مَّنِ ٱهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِى لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
Artinya: "Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul."
Asas legalitas sebagai asas hukum diambil dari kata legalitas yang berasal dari bahasa Latin yaitu lex yang berarti undang-undang. Dengan demikian maka asas legalitas dapat diartikan sebagai keabsahan sesuatu menurut undang-undang. Asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan peraturan perundang - perundangan pidana”.
Istilah asas legalitas dalam syariat islam tidak ditentukan secara spesifik sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana positif. Namun demikian bukan berarti syariat islam tidak mengenal asas legalitas. Anggapan bahwa hukum pidana islam tidak mengatur asas legalitas, hanya pendapat mereka yang belum meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas. Walaupun eksistensi asas legalitas tidak ditentukan secara tegas dalam hukum pidana islam, namun secara substansial terdapat ayat Al Quran dan kaidah yang mengisyaratkan adanya asas legalitas dalam Jinayat, yakni:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Sanksi dalam Jinayat harus proporsional, setiap orang diberikan sanksi sesuai dengan kadar kesalahan dan dosanya, termasuk unsur niat dan tindak pidana yang dilakukan. Oleh sebab itu, sebagai salah satu kepastian dalam hukum pidana maka sanksi hukuman tidak boleh tidak berlaku umum karena setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama dengan niat dan tindak pidana yang sama, maka sanksinya juga sama sebagai asas legalitas.
2). Asas tidak berlaku surut ialah suatu asas yang melarang berlakunya hukum pidana ke belakang atau retroaktif. Asas ini dalam hukum islam dapat dilihat pada ketentuan mengenai seorang anak yang tidak diizinkan menikahi isteri dari ayahnya. Islam melarang hal ini, tetapi Allah telah menentukan melalui firmanNya bahwa ketentuan tersebut secara khusus tidak berlaku kepada setiap perkawinan yang dilakukan sebelum adanya pernyataan larangan dari Allah SWT,, melalui firmannya dalam QS 4:22 yang berbunyi :
وَلَا تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلًا
Artinya : "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)."
Jadi dalam penerapan Jinayat tidak berlaku retroaktif. Sebelum syariat Islam diturunkan oleh Allah SWT atau aturan hukum dibuat, maka sanksi hukum tidak dikenakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana.