Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pseudo Democracy Dalam Pilkada Langsung

13 Desember 2016   05:33 Diperbarui: 13 Desember 2016   06:58 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun satu hal yang pasti bahwa sifat statis dari modus setiap survey terletak pada keuangan calon kepala daerah.  Sebab, calon yang popular biasanya ekuivalen dengan keuangan calon sebagai modal politik untuk memenangkan kontestasi pilkada langsung ditengah pemilih yang cenderung pragmatis atau pemilih NPWP (nomor piro wani piro / nomor berapa berani berapa). Selain daripada itu adalah kesanggupan untuk mahar politik.   

Praktek mahar politik tidak terlepas dari oligarki didalam tubuh parpol itu sendiri. Sebagaimana disadari bersama bahwa untuk menggerakan struktur dan kelembagaan parpol tidak mudah dan juga tidak murah. Sementara sumber keuangan parpol secara formal masih mengacu kepada iuran anggota atau bantuan tidak mengikat sebagai sumber yang sah dan legal. Iuran anggota dari suatu parpol nampaknya hanya berjalan pada level tertentu saja atau bisa juga sifatnya tentative dan temporer. 

Selain daripada itu, parpol juga tidak memiliki badan usaha sebagaimana layaknya organisasi kemasyarakatan (ormas). Artinya, parpol merupakan institusi yang mempunyai kewenangan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan kenegaraan, mulai dari memutuskan calon presiden / wakil presiden, kepala kepolisian, panglima TNI, hakim agung, komisi-komisi Negara yang bersifat adhock sampai dengan calon kepala daerah tetapi ia juga harus membiayai dirinya sendiri sebagai institusi. 

Bukan hanya itu, partai juga yang secara tidak langsung mengawasi jalannya pemerintahan dan mengatur anggaran belanja negara. Kewenangan yang demikian besar tersebut tidak ditopang oleh sumber pembiayaan yang memadai dan mudah dikontrol oleh public. Akibatnya, menjadi suatu keniscayaan bagi parpol untuk menarik sumbangan / iuaran dari berbagai sumber walaupun pengelolaan dan jumlahnya sumbangan tersebut tidak pernah diaudit dan juga tidak transparansi sebagaimana layaknya badan publik.

Dana bantuan parpol yang bersumber dari APBN juga terus menuai pro - kontra yang tidak berkesudahan, baik dari segi jumlah maupun substansi dana bantuan itu sendiri, dimana selama masa pro kontra berlangsung pembiayaan terhadap gerak langkah parpol tetap masih ditopang oleh beberapa tokoh parpol itu sendiri. Inilah sumber oligarki yang turut memberi andil bagi tumbuhnya korupsi di daerah yang harus diputus untuk memberikan iklim yang lebih sehat terhadap keberlangsungan demokrasi di tanah air. Walau bagaimanapun parpol masih menjadi tumpuan dan hulu dari keseluruhan system pemerintahan dan rekrutmen kepemimpinan disegala aspek dan arah kehidupan kebangsaan kita.

Pseudo Democracy Dalam Pilkada Langsung

Pilkada langsung merupakan refleksi atas demokrasi yang telah berlangsung ditanah air semenjak reformasi 1998. Dari perspektif sejarah demokrasi, revolusi Perancis telah melahirkan bentuk parlemen sebagai sebuah bentuk demokrasi keterwakilan yang disuarakan oleh kaum borjuis. Dan para pengkritiknya pun menuduh parlementerisme sebagai badan politik yang memotong partisipasi rakyat, dimana demokrasi dipersamakan dengan prinsip perwakilan (representative democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang mayoritas dilimpahkan kepada sedikit orang / elite, dimana pada tahap selanjutnya diberi kewenangan untuk memerintah atas nama suara publik mayoritas tersebut. Dengan demikian, pilkada langsung merupakan perwujudan lebih nyata atas praktek demokrasi bila diukur dari pelibatan partisipasi.

Pilkada langsung dan serentak yang sedianya akan dilaksanakan pada tahun 2017 menurut daftar pemilih sementara (DPS) yang dilansir oleh KPU diperkirakan akan diikuti oleh 41.150.323 pemilih dengan 20.691.929 pemilih laki-laki dan 20.458.311 pemilih perempuan. Para pemilih tersebut akan menggunakan hak politiknya melalui 95.063 TPS yang disediakan. Artinya, dari aspek teknis dan partisipasi boleh dikatakan bahwa demokrasi dalam pilkada langsung bersifat lebih nyata daripada demokrasi perwakilan atau pemilihan kepada daerah yang dilakukan melalui DPRD / legislative .

Pilkada langsung sebagai praktek demokrasi merupakan pengejawantahan dari demokrasi yang berasal dari tradisi Yunani, dimana demokrasi memiliki pengertian asal kata demos yang berarti rakyat  dan kratein / kratos yang berarti kekuasaan. Demokrasi secara harfiah dapat diartikan sebagai kekuasaan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi selalu dikaitkan dengan bentuk sistem pemerintahan / kenegaraan (Staasvorm) yang mana kekuasaan politik ditangan rakyat atau disebut kekuasaan rakyat (Heerschappij van het Volk). Definisi ini merupakan sebuah frase yang sangat ideal walaupun belum tentu sesuai dalam prakteknya atau bisa diistilahkan dengan pseudo demokrasi. Pseudo dalam bahasa Indonesia berarti kepura-puraan, semu atau palsu. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pseudo democracy berarti demokrasi palsu, atau sebuah situasi yang seolah-olah demokratis tetapi pada kenyataannya tidak.

Sistem politik Indonesia sesungguhnya sangat oligarkhis. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa kontrol kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi hanya berada ditangan segelintir elit. Mereka memegang peranan ganda, yakni sebagai pemimpin parpol dan pemimpin terdepan dalam kehidupan bisnis dan perdagangan. Modal ekonomi yang besar menjadikan mereka sanggup mengontrol kehidupan politik, serta mengarahkan agar sesuai dengan keinginan mereka. 

Sementara parpol sebagai institusi publik tidak dapat mewujud secara nyata, hal ini dapat digali dari sumber keuangan parpol yang hanya mengandalkan sejumlah tokoh sentralnya, padahal ia memiliki kewenangan yang sangat besar dalam segala dimensi kehidupan kenegaraan. Artinya, selama parpol belum menjadi badan public yang dibiayai oleh public dan dapat diaudit maka dalam kenyataannya parpol hanyalah instrument oligarki politik dan bisnis. Sehingga parpol sebagai instrument demokrasi sifatnya adalah pseudo yang pada gilirannya memproduksi pseudo demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun