Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya sukses. Namun, setiap orang berbeda-beda dalam mendefinisikan arti sebuah kesuksesan.
Suatu hari penulis membaca sebuah tulisan yang sangat inspiratif dan bahkan pernah melihat videonya. Diceritakan, ada sebuah keluarga yang sangat berobsesi menjadikan anak-anaknya menjadi orang hebat. Maka itu, semua anaknya di berikan pendidikan yang mudah untuk mengumpulkan pundi-pundi emas, sementara pendidikan agama kurang diperhatikan.
Semua anaknya pun sukses dengan kariernya yang cukup menjanjikan. Otomatis seluruh kemewahan dunia mudah didapatkan.Â
Beliau sebagai orang tua sangat bangga. Saking bangganya beliau pun menulis dalam sebuah buku tentang bagaimana menciptakan anak yang hebat. Buku itu pun best seller dan terpampang di etalase-etalase toko buku ternama.
Suatu hari ada sebuah kejadian yang sangat memilukan dan menyayat hatinya. Kejadian ini merupakan sebuah teguran terhadap dirinya. Sehingga beliau pun menarik seluruh bukunya dan memohon maaf kepada para pembaca bukunya.
Ketika istrinya sedang sakit tak satupun anak-anaknya berada di sampingnya. Semua anak-anaknya dihubungi untuk melihat ibunya. Tapi, jawabannya semua sama sedang sibuk meeting, ada urusan yang tidak bisa ditunda, dan sejuta kesibukan lainnya. Mereka tidak punya waktu untuk ibundanya hingga meninggal tak satupun yang datang menghadiri.
Beliau menyesal dengan kejadian ini. Kesuksesan yang diciptakannya tidak membawa kebahagiaan, ternyata anak-anaknya lebih mementingkan karier dan urusan duniawian daripada empatinya terhadap sesama dan orang tuanya.
Akhirnya beliau menarik diri dari kesibukan dunia lalu belajar dan menekuni agama. Semua asetnya beliau wakafkan untuk membangun sebuah pondok pesantren dan beliau berkecimpung di dalamnya. Sisah-sisah hidupnya hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kisah di atas tentang salah memberikan pendidikan kepada anak dan menganggap kesuksesan dan kebahagiaan terletak pada karier-karier atau gelar-gelar yang mudah untuk menghasilkan pundi-pundi emas, bisa kita jadikan pembelajaran dalam berselancar mengarungi samudera kehidupan ini.
Banyak dalam hidup ini, orang tua terlalu bangga dengan karier-karier keduniawian, sementara pendidikan agama sebatas pelengkap. Memandang agama sebatas salat dan bisa baca Al-Quran, sementara pemahaman dan pengaplikasian terhadap nilai-nilai keagamaan masih sangat kurang.Â
Jangan salahkan anak, jika terjadi seperti kisah di atas. Berhasil dalam dalam bidang keilmuan, tapi gagal dalam bidang sosial, apalagi bidang keagamaan. Hanya ingin mengejar dunia mereka enggan melihat dan menemui orang tuannya dari sakitnya sampai meninggalnya.Â
Memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak sebuah keharusan, namun jangan pendidikan agama hanya sekedar pelengkap.
Suatu hari seorang ulama di daerah Jawa mempunyai seorang anak yang sedang kuliah kedokteran di Jakarta. Anaknya dipanggil untuk memperdalam keagamaan. Maka jadilah anak tersebut ahli agama dan meneruskan perjuangannya. Ketika ulama itu meninggal, anak-anaknyalah yang menggotong ulama sampai ke pemakaman.
Islam tidak membatasi umatnya hanya konsen dalam bidang keagamaan saja. Tapi semua bidang keilmuan harus dikuasai.
 Dalam mempelajari ilmu ada dua hukum: hukum Fardu ain (bersifat individual) artinya ilmu pengetahuan yang harus dipelajari, seperti ilmu Ushuluddin ( ilmu tentang dasar-dasar keislaman) di antaranya masalah Akidah, Syariah, dan Akhlak. Fardu kifayah (Orang tertentu) ilmu pengetahuan yang hanya orang-orang tertentu mempelajarinya. Seperti ilmu kedokteran, kemaritiman, antariksa, dan lain-lainnya.
Demikian kesuksesan itu bukan seberapa tinggi kita memberikan pendidikan atau seberapa besar anak-anak mendapatkan jabatan penting. Tetapi kesuksesan itu adalah seberapa besar kita mendapatkan kebahagiaan dari apa yang pernah kita lakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H