Indonesia telah memutuskan untuk melangkah lebih jauh dalam berdemokrasi. Uji coba berbagai model pelaksanaan pemilu telah diterapkan sehingga bangsa ini memperoleh pengalaman empirik atas berbagai memfaat dan akibat yang ditimbulkan dari tiap model pemilu tersebut. Dalam hal mana dapat pula dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negera yang sangat berani melakukan eksperimen demokrasi. Tidak berlebihkan jikalau Indonesia dinyatakan mampu membuktikan kepada dunia tentang kematangannya dalam berdemokrasi, bahkan boleh dibilang berani lebih liberal daripada negara-negara kampiun demokrasi itu sendiri.
Sejak reformasi 1998 Indonesia telah melakukan sebanyak empat kali pemilu secara nasional dengan ratusan bahkan ribuan pemilu ditingkat daerah (pilkada). Pelaksaan pemilu legislatif dalam rangka memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta Kabupaten / Kota. Dan sejak tahun 2004 Indonesia telah mengadakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung berikut dengan pemilihan kepala daerah (pilkada), mulai dari Gubernur yang dipilih secara langsung, sampai dengan Bupati / Walikota yang juga diselenggarakan secara langsung.Â
Dari berbagai uji coba pelaksanaan pemilu tersebut, kita menyimpulkan bahwa diperlukan suatu pemilu yang lebih efisien baik dari segi materiil maupun non materiil. Palu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan amar putusan nomor 14/PUU-XI/2013 telah meneguhkan tekad bangsa Indonesia untuk melaksanakan suatu demokrasi yang menjamin partisipasi rakyat sekaligus efisien. Putusan MK tersebut juga dimaksudkan dalam rangka mendorong adanya suatu koalisi yang lebih strategis dan jangka panjang sekaligus untuk memperkuat system presidensial dengan harapan terjadi suatu penyederhanaan sistem kepartaian yang tidak kunjung terjadi.Â
Pelaksanaan pemilu serentak 2019 secara teknis akan terdapat lima kotak suara dan lima kertas suara, yaitu satu lembar kertas suara untuk memilih anggota DPR RI, satu lembar kertas suara dalam rangka menentukan DPD RI, demikian halnya dengan DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota, serta satu kertas suara yang diperuntukan buat menentukan Presiden dan Wakil Presiden yang masing-masing disediakan satu kotak suara berbeda bagi setiap kertas suara. Koheren dengan gambaran tersebut, sesungguhnya pelaksanaan pemilu serentak memang akan lebih efisien dari segi pembiayaan dan konflik karena penyelenggaraan pemilu akan lebih menghemat keuangan negara dan mengurangi energi sosial akibat dinamika yang sangat tinggi di grass root.
Pemilu serentak adalah pelaksanaan pemilihan presiden, pemilihan DPR RI dan DPRD, serta pemilihan DPD RI yang akan berlangsung secara bersamaan. Dan bukan saja pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) yang hendak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, tapi juga pemilu kepala daerah (pilkadal) sudah mulai dilakukan secara bertahap untuk dilaksanakan secara bersaman dalam satu waktu. Pilkada serentak akan diselenggarakan secara langsung dan nasional direncakan pada tahun 2027. Jadi mulai tahun 2027 pilkada dilakukan secara serentak diseluruh provinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia. Untuk selanjutnya dilakukan secara reguler setiap lima tahun sekali.
Proses pelaksanaan pilkada serentak secara gradual telah dimulai sejak tahun 2015 yang diikuti oleh 269 daerah yang diperuntukan bagi kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dan semester pertama tahun 2016, selanjutnya pilkada serentak tahun 2017 diikuti oleh 101 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada semester kedua tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir tahun 2017.Â
Sedangkan pilkada serentak tahun 2018 akan terjadi di 171 daerah dengan 17 tingkat Provinsi dan 154 untuk Kabupaten / Kota. Pilkada tahun ini diikuti oleh daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2018 dan 2019. Pelaksanaan pilkada serentak secara langsung diseluruh Indonesia direkayasa sedemikian rupa agar dapat dilakukan secara bersama-sama pada waktu yang telah ditentukan yaitu pada tahun 2027. Apabila periode 2014 sampai dengan 2019 ada tiga kali pilkada serentak dan satu kali pemilu serentak yaitu pileg dan pilpres, maka periode 2019 sampai 2024 akan ada tiga gelombang pilkada serentak yaitu tahun 2020 untuk daerah yang melaksanakan pilkada serentak tahun 2015, kemudian tahun 2022 bagi daerah yang melaksanakan pilkada tahun 2017 dan terakhir adalah pilkada tahun 2023 untuk kepala daerah hasil pilkada tahun 2018 sesuai dengan kesepakatan legislatif dan pemerintah selama penyusunan UU No. 1/2015. Dari tiga kali hasil pilkada tersebut kemudian digabung pelaksanaannya pada tahun 2027 untuk dilakukan secara serentak diseluruh Indonesa.
Pemilu Serentak 2019
Pemilu menurut Slamet Effendy Yusuf adalah pemilu untuk DPR RI, pemilu untuk DPD RI, pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD baik Provinsi maupun Kabupaten / Kota yang diletakan dalam satu rezim pemilu. Tahun 2019 merupakan momentum awal pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan secara serentak. Suatu mementum yang baru sama sekali bagi partai politik (parpol) sebagai kontestan, calon legislatif dan calon presiden, sekaligus model pelaksanaan pemilu yang juga baru bagi rakyat sebagai partisipan.Â
Dalam pemilu sebelumnya penyelenggara pemilu hanya menyediakan empat kertas suara dan kotak suara, dimana tiga diantaranya memiliki kesamaan-kesamaan dari segi substantif walaupun dari aspek teknis barangkali mempunyai beberapa varian penting. Sebagai gambaran untuk melukiskan pelaksanaan pemilu 2019 dapat merujuk ke pemilu 2014 dimana secara nasional -- kecuali Aceh -- parpol dan caleg bisa menjelaskan program dan isu-isu startegis yang akan diperjuangkan kepada rakyat. Artinya, perjuangan dan keberhasilan suatu program dan isu strategis memiki korelasi yang cukup jelas dengan parpol sebagai kontestasi pemilu sekaligus caleg yang diusung untuk menjadi representasi keinginan rakyat.Â
Meskipun pelaksanaan pemilu yang memisahkan penyelenggaraan pileg dengan pilpres tidak terlalu memberikan suatu konsistensi yang cukup penting dalam memperjuangkan program dan platform dari masing-masing parpol maupun visi / misi calon presiden yang diusung, tetapi setiap parpol dapat merumuskan program-program yang hendak diperjuangkan kepada rakyat melalui para calegnya, walaupun boleh jadi hanya berhenti ditingkat dokumen administratif.Â
Lain halnya dengan pemilu 2019 dimana parpol setidak-tidak sudah harus memutuskan koalisi untuk mengusung capres sebelum pemilu dilaksanakan dimana parpol sebagai aggregator dan articulator akan sulit menunjukan kekhasan, program yang dicanangkan, berikut hakekat kehadirannya ditengah-tengah rakyat. Sebab koalisi parpol pengusung capres idealnya memperkuat visi/misi calon yang diusungnya. Artinya, visi/misi calon presiden merupakan consensus bersama diantara parpol pendukung dengan calon yang diusung. Walaupun tidak menutup kemungkinan visi/misi capres disusun oleh partai-partai politik pengusung, sehingga citarasanya akan sangat gado-gado menjadi semacam "daftar kemauan parpol"
Dilema ini pangkal pokoknya adalah system multi partai yang tidak kunjung melahirkan suatu multi partai sederhana -- sehingga dalam mengusung capres selalu membutuhkan koalisi diantara parpol -- sedangkan pelaksanaan pemilu selama era reformasi tidak melahirkan suatu parpol dengan perolehan mayoritas di parlemen atau the rulling party. Padahal Indonesia menganut system presidensial dimana secara ideal presiden yang memerintah harus mendapat dukungan mayoritas di parlemen, legislatif.
Ditengah kerumitan-kerumitan pelaksanaan pemilu serentak 2019 ada sejumlah bonus atau keuntungan yang bersimbiosis mutualisme. Pilpres tahun 2019 diadakan bersamaan dengan pemilihan DPR RI dan DPRD dimana keduanya diusung oleh partai politik. Menurut Ramlan Surbakti, "pemilih awam pun kecenderungannya akan memilih anggota DPR yang partainya mengusung presiden yang juga dipilihnya tadi."Â
Namu tidak tertutup kemungkinan terjadi sebaliknya. Sejalan dengan pandangan ini, Presiden Joko Widodo sampai dengan saat ini telah memperoleh dukungan untuk mencalonkan kembali dari Golar (14,75%), menyusul kemudian Hanura (5,26%), Nasdem (6,72%) dan terakhir PDIP (18,95%). Berdasarkan perolehan pileg dalam pemilu tahun 2014 dari keempat parpol tersebut setelah digabungkan secara keseluruhan ternyata ada 251 kursi dari 560 kursi DPR RI atau 45,23 persen yang diperebutkan.Â
Akan tetapi bila parpol pendukung tahun 2014 tetap memutuskan mendukung dan berkoalisi maka ada tambahan sebesar 47 kursi dari PKB sehingga menjadi 298 atau menjadi 54,47 persen dengan mengabaikan perolehan PKPI yang tidak lolos sebagai peserta pemilu walaupun meraih 0,91 persen dukungan di pemilu yang lalu. Salah satu tantangan terbesar dari parpol pendukug ini adalah mengidentifikasikan diri dengan keberhasilan program yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla; memastikan perolehan suara pada pemilu yang lalu tetap loyal; membangun koalisi dengan pondasi yang lebih ideologis.
Personifikasi Joko Widodo (Jokowi) sangat sulit dipisahkan dengan PDIP, demikian halnya dengan Jusuf Kalla (JK) yang merupakan mantan ketua umum Golkar. Sedangkan program-program pembangunan pemerintah tentu merupakan prestasi Jokowi -- JK selaku pimpinan puncak walaupun ada sederet nama kader parpol koalisi yang turut memberikan andil didalamnya, baik sebagai menteri, komisaris sampai dengan direksi sejumlah BUMN. Walaupun aturan melarang hal itu terjadi, namun kedekataan dan relasi-relasi yang terjadi saling bertali-temali dengan parpol tertentu.Â
Artinya, pendukung Joko Widodo sebagai capres pada pemilu 2019 bisa tersebar kepada sejumlah parpol pendukung, walaupun PDIP akan sangat diuntungkan oleh keberadaan Jokowi, ini menjadi semacam capres effect. Partai-partai politik kontestan pemilu 2019 dapat memperoleh capres/cawapres effek atau bonus pemilu serentak karena ketua umum, tokoh atau kadernya disung sebagai capres / cawapres sehingga turut mendongkrak perolehan suara parpol dalam pileg. Parpol yang saat ini bisa dipastikan mendapat capres effect adalah PDIP yang telah mencalonkan kembali Joko Widodo, sedangkan tiga parpol pendukung yang lainnya dapat memperoleh cawapres effect yaitu Golkar, Hanura, dan Nasdem bila kader / tokoh sentralnya berpasangan dengan Jokowi sebagai cawapres. Peluang dari ketiga parpol untuk memperoleh capres effect tetap ada walaupun lebih kecil porsinya apabila dibandingkan dengan PDIP.Â
Peluang capres effect dari ketiga parpol sangat ditentukan dari kemampuan parpol itu sendri dalam mempersonifikasi Jokowi sebagai capres yang diusung oleh mereka. Parpol lain yang berpeluang memperoleh cawapres effect ialah PKB yang telah mengusung ketua umumnya sebagai cawapres, Muhaimin Iskandar. Sementara parpol-parpol kontestan pemilu 2014 yang lain belum secara terbuka mengusung/mencalonkan capres/cawapres. Sedangkan parpol baru tidak bisa dimasukan dalam pendekatan ini karena belum teruji dilapangan.
Sebenarnya apabila merujuk ke koalisi yang dibangun oleh Joko Widodo -- Jusuf Kalla dalam pemilu 2014 ada sekitar 40,63 persen perolehan suara parpol yang saat ini telah memutuskan pengusung / pendukung Joko Widodo untuk menjadi Capres berikutnya. Dalam pemungutan suara pilpres 2014 pasangan Jokowi -- JK mampu meraih 70.997.851 (53,15%) suara. Idealnya perolehan suara Jokowi dalam pilpres 2019 bertambah 14,75 persen yang berasal dari suara Gokar yang tidak ikut berkoalisi dalam pemilu sebelumnya, sehingga Jokowi bisa memperoleh 67,9 persen suara.Â
Namun perilaku pemilih dari pemilu ke pemilu dapat bertolak belakang dari asumsi dan kalkulasi diatas kertas, apalagi system pemilu tahun 2019 dilakukan secara serentak, sehingga parpol sebagai kontestan pemilu tidak akan banyak mengelaborasi perbedaan platform, program, dan public figurnya masing-masing sebagai vote getter. Disamping itu, ada semacam keterputusan antara partai -- partai politik era reformasi dengan pendukungnya akibat adanya semacam kekosongan ideology yang mendera parpol dewasa ini.Â
Padahal ideology merupakan sarana transformasi nilai yang dapat mengikat pendukung masing-masing parpol dengan penuh antusias dan militan. Tidak berlebihan kiranya bila pemilu serentak digunakan sebagai titik awal dalam melakukan konsolidasi ideologis dari masing-masing partai, sehingga pemilu serentak dimasa yang akan datang membalik kenyataan yaitu pemilih parpol pasti memilih capres/cawapres yang diusung, sehingga ada semacam effect kepada capres/cawapres yang diusung dari masing-masing parpol. Jadi parpol tidak sekedar menjadi loket tiket untuk masuk dalam kontestasi pemilu dan pilkada.
Permasalahan lain yang patut dicermati dari pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 ialah kader-kader partai yang akan lebih banyak berkonsentrasi kepada pemenangan dirinya sebagai calon legislatif, baik DPR RI maupun DPRD. Masing-masing parpol akan menerjunkan 560 orang calon anggota DPR RI dengan 2.207 orang calon anggota DPRD Provinsi diseluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk calon anggota DRPD Kabupaten / Kota yang terdiri dari 514 Kabupaten / Kota diseluruh Indonesia dimana jumlahnya akan mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan pemilu yang lalu.
Ada 17.560 calon anggota DPRD Kabupaten / Kota pada pileg tahun 2014. Dalam kenyataan yang demikian, parpol yang tokoh atau kadernya diusung sebagai capres / cawapres akan sangat dimudahkan oleh system pemilu serentak ini. Bahkan bisa lebih dari itu, bonus perolehan suara juga akan sangat terasa bagi parpol yang ikut kontestasi dimana kader / tokoh sentralnya diusung sebagai capres atau cawapres. Dan para caleg akan lebih militant dan lebih mudah menjelaskan bahwa program-program parpolnya adalah program pemerintahan yang akan datang.
---***---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H