Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi terhadap Hukum Pemilu

27 November 2021   01:15 Diperbarui: 27 November 2021   01:17 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 berdasarkan permohonan uji materil kepada Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 atas frasa "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Sedangkan Undang-undang Nomor 10/2016 adalah Undang-undang tentang Perubahan kedua atas Undang - undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Uji materiil Undang-undang tersebut dilakukan terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Di dalam amar putusannya Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang - undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang - undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; Sehingga Pasal tersebut berbunyi, Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Amar Putusan ini bersifat kumulatif dari putusan semula bersifat alternatif. 

Apalagi Mahkamah Konstitusi pernah membuat Putusan nomor 4/PUU-VII/2009. Walaupun putusan tersebut dibuat atas dasar permohonan pemohon terkait dengan pencalonannya sebagai anggota legislatif tetapi putusan Mahkamah tersebut menyakatan bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf f UU No. 10/2008 dan Pasal 58 huruf f UU No. 12/2008 sebagai norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : "Tidak berlaku untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap."

Mengingat bahwa Kepala Daerah merupakan jabatan publik yang dipilih maka pada hakekatnya putusan tersebut berlaku bagi Cakada dan Caleg sebagai elected officials. Dalam Pertimbangan Putusan No. 4/PUU-VII/2009, Mahkamah berpendapat bahwa "jabatan publik yang pengisiannya dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul sendiri risiko pilihannya." Oleh sebab itu rakyat harus di dorong agar dapat kritis terhadap calon yang akan dipilih melalui penjelasan secara terbuka. Jadi argumentasi pemohon dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 terbantahkan oleh padangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Bahkan dalam pertimbangan lain Mahkamah menyatakan bahwa putusan nomor 14-17/PUU-V/2007 yang memerintahkan agar pembuat Undang - undang segara meninjau kembali semua Undang-undang yang berkaitan dengan hak pilih mantan terpidana sebagai hak konstitusional dalam pemilihan pejabat publik. Partimbangan tersebut sekaligus mensikapi pembuat Undang-undang yang membuat pembatasan dan/atau pelanggaran yang lebih berat dengan mengganti frasa "tidak sedang" menjadi tidak pernah.

Pemohon berargumentasi bahwa jabatan public haruslah dipangku oleh orang yang berkualitas dan integritas tinggi. Padahal pencalonan seseorang untuk mengisi suatu jabatan publik dengan tanpa membeda - bedakan orang sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi oleh pemohon dipandang tidak berarti bahwa negara tidak boleh mengatur atau menentukan persyaratannya, sepanjang pengaturan dan / atau persyaratan itu merupakan tuntutan objektif yang dibutuhkan oleh suatu jabatan atau aktivitas pemerintahan tertentu dan sepanjang pengaturan dan / atau persyaratan tersebut tidak bersifat diskriminatif dalam pengertian tidak membeda-bedakan orang atas dasar agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu. Pandangan pemohon dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 merupakan suatu padangan yang mengingkari hakekat dan prinsip-prinsip sebagai negara demokrasi, yaitu : dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Serta mengabaikan persamaan hak dihadapan hukum dan pemerintahan.

Perbedaan pendirian antara putusan nomor 4/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh pemohon uji materiil tentang Pemilu DPR RI, DPD RI, dan DPRD (Caleg) dengan putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 yang menguji tentang Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Calon Bupati / Wakil Bupati, Calon Walikota / Wakil Walikota (Cakada). Menurut Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati dalam dissenting opinion menyatakan bahwa putusan tersebut sama dan sebagun. Dalam amar putusan nomor 4/PUU-VII/2009 disebutkan dengan sebutan jabatan publik. Jadi yang dimaksud dengan jabatan publik yang dipilih seharusnya tidak terbatas hanya kepada pada Caleg tetapi juga kepada Cakada. 

Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 terkoreksi oleh putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015. Walaupun putusan tersebut lahir setelah Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah berganti menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang kemudian melahirkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor  1 Tahun 2015. Undang-undang tersebut kemudian diubah dua kali dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Pengujian terhadap larangan mantan terpidana menjadi Calon Kepala Daerah kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan registrasi nomor 42/PUU-XIII/2015. Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk menghilangkan masa tunggu 5 (lima) tahun setelah Terpidana selesai menjalani hukuman bagi mereka yang hendak mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Di dalam putusan ini pula Mahkamah menghilangkan syarat larangan bagi pelaku kejahatan berulang. Namun Mahkamah secara terbatas menguraikan kembali kewajiban untuk mengumumkan kepada masyarakat umum bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Dari kedua putusan ini Mahkamah mengalami inkonsistensi, dan inkonsistensi tersebut kembali diulang pada putusan nomor 56/PUU-XVII/2019.

Untuk lebih lengkapnya, pertimbangan Mahkamah di dalam Putusan 42/PUU-XIII/2015 adalah sebagai berikut: "...Apalagi syarat ketiga dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009 yaitu, "dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" adalah dimaksudkan agar publik dapat mengetahui bahwa pasangan calon yang akan dipilih pernah dijatuhi pidana. Dengan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan terpidana yang telah diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten) tersebut maka terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Kata "dikecualikan" dalam syarat ketiga dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bila yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar Putusan Mahkamah menjadi tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara resmi mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Dengan demikian, jika seorang mantan terpidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, maka yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials)."

Disini terlihat bahwa putusan Mahkamah sejalan dengan prinsip negara demokrasi dimana masyarakat lah yang memiliki kedaulatan untuk menentukan pilihannya. Namun, apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana, maka berlaku syarat kedua putusan Mahkamah yaitu, lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Artinya argumentasi pemohon dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 yang menganggap bahwa syarat lain yang mengatur pembatasan untuk jabatan yang dipilih melalui proses pemilu serta yang bersangkutan tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan, serta adanya syarat waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani masa hukuman, serta bukan pelaku kejahatan berulang adalah pertimbangan hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsp negara demokrasi dan supremasi hukum itu sendiri. Dalil moral yang dikemukakan oleh pemohon telah mengabaikan hak moral rakyat yang lebih banyak di dalam menentukan kedaulatannya, sehingga standart moral tersebut dikooptasi oleh sejumlah pihak orang saja.

Logika untuk mewujudkan politik elektoral yang berintegritas melalui tolak ukur pemberantasan korupsi yang dikemukakan oleh pemohon ternyata bertolak belakang dengan hasil survei yang dilakukan oleh Polling Center yang didanai The Asia Foundation pada tahun 2013, dimana dalam survey tersebut menujukkan bahwa masyarakat cenderung sangat permisif dengan praktik politik uang dalam pemilu.  Padahal hasil survey tersebut mereka sampaikan sebagai fakta ilmiah. Bahkan menurut Marcin Walecki (2003), masalah utama dalam korupsi pemilu berkaitan dengan masalah keuangan yang mensinyalir bahwa pendanaan dikumpulkan melalui operasi keuangan untuk keuntungan partai politik, kelompok kepentingan, atau kandidat dengan cara tidak benar atau tidak sah. Jadi argumentasi agar jabatan publik diisi oleh orang yang berkualitas dan berintegritas tinggi lebih sebagai slogan untuk pencitraan daripada kenyataan, karena kualitas demokrasi selalu berjalan beriringan dengan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, bahkan sebagai hukum tertinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun