Mohon tunggu...
Suharto MTsN 5 Jakarta
Suharto MTsN 5 Jakarta Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, penulis, Guru Blogger Madrasah, motivator literasi, pegiat literasi

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Perubahan Administrasi Dalam Pengajuan ISBN

21 September 2022   12:27 Diperbarui: 21 September 2022   12:42 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan Administrasi Dalam Pengajuan ISBN

Cing Ato

Guru Blogger Madrasah

Semarak literasi di bumi Nusantara ini bak jamur yang sedang tumbuh subur terbukti banyaknya bermunculan perkumpulan menulis diberbagai daerah. Geliat literasi perlu kita berikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para literat.

Kini sudah banyak dosen, guru, mahasiswa, siswa, berbagai instansi dan sampai masyarakat umum terlibat dalam gerakan literasi di Nusantara ini. 

Penulis sendiri sejak tahun 2016 mulai tertarik dengan dunia literasi hingga kini. Penulis berawal dari tidak bisa menyusun kata, kalimat, paragraf, tanda baca, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan tulis-menulis. 

Kini sedikit banyak mulai bisa menulis hingga tercipta beberapa karya walau menulis dalam kondisi serba keterbatasan sebagai penyintas GBS. Dengan bermodal smartphone penulis menulis hampir setiap hari berupa artikel sederhana. Sudah 11 buku solo ber- ISBN yang penulis hasilkan.

Ada tiga calon buku yang siap diajukan ISBN. Namun, kali ini persyaratan agak sedikit berbeda dengan yang lalu. Sehingga hingga kini belum diajukan. Pernah diajukan buku yang ke-11 prosesnya agak lama. Biasanya hanya dua pekan sudah keluar ISBN. Penulis sering mengecek di akun Perpusnas. Namun, hasilnya tidak ditemukan. Terpaksa penulis hubungi penerbit. Jawabannya hanya diperintahkan untuk bersabar, karena ada kebijakan baru. Baru satu pekan penulis menghubungi penerbit keluar pengajuan ditolak dan harus direvisi terutama pada penomoran halaman pada daftar isi buku. Setelah direvisi dan diajukan kembali akhirnya pekan depan sudah keluar ISBN-nya.

Selanjutnya penulis kirim pengajuan buku yang ke-12 dengan judul "Menulis di Kala Sakit" buku ini tentunya sebagai branding penulis, karena sepuluh karya yang berhasil penulis terbitkan ditulisnya dalam kondisi sakit dan juga sebagai judul ketika memberikan materi di komunitas belajar menulis sebagai seorang motivator.

Namun, pada pengajuan kali ini ditolak, kebetulan ada tiga orang yang mengajukan. Ada peraturan baru yang harus dipenuhi oleh penerbit maupun penulis. Sehingga sampai kini belum mengajukan lagi. Padahal ada tiga calon buku.

Sementara buku ke-12 sudah ada beberapa teman yang memesan. Untuk itu penulis menunggu satu teman yang sedang mengajukan mengikuti peraturan baru. Beliau pesan kepada penulis dan teman-teman lainnya untuk menunggu hasil pengajuan ISBN yang sedang beliau ajukan.

Apakah pengajuan diterima atau tidak? Jika diterima tinggal ikuti langkah-langkahnya. Jika tidak, lengkapi kekurangannya.

Format yang lama penulis hanya melampirkan:

1. Judul buku, penulisnya, dan logo penerbit

2. Cover depan

3. Cover belakang

4. Kata pengantar

5. Daftar isi (bernomor halaman)

6. Sinopsis

Sementara format sekarang harus melampirkan:

1. Surat pernyataan

2. Cover depan

3. Cover belakang

4. Kata pengantar

5. Daftar isi bernomor halaman

6. Sinopsis

7. Mencantumkan distributor

8. Mencantumkan ketersediaan buku

9. Mencantumkan link buku

Kebijakan baru inilah yang sedang dijajaki para penerbit indie/minor. Bagi penerbit mayor tidak masalah, tapi bagi penerbit buku indie/minor agak kewalahan jika syarat ketersidaan buku dibatasi, tentunya mengingat pembiayaan dan pemasarannya.

Tidak terlalu salah dan memang tidak salah kebijakan yang dikeluarkan oleh perpusnas. Karena mengingat teguran dari yang berhak mengeluarkan ISBN yang berpusat di kota London Inggris. Indonesia terlalu boros dalam belakang ini mengeluarkan ISBN. Yang anehnya banyak buku yang diterbitkan, tetapi toko-toko buku justru satu-persatu gulung tikar. Artinya perkembangan buku tidak menyebar di masyarakat luas.

Banyaknya para penerbit indie yang tidak konsisten dalam penerbitan. Ada juga pengajuan ISBN sudah keluar drafnya belum jadi bahkan tidak jadi atau judulnya diubah. Ada juga pengajuan hanya untuk sekedar ada ISBN dan syarat pengajuan naik pangkat bagi ASN. Mungkin itu di antara, alasan perpusnas mengeluarkan kebijakan baru.

Penulis setuju saja, mengingat jangan sampai kebablasan perpusnas untuk mengeluarkan ISBN tanpa cek and ricek terlebih dahulu. 

Pernah dijumpai di lapangan ada beberapa literat telah mengajuankan ISBN, tetapi draftnya masih proses dan belum final. Begitu juga ada beberapa teman yang terlalu tipis dan sebenarnya tidak layak untuk ber-ISBN.

Pernah seorang teman ingin mengajukan ISBN, setelah dicek penulis bilang tolong ditambah, tetapi setelah ditunggu tidak ada respon. Tiba-tiba beliau datang memberikan bukunya. Penulis lihat lebih tebal buku tulis siswa sekolah dasar dan tidak ber-ISBN. 

Penulis hanya bilang kalau yang seperti ini penulis juga bisa, cukup hubungi penerbit indie dan lebih murah lagi. Itu juga kalau hanya sekedar punya buku.

Penulis juga melihat ada beberapa teman yang mampu menerbitkan buku antologi dalam waktu yang dekat mencapai 50 buku ber-ISBN dan bahkan tulisan yang sudah tertera di 50 buku kemudian diambil kembali lalu dihimpun menjadi satu buku solo. Dengan demikian beliau sudah punya buku 51 ber-ISBN. Padahal kalau untuk penilaian bagi ASN hanya 4 orang penulis itupun nilainya berjenjang. Bagaimana jika dalam buku antologi mencapai 30 hingga 50 Penulis, Otomatis tidak ternilai. Menurut hemat penulis ini terlalu pemborosan ISBN.

Andai ada 1000 orang yang membuat buku antologi seperti yang di atas tadi pemborosan ISBN pun bisa terjadi. Mari kita jumlah 1000 x 50 buku = 50.000 buku ber-ISBN antologi. Jika dicetak menjadi buku solo per 50 menjadi satu. Maka dari 1000 orang hanya menjadi 1000 buku solo. Dengan demikian 50.000 - 1000 = 49.000. mungkin ini menurut hemat penulis sebuah pemborosan ISBN. 

Ini hanya sebuah analisa orang pinggiran saja. Bukan berarti penulis antipati terhadap buku antologi yang bersifat keroyokan. Penulis juga pernah membuat buku antologi itupun hanya sekedar tahu. Setelah tahu selanjutnya penulis lebih memilih buku solo lebih puas dan karya hasil sendiri. Baik antologi dan solo keduanya punya kelebihan masing-masing.

Untuk membuat buku tidak mesti harus ber-ISBN. Buktinya penulis beli buku-buku tidak ber-ISBN, tapi isinya luar biasa bagus, logis, dan bisa diterapkan dalam kehidupan. Seperti bukunya Yodhia Antariksa - Finansial Freedom Bluprint, Life Skills, dan Change your life Change your habits- ketiga buku bagus sekali menurut penulis. Sistematis, kaya akan nutrisi, jelas, logis, dan mudah diaplikasikan.

Namun, jika ber-ISBN punya nilai jual karena diakui keberadaannya. Tentunya bagi ASN ada nilai tambah untuk kenaikan pangkat/golongan.

Semoga semangat menulis terus membara dan ISBN anggap sebagai hadiah jerih payah. Menulis tidak harus ber-ISBN, menulis adalah panggilan jiwa untuk saling berbagi untuk sesama manusia. Jika, niat kita menulis itu sebagai ladang ibadah. Tentunya nilainya melebihi ISBN itu sendiri.

Ada ISBN atau tidak tetap menulis untuk berbagi.

Salam literasi

Cakung, 21 September 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun