Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bonus Pemilu Serentak 2019

1 Maret 2018   14:13 Diperbarui: 19 Juni 2023   18:59 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Fachri Fachrudin) kompas.com

Lain halnya dengan pemilu 2019 dimana parpol setidak-tidak sudah harus memutuskan koalisi untuk mengusung capres sebelum pemilu dilaksanakan dimana parpol sebagai aggregator dan articulator akan sulit menunjukan kekhasan, program yang dicanangkan, berikut hakekat kehadirannya ditengah-tengah rakyat. Sebab koalisi parpol pengusung capres idealnya memperkuat visi/misi calon yang diusungnya. Artinya, visi/misi calon presiden merupakan consensus bersama diantara parpol pendukung dengan calon yang diusung. Walaupun tidak menutup kemungkinan visi/misi capres disusun oleh partai-partai politik pengusung, sehingga citarasanya akan sangat gado-gado menjadi semacam "daftar kemauan parpol"

Dilema ini pangkal pokoknya adalah system multi partai yang tidak kunjung melahirkan suatu multi partai sederhana -- sehingga dalam mengusung capres selalu membutuhkan koalisi diantara parpol -- sedangkan pelaksanaan pemilu selama era reformasi tidak melahirkan suatu parpol dengan perolehan mayoritas di parlemen atau the rulling party. Padahal Indonesia menganut system presidensial dimana secara ideal presiden yang memerintah harus mendapat dukungan mayoritas di parlemen, legislatif.

Ditengah kerumitan-kerumitan pelaksanaan pemilu serentak 2019 ada sejumlah bonus atau keuntungan yang bersimbiosis mutualisme. Pilpres tahun 2019 diadakan bersamaan dengan pemilihan DPR RI dan DPRD dimana keduanya diusung oleh partai politik. Menurut Ramlan Surbakti, "pemilih awam pun kecenderungannya akan memilih anggota DPR yang partainya mengusung presiden yang juga dipilihnya tadi." 

Namu tidak tertutup kemungkinan terjadi sebaliknya. Sejalan dengan pandangan ini, Presiden Joko Widodo sampai dengan saat ini telah memperoleh dukungan untuk mencalonkan kembali dari Golar (14,75%), menyusul kemudian Hanura (5,26%), Nasdem (6,72%) dan terakhir PDIP (18,95%). Berdasarkan perolehan pileg dalam pemilu tahun 2014 dari keempat parpol tersebut setelah digabungkan secara keseluruhan ternyata ada 251 kursi dari 560 kursi DPR RI atau 45,23 persen yang diperebutkan. 

Akan tetapi bila parpol pendukung tahun 2014 tetap memutuskan mendukung dan berkoalisi maka ada tambahan sebesar 47 kursi dari PKB sehingga menjadi 298 atau menjadi 54,47 persen dengan mengabaikan perolehan PKPI yang tidak lolos sebagai peserta pemilu walaupun meraih 0,91 persen dukungan di pemilu yang lalu. Salah satu tantangan terbesar dari parpol pendukug ini adalah mengidentifikasikan diri dengan keberhasilan program yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla; memastikan perolehan suara pada pemilu yang lalu tetap loyal; membangun koalisi dengan pondasi yang lebih ideologis.

Personifikasi Joko Widodo (Jokowi) sangat sulit dipisahkan dengan PDIP, demikian halnya dengan Jusuf Kalla (JK) yang merupakan mantan ketua umum Golkar. Sedangkan program-program pembangunan pemerintah tentu merupakan prestasi Jokowi -- JK selaku pimpinan puncak walaupun ada sederet nama kader parpol koalisi yang turut memberikan andil didalamnya, baik sebagai menteri, komisaris sampai dengan direksi sejumlah BUMN. Walaupun aturan melarang hal itu terjadi, namun kedekataan dan relasi-relasi yang terjadi saling bertali-temali dengan parpol tertentu. 

Artinya, pendukung Joko Widodo sebagai capres pada pemilu 2019 bisa tersebar kepada sejumlah parpol pendukung, walaupun PDIP akan sangat diuntungkan oleh keberadaan Jokowi, ini menjadi semacam capres effect. Partai-partai politik kontestan pemilu 2019 dapat memperoleh capres/cawapres effek atau bonus pemilu serentak karena ketua umum, tokoh atau kadernya disung sebagai capres / cawapres sehingga turut mendongkrak perolehan suara parpol dalam pileg. Parpol yang saat ini bisa dipastikan mendapat capres effect adalah PDIP yang telah mencalonkan kembali Joko Widodo, sedangkan tiga parpol pendukung yang lainnya dapat memperoleh cawapres effect yaitu Golkar, Hanura, dan Nasdem bila kader / tokoh sentralnya berpasangan dengan Jokowi sebagai cawapres. Peluang dari ketiga parpol untuk memperoleh capres effect tetap ada walaupun lebih kecil porsinya apabila dibandingkan dengan PDIP. 

Peluang capres effect dari ketiga parpol sangat ditentukan dari kemampuan parpol itu sendri dalam mempersonifikasi Jokowi sebagai capres yang diusung oleh mereka. Parpol lain yang berpeluang memperoleh cawapres effect ialah PKB yang telah mengusung ketua umumnya sebagai cawapres, Muhaimin Iskandar. Sementara parpol-parpol kontestan pemilu 2014 yang lain belum secara terbuka mengusung/mencalonkan capres/cawapres. Sedangkan parpol baru tidak bisa dimasukan dalam pendekatan ini karena belum teruji dilapangan.

Sebenarnya apabila merujuk ke koalisi yang dibangun oleh Joko Widodo -- Jusuf Kalla dalam pemilu 2014 ada sekitar 40,63 persen perolehan suara parpol yang saat ini telah memutuskan pengusung / pendukung Joko Widodo untuk menjadi Capres berikutnya. Dalam pemungutan suara pilpres 2014 pasangan Jokowi -- JK mampu meraih 70.997.851 (53,15%) suara. Idealnya perolehan suara Jokowi dalam pilpres 2019 bertambah 14,75 persen yang berasal dari suara Gokar yang tidak ikut berkoalisi dalam pemilu sebelumnya, sehingga Jokowi bisa memperoleh 67,9 persen suara. 

Namun perilaku pemilih dari pemilu ke pemilu dapat bertolak belakang dari asumsi dan kalkulasi diatas kertas, apalagi system pemilu tahun 2019 dilakukan secara serentak, sehingga parpol sebagai kontestan pemilu tidak akan banyak mengelaborasi perbedaan platform, program, dan public figurnya masing-masing sebagai vote getter. Disamping itu, ada semacam keterputusan antara partai -- partai politik era reformasi dengan pendukungnya akibat adanya semacam kekosongan ideology yang mendera parpol dewasa ini. 

Padahal ideology merupakan sarana transformasi nilai yang dapat mengikat pendukung masing-masing parpol dengan penuh antusias dan militan. Tidak berlebihan kiranya bila pemilu serentak digunakan sebagai titik awal dalam melakukan konsolidasi ideologis dari masing-masing partai, sehingga pemilu serentak dimasa yang akan datang membalik kenyataan yaitu pemilih parpol pasti memilih capres/cawapres yang diusung, sehingga ada semacam effect kepada capres/cawapres yang diusung dari masing-masing parpol. Jadi parpol tidak sekedar menjadi loket tiket untuk masuk dalam kontestasi pemilu dan pilkada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun