Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi terhadap Hukum Pemilu

27 November 2021   01:15 Diperbarui: 27 November 2021   01:17 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi Melawan Putusannya Sendiri

Pada tahun 2018 atau setahun sebelum pemilihan umum (Pemilu) tahun 2019 dilaksanakan, KPU sempat berinisiatif membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU untuk melarang calon Legislatif (Caleg) mantan terpidana. PKPU tersebut dimaksudkan untuk menghadang calon anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang pernah menjadi Terpidana. Inisiatif tersebut mengundang sejumlah polemik. Di satu sisi KPU bukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat norma baru, karena kewenangannya lebih terbatas sebagai penyelenggara pemilu. Di sisi lain telah ada putusan MK yang memperbolehkan mantan terpidana untuk menjadi Caleg.  Kehendak dari sejumlah pihak untuk menghalangi mantan terpidana, khususnya terpidana korupsi menjadi calon legislatif pun kandas. Hal itu sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final and binding.  Dan eks Terpidana pun boleh menjadi Calon Legislatif (Caleg) di semua tingkatan dan juga boleh menjadi Calon Kepala Daerah (Cakada), Gubernur, Bupati / Walikota, selama tidak dicabut hak politiknya oleh Pengadilan. 

Kebolehan mantan terpidana untuk menjadi Caleg dan Cakada setelah MK menetapkan putusannya secara berulang kali. Mahkamah telah membuat Putusan nomor 42/PUU-XIII/2015 atas permohonan pemohon bernama Jumanto dan Fathor Rasyid yang memberikan kuasa kepada Yusril Ihza Mahendra, dkk. Uji materiil dilakukan terhadap Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilu pada Pasal 7 huruf g dan h. Dalam Pasal 7 huruf g berbunyi : "Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih." Sedangkan di Pasal 7 huruf h berbunyi : "Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap." Dan Mahkamah mengabulkan atas uji materiil Pasal tersebut terhadap UUD NRI 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Pasal 7 tersebut diatas membolehkan eks Terpidana untuk menjadi Calon Legislatif (Caleg) dan Calon Kepala Daerah (Cakada) dengan syarat. "Sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Artinya, MK memperbolehkan semua eks Terpidana tanpa terkecuali, termasuk mantan terpidana dengan kasus Korupsi, Terorisme, dan Kealpaan untuk menjadi Caleg dan Cakada. Kebolehan tersebut karena Caleg dan Cakada adalah jabatan publik yang dipilih (elected officials). Mahkamah berpandangan bahwa, "Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seorang mantan Narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g Undang-undang nomor 8/2015". Putusan ini menegaskan bahwa setiap orang yang telah menjalani hukuman atau mantan Terpidana haknya tidak boleh dikurangi sedikit pun selain daripada putusan yang telah diputuskan oleh Pengadilan.

Pendapat Mahkamah tersebut senada dengan putusan yang menolak permohonan uji materiil atas Pasal 182 Huruf g dan Pasal 240 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan putusan nomor 81/PUU-XVI/2018. Putusan tersebut dibuat atas permohonan pemohon yang bernama Muhammad Hafidz, dkk. Dalam waktu yang hampir bersamaan ada permohonan uji materiil dari SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) atas materi hukum yang sama, sehingga MK menetapkan putusan nomor 83/PUU-XVI/2018. Kedua putusan tersebut diputuskan pada tanggal 12 Desember 2018. Kedua pemohon mengajukan uji materiil terkait dengan kebolehan mantan narapidana korupsi menjadi kontestan peserta pemilu, yaitu Caleg. Meskipun dalam pokok perkara yang dimohonkan terkait dengan pencalegkan. Akan tetapi, karena norma yang diputuskan oleh Mahkamah adalah norma tentang pemilu maka seyogyanya berlaku pula untuk Cakada. 

Mahkamah dalam amar putusannya tanggal 12 desember 2018 mempertimbangkan bahwa argumentasi para pemohon yang mengatakan bahwa hanya mantan terpidana korupsi yang tidak layak menduduki jabatan publik, dipandang oleh Mahkamah sama artinya bahwa pemohon menganggap mantan pelaku kejahatan lain boleh menduduki jabatan publik. Walaupun mahkamah menyatakan memahami tujuan dari para pemohon yang pada dasarnya hendak meniadakan peluang dari semua mantan terpidana pelaku kejahatan untuk menduduki jabatan publik, tetapi Mahkamah menolak kedua permohonan perkara tersebut. Penolakan Mahkamah sejatinya sejalan dengan putusan sebelumnya, yaitu Putusan nomor 42/PUU-XIII/2015. Putusan tersebut sekaligus memperkuat putusan nomer 4/PUU-VII/2009 atau 9 tahun sebelumnya.

Dari berbagai putusan Mahkamah Konstitusi diatas, sejatinya menegaskan bahwa norma Undang - undang yang esensi materi / muatannya memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam putusan nomor 42/PUU-XIII/2015, dimana Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya sebagaimana Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016, Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007 yang ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Nomor 79/PUU-X/2012. Semua putusan tersebut sejalan dengan hakekat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat yurisprudensi peradilan yang bisa menjadi sumber hukum tata negara, baik yang bersifat formal maupun material, menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya tentang Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 

Mahkamah melalui putusan-putusan tersebut diatas menegaskan bahwa norma Undang-undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Dimana syarat yang dimaksudkan oleh Mahkamah adalah : (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. 

Dari ulasan tersebut di atas terlihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi sumber hukum formal dan material. Putusan Mahkamah merupakan yurisprudensi peradilan yang terkait dengan praktek penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Jadi, meskipun materiilnya tertuang dalam muatan norma Undang - undang yang berbeda tetapi putusan Mahkamah Konstitusi tetap berlaku pada norma selanjutnya. Sehingga putusan nomor 42/PUU-XIII/2015 berlaku pula dalam menilai konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yang berbunyi: “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Bila dalam putusan tersebut bersifat alternatif maka tidak demikian dengan Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019. Putusan Mahkamah Nomor 56/PUU-XVII/2019 berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya. Mahkamah melalui putusan tersebut menggeser menjadi kumulatif, sehingga berimplikasi terhadap kepastian hukum dimana putusan Mahkamah merupakan salah satu sumber hukum pemilu. 

Sebab, Putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 bertentangan dengan putusan nomer 4/PUU-VII/2009 dan Putusan nomor 42/PUU-XIII/2015, serta bertentangan pula dengan putusan nomor 120/PUU-X/2009, putusan nomor 79/PUU-X2012, bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan Putusan nomor 82/PUU-XVI/2018 dan Putusan nomor 83/PUU-XVI/2018 walaupun menolak permohonan pemohon. Padahal Mahkamah dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan : Kata “dikecualikan” dalam syarat ketiga dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 menjadi tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Jadi ketika seorang mantan narapidana selesai menjalani masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, maka ia dapat mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, dan walikota atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials). Pendirian Mahkamah melalui Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tersebut tidak saja sejalan dengan prinsip persamaan dihadapan hukum, bahkan lebih daripada itu, memuat persamaan kesempatan dalam pemerintahan. Dalam konteks negara demokrasi maka pendirian Mahkamah juga sejalan dengan hakikat demokrasi dimana pemilik kedaulatan tertinggi adalah rakyat yang bisa dengan bebas menentukan pilihannya. Oleh karena itu, apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka berlaku syarat kedua putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya berlaku. Jadi syarat tersebut merupakan syarat alternatif bukan kumulatif. 

Jelas bahwa Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 membuat norma yang berbeda dari putusan-putusan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (pemilukada). Putusan tersebut memberikan pendirian yang berbeda dalam mensikapi Calon Legislatif (Caleg) dengan Calon Kepala Daerah (Cakada) mantan Terpidana. 

Bahkan Mahkamah menyatakan bahwa Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009 telah diberikan tafsir baru dengan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009. Sehingga pengakuan secara terbuka sebagai suatu persyaratan administratif belaka bagi calon Kepala Daerah. Mahkamah berpendapat bahwa rezim hukum Pasal 58 huruf f UU No. 32/2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir. Dan sebagai gantinya, maka tafsir baru atas Pasal 58 huruf f Undang-undang Nomor 32/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUUVII/2009 tanggal 24 Maret 2009. 

Artinya, Mahkamah memberikan perlakuan sama kepada semua mantan Terpidana yang hendak menjadi Caleg dengan syarat memberikan pengakuan / pengumuman secara terbuka sebagai alternatif atau dengan masa tunggu 5 tahun. Akan tetapi berbeda dengan mantan narapidana yang hendak mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah yang disyaratkan harus menunggu selama 5 tahun sejak bebas menjalani masa hukuman. Jadi Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 memberikan syarat yang berbeda terhadap Cakada dengan Caleg mantan Terpidana. Syarat bagi Caleg cukup hanya dengan memberikan pengumuman sebagai mantan Terpidana, tetapi untuk Cakada harus menunggu 5 tahun sejak bebas menjalani hukuman.

Bahkan Mahkamah mendalilkan bila substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 tidak berbeda dengan substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Sementara Amar Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Adapun terhadap Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang- undang Nomor 8 Tahun 2015 menyatakan bahwa norma Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pergeseran perubahan tersebut berlaku setelah Mahkamah mengabulkan sebagian uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Uji materiil diajukan oleh Perludem dan ICW terkait dengan pencalonan mantan terpidana dalam pilkada. Uji materiil dimohonkan pada Pasal 7 ayat (2) huruf g yang berbunyi : "Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan Terpidana." Dalam putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 per tanggal 11/12/2019, Anwar Usman selaku Ketua Majelis Hakim, menyatakan : "Mengadili, dalam provisi mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian." Dalam putusan tersebut, Anwar mengatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g bertentangan dengan Undang - undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga Pasal 7 ayat (2) huruf g berubah bunyinya menjadi, "Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 

  • "Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa."
  • "Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang."

Putusan Mahkamah tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi pemohon karena ICW dan Perludem sebenarnya meminta masa jeda selama 10 tahun. Dan MK hanya memberikan jeda lima tahun bagi mantan Narapidana seusai menjalani pidana penjara untuk bisa mencalonkan diri dalam Pilkada. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah memutuskan waktu jeda lima tahun lantaran menyesuaikan mekanisme lima tahunan pemilihan umum, sebagaimana putusan MK Nomor 04/PUU-XII/2009. Dalam putusan nomor 4/PUU-VII/2009 berbunyi, "Menyatakan ketentuan yang melarang terpidana menjadi calon Kepala Daerah dinyatakan inkonstitusional, tetapi ada syarat yang mesti dipenuhi sebagaimana diuraikan diatas.

Padahal di dalam pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 tersebut tidak dibedakan atau tanpa ada pengecualikan, tentu saja termasuk melindungi hak mantan Terpidana. Dimana sebagai salah satu ciri dari negara demokratis ialah berdasarkan hukum dengan mengakui, menjunjung tinggi, melindungi, memajukan, menegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak para mantan Terpidana. Sehingga argumentasi yang mengemuka untuk memberikan perlakuan diskirminatif terhadap Cakada mantan Narapidana bukan saja tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM tetapi juga dengan Konstitusi.  

Dan apabila dikaitkan dengan Lembaga Pemasyarakatan, dari perspektif sosiologis dan filosofis, penggantian sebutan Penjara kepada Pemasyarakatan dimaksudkan bahwa pemidanaan selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Sehingga secara filosofis dan sosiologis sistem Pemasyarakatan memandang Terpidana sebagai subjek hukum yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu - waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana. Jadi pemidanaan adalah suatu upaya untuk menyadarkan Narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral, keamanan dan ketertiban dan dapat aktif berperan kembali dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. Walaupun Putusan tersebut diambil tidak dengan suara bulat. Karena dari 9 hakim konstitusi, masih ada 3 hakim memilih berseberangan, yaitu Maria Farida Indarti, I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo. Sebab menurut mereka, UUD 1945 harus dan mampu menjadi konstitusi yang hidup (living constitution). Konstitusi bukanlah suatu benda yang hanya ada dalam nama melainkan dalam kenyataan. Ia bukanlah sesuatu yang ideal, melainkan sesuatu yang senyatanya ada. Dan manakala ia tidak dapat dihadirkan menjadi sesuatu yang dapat dilihat, maka konstitusi itu sesungguhnya tidak ada. Maksudnya, putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 menegasikan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi.

Sedangkan alasan Pemohon yang mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan apabila Caleg dan Cakada yang berasal dari mantan terpidana korupsi terpilih menjadi wakil rakyat atau pejabat publik merupakan suatu kesadaran yang mengabaikan hakekat demokrasi itu sendiri, yaitu, "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan." Benar, bahwa Hakim adalah penentu putusan perkara di pengadilan, tetapi tidak demikian dengan ranah politik. Penentu putusan dalam suatu kontestasi politik di negara demokrasi adalah rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Ditambah dengan adanya syarat pernyataan terbuka dan jujur dari mantan Narapidana untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten), maka segala sesuatunya terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan Narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Jadi rakyatlah yang menentukan siapa yang berhak mewakili dan menduduki jabatan publik. Dan mantan Narapidana pun bisa menggunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bebas merdeka tanpa ada belenggu atas nama konstitusi.

Mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu lembaga yang diberikan kewenangan oleh konstitusi, yaitu pasal 24C ayat 1 UUD Negara RI 1945 untuk menguji konstitusionalitas suatu norma yang ada di dalam Undang-undang terhadap norma yang ada di dalam UUD Negara RI 1945 dengan putusan yang bersifat final and binding. Artinya, MK adalah lembaga yang ditugaskan oleh konstitusi untuk menjaga agar seluruh Undang-undang berjalan bersesuaian arah dengan konstitusi atau dengan kata lain sebagai penjaga konstitusi, the guardian of constitusion. Namun dalam kenyatannya, putusan nomor 42/PUU-XIII/2015 yang ditegaskan kembali dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016 sejalan dengan Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007 yang ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009 serta Putusan Nomor 79/PUU-X/2012. dan masih selaras dengan putusan nomor 82/PUU-XVI/2018 dan putusan Nomor 83/PUU-XVI/2018 tetapi tidak bersesuaian dengan putusan nomor 56/PUU-XVII/2019.

Mahkamah Konstitusi memandang dan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap Calon Legislatif dengan Calon Kepala Daerah. Perbedaan putusan tersebut seolah ada perbedaan hakekat dari masing - masing pemilu legislatif (DPD, DPR RI, dan DPRD) dengan pemilu kepala daerah (Gubernur, Bupati / Walikota). Selain daripada itu, ada perbedaan perlakuan terhadap mantan Terpidana Culpa Levis. Perbedaan tersebut timbul karena konten judicial review yang diajukan memiliki perbedaan tafsir terhadap kontestan Pemilu Kepada Daerah (Pilkada) dengan Pemilu Legislatif (pileg) yang menyandang status sebagai mantan Terpidana ataukah karena sebab-sebab lain. Padahal dalam hakekat politik dan Hukum seharusnya setiap warga negara memperoleh perlakukan yang sama, selain yang diputuskan oleh pengadilan. Perbedaan perlakuan kepada Culpa Levis mengabaikan praktek kriminalisasi yang masih marak terjadi dalam penegakan hukum di tanah air. Oleh sebab itu, Putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019 dipandang sebagai putusan yang mengandung inkonsistensi dan mengandung unsur diskriminatif terhadap calon pejabat publik yang dipilih dengan status mantan Terpidana. Sebab hak konstitusional mantan terpidana sebagai warga negara tidak boleh dibedakan atau dikurangi selama pengadilan tidak memutuskan untuk diperlakukan demikian.

 

Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 berdasarkan permohonan uji materil kepada Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 atas frasa "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Sedangkan Undang-undang Nomor 10/2016 adalah Undang-undang tentang Perubahan kedua atas Undang - undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Uji materiil Undang-undang tersebut dilakukan terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Di dalam amar putusannya Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang - undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang - undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; Sehingga Pasal tersebut berbunyi, Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Amar Putusan ini bersifat kumulatif dari putusan semula bersifat alternatif. 

Apalagi Mahkamah Konstitusi pernah membuat Putusan nomor 4/PUU-VII/2009. Walaupun putusan tersebut dibuat atas dasar permohonan pemohon terkait dengan pencalonannya sebagai anggota legislatif tetapi putusan Mahkamah tersebut menyakatan bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf f UU No. 10/2008 dan Pasal 58 huruf f UU No. 12/2008 sebagai norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : "Tidak berlaku untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap."

Mengingat bahwa Kepala Daerah merupakan jabatan publik yang dipilih maka pada hakekatnya putusan tersebut berlaku bagi Cakada dan Caleg sebagai elected officials. Dalam Pertimbangan Putusan No. 4/PUU-VII/2009, Mahkamah berpendapat bahwa "jabatan publik yang pengisiannya dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul sendiri risiko pilihannya." Oleh sebab itu rakyat harus di dorong agar dapat kritis terhadap calon yang akan dipilih melalui penjelasan secara terbuka. Jadi argumentasi pemohon dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 terbantahkan oleh padangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Bahkan dalam pertimbangan lain Mahkamah menyatakan bahwa putusan nomor 14-17/PUU-V/2007 yang memerintahkan agar pembuat Undang - undang segara meninjau kembali semua Undang-undang yang berkaitan dengan hak pilih mantan terpidana sebagai hak konstitusional dalam pemilihan pejabat publik. Partimbangan tersebut sekaligus mensikapi pembuat Undang-undang yang membuat pembatasan dan/atau pelanggaran yang lebih berat dengan mengganti frasa "tidak sedang" menjadi tidak pernah.

Pemohon berargumentasi bahwa jabatan public haruslah dipangku oleh orang yang berkualitas dan integritas tinggi. Padahal pencalonan seseorang untuk mengisi suatu jabatan publik dengan tanpa membeda - bedakan orang sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi oleh pemohon dipandang tidak berarti bahwa negara tidak boleh mengatur atau menentukan persyaratannya, sepanjang pengaturan dan / atau persyaratan itu merupakan tuntutan objektif yang dibutuhkan oleh suatu jabatan atau aktivitas pemerintahan tertentu dan sepanjang pengaturan dan / atau persyaratan tersebut tidak bersifat diskriminatif dalam pengertian tidak membeda-bedakan orang atas dasar agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu. Pandangan pemohon dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 merupakan suatu padangan yang mengingkari hakekat dan prinsip-prinsip sebagai negara demokrasi, yaitu : dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Serta mengabaikan persamaan hak dihadapan hukum dan pemerintahan.

Perbedaan pendirian antara putusan nomor 4/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh pemohon uji materiil tentang Pemilu DPR RI, DPD RI, dan DPRD (Caleg) dengan putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 yang menguji tentang Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Calon Bupati / Wakil Bupati, Calon Walikota / Wakil Walikota (Cakada). Menurut Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati dalam dissenting opinion menyatakan bahwa putusan tersebut sama dan sebagun. Dalam amar putusan nomor 4/PUU-VII/2009 disebutkan dengan sebutan jabatan publik. Jadi yang dimaksud dengan jabatan publik yang dipilih seharusnya tidak terbatas hanya kepada pada Caleg tetapi juga kepada Cakada. 

Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 terkoreksi oleh putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015. Walaupun putusan tersebut lahir setelah Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah berganti menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang kemudian melahirkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor  1 Tahun 2015. Undang-undang tersebut kemudian diubah dua kali dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Pengujian terhadap larangan mantan terpidana menjadi Calon Kepala Daerah kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan registrasi nomor 42/PUU-XIII/2015. Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk menghilangkan masa tunggu 5 (lima) tahun setelah Terpidana selesai menjalani hukuman bagi mereka yang hendak mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Di dalam putusan ini pula Mahkamah menghilangkan syarat larangan bagi pelaku kejahatan berulang. Namun Mahkamah secara terbatas menguraikan kembali kewajiban untuk mengumumkan kepada masyarakat umum bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Dari kedua putusan ini Mahkamah mengalami inkonsistensi, dan inkonsistensi tersebut kembali diulang pada putusan nomor 56/PUU-XVII/2019.

Untuk lebih lengkapnya, pertimbangan Mahkamah di dalam Putusan 42/PUU-XIII/2015 adalah sebagai berikut: "...Apalagi syarat ketiga dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009 yaitu, "dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" adalah dimaksudkan agar publik dapat mengetahui bahwa pasangan calon yang akan dipilih pernah dijatuhi pidana. Dengan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan terpidana yang telah diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten) tersebut maka terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Kata "dikecualikan" dalam syarat ketiga dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bila yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar Putusan Mahkamah menjadi tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara resmi mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Dengan demikian, jika seorang mantan terpidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, maka yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials)."

Disini terlihat bahwa putusan Mahkamah sejalan dengan prinsip negara demokrasi dimana masyarakat lah yang memiliki kedaulatan untuk menentukan pilihannya. Namun, apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana, maka berlaku syarat kedua putusan Mahkamah yaitu, lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Artinya argumentasi pemohon dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 yang menganggap bahwa syarat lain yang mengatur pembatasan untuk jabatan yang dipilih melalui proses pemilu serta yang bersangkutan tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan, serta adanya syarat waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani masa hukuman, serta bukan pelaku kejahatan berulang adalah pertimbangan hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsp negara demokrasi dan supremasi hukum itu sendiri. Dalil moral yang dikemukakan oleh pemohon telah mengabaikan hak moral rakyat yang lebih banyak di dalam menentukan kedaulatannya, sehingga standart moral tersebut dikooptasi oleh sejumlah pihak orang saja.

Logika untuk mewujudkan politik elektoral yang berintegritas melalui tolak ukur pemberantasan korupsi yang dikemukakan oleh pemohon ternyata bertolak belakang dengan hasil survei yang dilakukan oleh Polling Center yang didanai The Asia Foundation pada tahun 2013, dimana dalam survey tersebut menujukkan bahwa masyarakat cenderung sangat permisif dengan praktik politik uang dalam pemilu.  Padahal hasil survey tersebut mereka sampaikan sebagai fakta ilmiah. Bahkan menurut Marcin Walecki (2003), masalah utama dalam korupsi pemilu berkaitan dengan masalah keuangan yang mensinyalir bahwa pendanaan dikumpulkan melalui operasi keuangan untuk keuntungan partai politik, kelompok kepentingan, atau kandidat dengan cara tidak benar atau tidak sah. Jadi argumentasi agar jabatan publik diisi oleh orang yang berkualitas dan berintegritas tinggi lebih sebagai slogan untuk pencitraan daripada kenyataan, karena kualitas demokrasi selalu berjalan beriringan dengan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, bahkan sebagai hukum tertinggi.

Dalam permohonannya pemohon juga memberikan argumentasi bahwa korupsi oleh Calon Kepala Daerah dilakukan untuk pengumpulan modal pemenangan, khususnya dana kampanye. Pemohon mensinyalir bahwa korupsi menyebabkan skandal pendanaan, seperti yang telah mengguncang banyak negara. Dalam argumentasi tersebut pemohon mengabaikan bahwa perilaku koruptif terjadi pula pada aparatur sipil, jabatan karir yang tidak melalui mekanisme pemilu, bahkan penyelenggara pemilu pun bisa terjerat oleh kasus serupa. Di dalam alasan permohonan pemohon pada putusan 81/PUU-XVI/2018 mengutip data yang dimiliki oleh Departemen Sejarah Universitas Gadjahmada pada tanggal 12 Oktober 2018 yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2001 sampai 2015 ternyata ada 2.569 orang terpidana korupsi tetapi hanya terdapat 559 orang diantaranya yang berasal dari Kepala Daerah (eksekutif) dan Wakil Rakyat (Legislatif). Argumentasi pemohon perkara dengan register nomor 56/PUU-XVII/2019 yang manyatakan bahwa Cakada harus menunggu selama waktu tertentu untuk dapat mencalonkan kembali sebagai bagian dari upaya mencegah praktek korupsi tidak bisa dijadikan alasan pokok karena bukti-bukti empiris yang dikemukakan pun terbantahkan.

Dan apabila mahalnya biaya politik disinyalir sebagai penyebab korupsi oleh pemohon dengan menyajikan temuan Badan Litbang Kemendagri bahwa untuk menjadi Walikota / Bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp 20 - Rp 30 miliar, sedangkan untuk menjadi Gubernur besaran biaya mencapai Rp 20 - Rp 100 miliar. Dengan menambahkan data dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramono Anung bahwa Caleg mesti menyiapkan uang antara Rp 300 juta hingga Rp 22 miliar untuk maju dalam pemilihan, bahkan ada yang mengeluarkan Rp 18 miliar hanya untuk membayar konsultan politik. Sesungguhnya argumentasi tersebut terbantahkan dari data tabulasi kuantitas korupsi yang disebutkan di atas. 

Sayangnya Hakim Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon.  Dalam hal itu pemohon berargumentasi bahwa hak politik adalah sesuatu yang dijamin pemenuhannya oleh UUD NRI 1945, akan tetapi hak politik adalah hak yang dapat dibatasi (derogable rights). Suatu argumentasi yang membenarkan bahwa ketika hendak menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia, maka dalam situasi tertentu negara dapat melakukan pembatasan-pembatasan tertentu sehingga hak-hak asasi yang berada di bawah jaminan negara dapat dilindungi, dihormati, dan dipenuhi. Argumentasi tersebut berlawanan dengan nalar sebagai negara demokrasi, terutama prinsip sebagai negara hukum dan persamaan hak di dalam pemerintahan. Dalil tersebut mengabaikan prinsip Rechstaat (negara hukum) dan mengarahkan menjadi negara Machstaat (negara kekuasaan). Disini terlihat bahwa putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 mengesampingkan hak -- hak sipil dan politik, supremasi hukum, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan praktek ini lebih mirip dengan praktek negara-negara otoriter, bukan negara demokrasi yang mengedapan supremasi hukum dimana kedaulatan sepenuhnya ada ditangan rakyat.

 

Perampasan Hak Tanpa Peradilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU/XVII/2019 berbeda dengan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, walaupun subjek dari kedua putusan bisa dikatakan berbeda yaitu antara Cakada dengan Caleg mantan Terpidana. Akan tetapi pada kenyatannya, baik Cakada maupun Caleg sama - sama jabatan publik yang dipilih (elected officials), namun kedua putusan memberikan norma yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Putusan 56/PUU/XVII/2009 berbeda dengan Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 terhadap subjek hukum yang sama yaitu calon pejabat publik, walaupun dalam pokok perkara diklasifikasikan sebagai Calon Gubernur / Wakil Gubernur, Calon Bupati / Wakil Bupati, Calon Walikota / Wakil Walikota mantan Terpidana. Padahal Mahkamah pernah menolak adanya perlakuan diskirminatif kepada mantan terpidana korupsi dengan terpidana lainnya melalui Putusan Nomor 81/PUU-XVI/2018 yang menghendaki mantan terpidana korupsi dilarang menjadi calon DPR RI, DPD RI dan DPRD. Demikian halnya dengan Putusan Nomor 83/PUU-XVI/2018 dimana pemohon mengajukan permohonan agar mantan Terpidana Korupsi, Narkoba, Kejahatan Seksual Terhadap Anak, dan  Terorisme dilarang menjadi Caleg. Kedua putusan tersebut dinyatakan ditolak oleh Hakim Mahkamah Konstitusi, dimana sejatinya kedua putusan yang di tolak tersebut memperkuat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.

Putusan - putusan Mahkamah tersebut diatas, selain memberi dampak konstitusi mengenai norma pemilu, ternyata menimbulkan ketidakpastian mengenai maksud dari pejabat publik yang dipilih (elected officials). Perbedaan antara putusan yang satu dengan putusan yang lain memberikan perbedaan perlakuan terhadap Caleg dengan Cakada. Bahkan Putusan Nomor 17/PUU-V/2007 yang menyatakan larangan bagi mantan terpidana untuk bisa mencalonkan diri menjadi kepala daerah adalah norma yang bersifat konstitusional bersyarat, sepanjang larangan bagi mantan terpidana itu tidak mencakup kepada tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa levis). Putusan ini dibuat atas uji materiil Pasal 58 huruf f Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan pandangan atas kasus Pindana dengan Culpa Levis dengan Kriminalisasi bisa menjadi debatable, terutama terkait dengan maraknya praktek kriminalisasi dalam berbagai kasus hukum. Ketidakpastian yang timbul bukan hanya dalam perspektif hukum, pemenuhan hak sipil dan politik pun mengalami ketidakpastian. Penghilangan hak warga negara melalui putusan Nomor 56/PUU-XVII/2009 terjadi karena suatu warga negara mengalami perlakuan yang berbeda dengan warga negara yang lainnya, terutama dalam hal hak - haknya sebagai warga negara yang diambil tanpa melalui proses pengadilan. Penghilangan hak warga negara ini bisa dilihat dari dua sisi. Pada sisi pemilih telah terjadi penghilangan hak pilihnya untuk memberikan penilaian secara obyektif dan adil terhadap setiap orang lain, termasuk Cakada yang akan dipilih. Sedangkan pada sisi mantan terpidana telah dirampas haknya untuk diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa Pengadilan. 

Dikatakan perampasan hak tanpa melalui proses pengadilan karena system peradilan di tanah air telah mengenal pemberatan terhadap suatu kasus pidana tertentu. Hakim dapat memberikan pemberatan hukuman dengan menggunakan dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana di luar KUHPidana. Dasar pemberatan pidana khusus dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Dan Undang - undang mengatur tentang tiga hal dasar yang menyebabkan seorang terpidana mengalami pemberatan hukuman pidana, yaitu : 

Dasar pemberatan pidana karena jabatan. Pemberatan akibat jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHPidana yang berbunyi : "Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga". Jadi dasar pemberat terletak pada jabatan. Sehingga subjek hukum yang bisa diperberat pidananya adalah seorang pejabat atau pegawai negeri yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan / atau menggunakan jabatannya;

Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana Bendera Kebangsaan. Pemberatan pun bisa dikenakan kepada terpidana yang melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 (a) KUHPidana yang berbunyi, "Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga." Dalam ketentuan ini disebutkan secara tegas tentang tindak pidana subjek hukum yaitu waktu melakukan kejahatan. Jadi bentuk kejahatan ini tidak berlaku pada pelanggaran, tetapi berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut peraturan perundang -undangan yang ada diluar KUHPidana sepanjang "Waktu' atau pada saat melakukan kejahatan memenuhi ketentuan menggunakan sarana Bendera;

Dasar pemberatan pidana karena pengulangan. Selain dua dasar pemberatan sebagaimana disebutkan diatas. Tindak pidana yang dilakukan secara berulang juga bisa dikenakan pasal pemberatan. Ada dua pendekatan dengan terminology pengulangan itu sendiri yaitu menurut masyarakat dan menurut hukum pidana. Apabila masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana kemudian melakukan tindak pidana lagi, maka hal itu merupakan bentuk pengulangan tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Sedangkan pengulangan menurut hukum pidana tidaklah cukup bila hanya melihat berulangnya suatu tindak pidana tetapi perlu dikaitkan dengan syarat - syarat tertentu yang ditetapkan oleh Undang-undang. Dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini terletak pada faktor - faktor berikut ini :

  • Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana; 
  • Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama;
  • Pidana itu telah dijalankan oleh yang bersangkutan.

Selain dasar pemberatan pidana umum, Undang -- undang juga menyebutkan beberapa dasar sebagai alasan pemberatan pidana khusus. Disebut sebagai dasar pemberatan pidana khusus karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkan sebagai alasan pemberatan tetapi tidak berlaku pada tindak pidana lain, menurut Adami Chazawi. 

Pemberatan pidana meliputi aspek kualitas dan kuantitas. Aspek kualitas apabila pemberatan terjadi karena perubahan dari satu jenis pidana yang lebih ringan kepada jenis pidana lain yang lebih berat sesuai dengan ketentuan Pasal 69 KUHP. Sedangkan aspek kuantitas apabila jumlah pidana bertambah dari jumlah pidana yang diancamkan sebelumnya. Dan pemberatan bisa terjadi dalam Hukum Pidana Khusus apabila ada kekhususan yang logis dibandingkan dengan rumusan tindak pidana lain yang lebih bersifat umum sebagaimana diatur dalam suatu Undang - undang Pidana Khusus. Sehingga terjadi perubahan jenis dan jumlah ancaman pidana sebagaimana ditentukan dalam suatu delik yang bersifat generalis dibandingkan dengan delik lain dalam suatu perbuatan yang dilarang. Dan apabila ditambahkan maka akan menjadi ketentuan pidana yang bersifat spesialis, kata Moeljatno.

Jadi Hakim memiliki kekuasaan untuk memberikan pemberatan hukuman di dalam pengadilan terhadap seorang terdakwa dengan mengacu kepada ketentuan tersebut diatas. Pemberatan hukuman yang bisa diberikan oleh Hakim berupa pemberatan umum, pemberatan kualitas pidana, pemberatan dengan perubahan model ancaman pidana, dan pemberatan dengan Pengancaman Minimum Khusus.

Pemberatan umum karena di dalam Undang - undang Pidana Khusus menyatakan bahwa suatu delik percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat suatu tindak pidana diperberat ancaman pidananya, dibandingkan dengan umumnya delik serupa di dalam KUHP. Suatu perbuatan yang masih dalam tingkat percobaan atau pembantuan dalam KUHP umumnya diancamkan pidana lebih rendah apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sempurna (vooltoid) maka diperberat dengan mengancamkan pidana yang sama.

Pemberatan kualitas pidana mengacu kepada pemberatan di dalam Undang - undang Pidana Khusus yang cukup banyak ditemukan apabila dibandingkan dengan delik umumnya dalam KUHPidana dan delik khususnya. Sedangkan kualitas pidana dalam Pidana Khusus dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu : Pertama, pemberatan dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti dalam KUHPidana; Kedua, pemberatan pidana dalam Undang - undang Pidana Khusus, karena kekhususan deliknya. Sementara pemberatan dalam tindak pidana korupsi dilakukan karena keadaan tertentu dimana menurut Andi Hamzah perlu dimuat dalam rumusan delik, yaitu pada Pasal 2 ayat (2) akan tetapi pada kenyataannya ditempatkan dalam penjelasan pasal.

Pemberatan dengan perubahan model ancaman pidana sebagaimana dalam KUHPidana yang hanya mengenal model ancaman pidana tunggal atau ancaman pidana alternatif sehingga hanya dimungkinkan penjatuhan satu pidana pokok untuk satu delik (single penalty), akan tetapi dalam beberapa Undang -- undang yang ada di luar KUHPidana ada beberapa ketentuan yang menggunakan model ancaman kumulatif. Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus (double penalties). Hal ini dapat dipandang sebagai pemberatan pidana, misalnya delik Tindak Pidana Pencucian Uang untuk Pidana Khusus semacam Korupsi dan Narkoba.

Pemberatan dengan pengancaman minimum khusus diatur di dalam beberapa Undang-undang. Penggunaan ancaman minimum khusus dalam ancaman pidana tidak dikenal dalam KUHPidana. Hal ini dapat dipandang sebagai pemberatan pidana. Undang -undang bukan hanya menentukan ancaman pidana maksimum yang dapat dijatuhkan oleh hakim, tetapi juga minimumnya. Dalam Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membolehkan penjatuhan pidana minimum khusus, baik pidana penjara maupun pidana denda. Pidana denda yang biasanya sudah dipraktekan adalah Pencabutan Hak Politik oleh Hakim melalui pengadilan. Bahkan menurut data yang diajukan oleh ICW pada saat mengajukan judicial review sebagai argumentasi agar Cakada mantan Narapidana diberi jeda 10 tahun sebelum diperbolehkan mencalonkan diri kembali sebagai Cakada. Ia menyajikan data bahwa dari 32 Terdakwa yang dituntut pencabutan hak politiknya, ternyata ada 26 terpidana korupsi yang dicabut hak politik dan cuma 6 orang yang tidak dikenai pencabutan hak politik. artinya, pemberatan berupa pencabutan hak politik telah berlangsung, sehingga pembatasan Cakada mantan terpidana melalui peraturan perundang-undangan sebagai mekanisme diluar pengadilan tidak bisa dibenarkan.

Jadi pemberatan pidana dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, baik pidana umum maupun pidana khusus sebagamana diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Sedangkan alas an - alasan penjatuhan pidana berat yang dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara berdasarkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan suatu tindak pidana. Artinya, praktek diskriminasi melalui putusan MK nomer 56/PUU-XVII/2019 sejatinya bertentangan dengan asas equality before the law yang berarti bahwa suatu negara hukum harus memberikan keadilan bagi setiap warga negaranya, tanpa terkecuali. Tidak berat sebelah ataupun berlaku hanya untuk satu pihak saja. Termasuk di dalam pemberian pelayanan yang sama antarwarga negara di hadapan hukum sekaligus tidak ada warga negara yang kebal terhadap hukum.

Adanya argumentasi pemohon bahwa rendahnya pemberatan hukuman berupa pencabutan hak politik tidak cukup kuat karena ternyata dari 86 kepala daerah yang telah divonis dalam kasus korupsi pada tahun 2004 -2018, hanya 30% atau 26 kepala daerah yang vonisnya mencabut hak politiknya. Argumentasi tersebut mengabaikan lenyataan bahwa KPK hanya menuntut pencabutan hak politik terhadap 38% atau 32 dari 86 kepala daerah yang disidangkan. Putusan pencabutan hak politik tersebut dilakukan oleh Majelis Hakim pengadilan Tipikor dalam suatu proses pengadilan. Argumentasi pemohon juga mengalami ambingu dan inkonsitensi karena menurut para Pemohon, kepala daerah baru menempati posisi terbanyak kelima sebagai aktor yang paling banyak menjadi tersangka kasus korupsi bila dibandingkan dengan sektor lainnya.

Jadi pemberlakuan norma akibat putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 telah serta merta menghukum dan membatasi hak seseorang tanpa melalui pengadilan. Padahal norma yang terdapat di dalam Undang-undang tidak dapat diberlakukan begitu saja. Sebab, seseorang hanya bisa dihukum melalui pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu hukuman pokok maupun tambahan / pemberatan. Dengan adanya putusan Mahkamah tersebut maka dapat dipandang bahwa tidak ada kepastian hukum karena putusan tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Bahkan putusan tersebut merugikan setiap bakal Cakada untuk dapat dipersamakan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta melanggar hak seseorang atau warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan moralitas hukum dan moralitas konstitusi, demikian sebagian bunyi konklusi dalam putusan nomor 4/PUU-VII/2009. Karena setiap warga negara yang berstatus sebagai mantan terpidana merupakan warga negara yang bebas merdeka walaupun sempat dinyatakan bersalah melalui pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tetapi selama dalam putusan tersebut tidak dinyatakan dilarang atau dicabut hak politiknya maka tidak boleh dirampas hak-haknya. Sebab praktek semacam ini sama dengan praktek yang dilakukan oleh rezim Orde Baru kepada simpatasin PKI atau penelitian khusus (Litsus) dalam kadar yang berbeda. 

Berdasarkan uraian ringkas ini, maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan penting sebagai berikut :

  1. Putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 mendorong Hakim Mahkamah mengabaikan prinsip Rechstaat. Putusan tersebut mendorong Indonesia menjadi Machst karena mengesampingkan hak -- hak sipil dan politik, supremasi hukum, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri melalui pemilu yang LUBER dan JURDIL dimana pemilu menjadi mekanisme demokatis atas kedaulatan rakyat, termasuk dalam hal menentukan memilih atau tidak memilik sesorang kontestan (calon) kepala daerah. Akibat dari putusan tersebut Indonesia lebih mirip dengan system totaliter bila dibandingkan dengan system demokrasi.
  2. Inkonsistensi putusan Mahkamah Konstitusi yang berujung dengan terbitnya putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 telah melahirkan ketidakpastian norma tentang kepemiluan, pengingkaran terhadap equality berofe the law, perampasan hak sipil dan politik bagi warga negara sebagai pemilih yang memiliki kedaulatan, termasuk perampasan hak politik terutama bagi Calon Kepala Daerah yang memiliki latar belakang sebagai mantan terpidana agar mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan.

---***---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun