan bagi setiap warga negaranya, tanpa terkecuali. Tidak berat sebelah ataupun berlaku hanya untuk satu pihak saja. Termasuk di dalam pemberian pelayanan yang sama antarwarga negara di hadapan hukum sekaligus tidak ada warga negara yang kebal terhadap hukum.
Adanya argumentasi pemohon bahwa rendahnya pemberatan hukuman berupa pencabutan hak politik tidak cukup kuat karena ternyata dari 86 kepala daerah yang telah divonis dalam kasus korupsi pada tahun 2004 -2018, hanya 30% atau 26 kepala daerah yang vonisnya mencabut hak politiknya. Argumentasi tersebut mengabaikan lenyataan bahwa KPK hanya menuntut pencabutan hak politik terhadap 38% atau 32 dari 86 kepala daerah yang disidangkan. Putusan pencabutan hak politik tersebut dilakukan oleh Majelis Hakim pengadilan Tipikor dalam suatu proses pengadilan. Argumentasi pemohon juga mengalami ambingu dan inkonsitensi karena menurut para Pemohon, kepala daerah baru menempati posisi terbanyak kelima sebagai aktor yang paling banyak menjadi tersangka kasus korupsi bila dibandingkan dengan sektor lainnya.
Jadi pemberlakuan norma akibat putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 telah serta merta menghukum dan membatasi hak seseorang tanpa melalui pengadilan. Padahal norma yang terdapat di dalam Undang-undang tidak dapat diberlakukan begitu saja. Sebab, seseorang hanya bisa dihukum melalui pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu hukuman pokok maupun tambahan / pemberatan. Dengan adanya putusan Mahkamah tersebut maka dapat dipandang bahwa tidak ada kepastian hukum karena putusan tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Bahkan putusan tersebut merugikan setiap bakal Cakada untuk dapat dipersamakan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta melanggar hak seseorang atau warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan moralitas hukum dan moralitas konstitusi, demikian sebagian bunyi konklusi dalam putusan nomor 4/PUU-VII/2009. Karena setiap warga negara yang berstatus sebagai mantan terpidana merupakan warga negara yang bebas merdeka walaupun sempat dinyatakan bersalah melalui pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tetapi selama dalam putusan tersebut tidak dinyatakan dilarang atau dicabut hak politiknya maka tidak boleh dirampas hak-haknya. Sebab praktek semacam ini sama dengan praktek yang dilakukan oleh rezim Orde Baru kepada simpatasin PKI atau penelitian khusus (Litsus) dalam kadar yang berbeda.Â
Berdasarkan uraian ringkas ini, maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan penting sebagai berikut :
- Putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 mendorong Hakim Mahkamah mengabaikan prinsip Rechstaat. Putusan tersebut mendorong Indonesia menjadi Machst karena mengesampingkan hak -- hak sipil dan politik, supremasi hukum, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri melalui pemilu yang LUBER dan JURDIL dimana pemilu menjadi mekanisme demokatis atas kedaulatan rakyat, termasuk dalam hal menentukan memilih atau tidak memilik sesorang kontestan (calon) kepala daerah. Akibat dari putusan tersebut Indonesia lebih mirip dengan system totaliter bila dibandingkan dengan system demokrasi.
- Inkonsistensi putusan Mahkamah Konstitusi yang berujung dengan terbitnya putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 telah melahirkan ketidakpastian norma tentang kepemiluan, pengingkaran terhadap equality berofe the law, perampasan hak sipil dan politik bagi warga negara sebagai pemilih yang memiliki kedaulatan, termasuk perampasan hak politik terutama bagi Calon Kepala Daerah yang memiliki latar belakang sebagai mantan terpidana agar mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan.