Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pseudo Democracy Dalam Pilkada Langsung

13 Desember 2016   05:33 Diperbarui: 13 Desember 2016   06:58 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kenyataanya, semenjak diberlakukan pilkada langsung ternyata korupsi masih marak di daerah, bahkan menurut Ranu Wiharja, Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi, dengan 343 bupati / walikota dan 18 gubernur. Dari 343 kasus korupsi yang menjerat bupati / walikota, 50 kasus diantaranya ditangani KPK, sementara sisanya ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian. Sedangkan dari 18 kasus yang menjerat gubernur, 16 kasus ditangani oleh KPK dan 2 kasus ditangani oleh kejaksaan. Artinya, pilkada langsung yang diharapkan mampu melahirkan kepala daerah yang dapat memberikan perbaikan bagi kehidupan masyarakat didaerah ternyata memproduksi koruptor. Besarnya jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi menimbulkan tanda tanya besar, dimana letak sumber masalahnya.

Selain masalah korupsi, pilkada langsung sebagai suatu mekanisme rekrutmen kepemimpinan belum secara signifikan memunculkan figure kepala daerah dari luar lingkaran kekuasaan, fenomena politik dinasti. Politik dinasti merupakan kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Realitas ini bukan saja mempersempit ruang kompetisi yang lebih sehat seperti mengurangi penyalahgunaan anggaran dan aparatur pemerintahan sipil selama proses sampai dengan pelaksanaan pilkada. P

Politik dinasti juga menyebabkan sumber - sumber kesejahteraan masyarakat dalam rangka melakukan pemerataan pembangunan menjadi semakin terpusat pada sekelompok orang / golongan tertentu saja. Sehingga pada akhirnya menjadi semakin sulit untuk memutus mata rantai korupsi. Hadirnya kepala daerah yang kompeten dengan kualitas kepemimpinan yang handal pun makin jauh dari harapan. Ini barangkala yang menjadi dasar argumentasi bagi kelompok pesimis yang melihat pilkada langsung sebagai suatu proses yang menguras energy sebagai bangsa dengan biaya dari rakyat tapi tidak cukup memberikan perbaikan taraf hidup terhadap masyarakat setempat.

Fenemena dari 101 pilkada yang akan digelar tahun 2017 dapat digambarkan bahwa masih ada, setidaknya 67 daerah atau 66 persen yang diikuti oleh calon patahana (incumbent) dengan total 90 pasangan calon. Selain daripada itu, ada 19 daerah yang calon patahana tetap maju sebagai pasangan calon bersama wakilnya dan ada 15 daerah lainnya maju secara terpisah. Dari 90 pasangan calon patahana diketahui bahwa 83 pasangan calon mengambil jalur partai politik dan 7 pasangan calon mengambil jalur perseorangan. Dari sini kita mengetahui bahwa pilihan yang ada dalam pilkada masih sangat terbatas dan lebih banyak disuguhkan muka-muka lama. Artinya, selama lima tahun kedepan tidak akan banyak perubahan kebijakan yang bisa diharapkan terjadi didaerah, khususnya bagi daerah yang akan mengikuti pilkada langsung pada tahun 2017.

Calon Tunggal Dalam Pilkada Langsung

Indonesia akan mengadakaan pilkada langsung dan serentak pada 15 februari 2017 di 101 daerah, baik provinsi maupun kabupaten / kota. 101 pilkada tersebut akan diikuti oleh 338 pasangan calon dengan 6 pilkada yang kontestannya adalah calon tunggal.  Semula ada 7 daerah yang akan mengikuti pilkada dengan calon tunggal, tetapi setelah dilakukan perpanjangan waktu oleh KPU ternyata cuma ada 1 daerah yang kemudian memunculkan pasangan calon baru, yaitu Kabupaten Kulonprogo. Adanya calon tunggal dalam pilkada langsung mengindikasikan terjadinya kelemahan dalam sistem kaderisasi dan pola rekrutmen yang ada di partai politik (parpol). 

Parpol idealnya mencetak “manusia - manusia hebat” sebagai politisi dan negarawan yang siap berkarya tapi dalam kenyataannya terjerembab menjadi “pengguna manusia hebat” yang tidak terproses melalui parpol. Disamping itu kemunculan calon tunggal bukan hanya menutup kesempatan khalayak dalam membuat pilihan, tapi juga merusak iklim kompetisi dalam berdemokrasi. 

Hadirnya calon tunggal dalam pilkada langsung pada umumnya karena didukung koalisi parpol yang menguasai 90 persen kursi di DPRD setempat, sehingga sisa kursi yang ada tidak memungkinkan untuk mengajukan calon lain karena syarat minimal adalah memiliki 20 persen kursi, sementara syarat calon perseorangan membutuhkan waktu lebih untuk mempersiapkan teknis administrative.

Fenomena calon tunggal  menunjukkan parpol memilih jalan pintas yang pragmatis dalam rekrutmen calon kepala daerah. Proses rekrutmen calon kepala daerah yang ditentukan oleh sejumlah kecil elit parpol, seringkali diikuti oleh menyeruaknya aroma kurang sedap tentang adanya “mahar politik” diruang-ruang terbatas. Walaupun sejumlah parpol seperti Golkar menyatakan tidak ada mahar politik dalam rekrutmen calon kepala daerah tahun 2017. 

Mahar politik adalah kebiasaan tidak mengikat yang dikenakan oleh parpol kepada calon kepala daerah yang hendak mengajukan diri agar di usung / di dukung oleh parpol bersangkutan dengan keutamaan harus menyetor sejumlah besar uang. Ini adalah pendekatan pragmatis dalam menunjuk calon yang berpeluang besar menang walaupun harus berpaling ke tokoh-tokoh di luar parpol itu sendiri. Pendekatan pragmatis ini tetap dibungkus dengan rapih, cantik dan elegant. Indicator yang dipakai biasanya berbasis kepada survey terhadap popularitas dan electabilitas calon. 

Pada tahap selanjutnya makin banyak keanehan dan kejanggalan, ketika muncul fenomena kedaulatan partai yang tunduk dengan hasil survey dari suatu lembaga survey dalam menentukan kualitas calon. Sehingga calon kepala daerah yang diusung oleh parpol tidak lagi mengedepankan dedikasi, komitmen, moralitas, nilai-nilai kejuangan parpol dan integritas calon. Walaupun kita tahu bahwa survey yang berbasis persepsi sifatnya sangat dinamis dan dapat berubah setiap waktu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun