Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Luka, Merawat Laku

31 Juli 2024   16:57 Diperbarui: 31 Juli 2024   17:00 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rawat luka (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/luka-terluka-bandita-cure-bayi-106374/)

Ketika pertama kali mendatangi rumahnya, Bapak Andreas, seorang lansia berusia 71 tahun, berjalan agak pincang menyambut saya di ruang tamu. Dari jauh saya bisa melihat dengan jelas dua luka agak hitam kecoklatan menganga di hampir sepanjang kaki kirinya.

"Saya tinggal sendiri di sini." Bapak Andres bercerita dengan mata berkaca-kaca. Ia sudah berumah tangga sejak lama tapi tidak dikaruniai anak dan istrinya telah meninggal dunia 4 tahun lalu. 

Saat itu ia berjuang sendiri untuk bertahan hidup sehari-hari; tetap bekerja keras tanpa mempedulikan lukanya yang tidak kunjung sembuh. "Puskesmas terlalu jauh," ia beralasan seperti itu ketika ditanya perihal perawatan luka.

***

STIKes Maranatha Kupang memiliki program inovasi dalam bidang akademik yang bernama: Mahasiswa Berkelas. Program ini diimplementasikan dalam kegiatan praktik klinik keperawatan keluarga.

BERKELAS merupakan sebuah akronim dari: Bersama Keluarga, Sejahtera atau Bersama, Keluarga Sejahtera. Jadi, Mahasiswa Berkelas merupakan program yang memberi peluang bagi mahasiswa untuk belajar langsung bersama keluarga yang mengalami atau berpotensi memiliki masalah kesehatan. Pada kesempatan yang sama, keluarga sasaran pun ikut berproses bersama-sama dengan mahasiswa untuk belajar bagaimana menerapkan hidup sehat dalam lingkup keluarga. Itulah makna dari fraksa bersama keluarga.

Lalu apa yang dimaksud dengan sejahtera? Kata sejahtera dalam konteks program tersebut tidak hanya berfokus pada status sosial ekonomi, tapi juga sejahtera dalam urusan kesehatan. Pendek kata, program Mahasiswa Berkelas diharapkan mampu mendukung kondisi keluarga yang lebih sejahtera dalam bidang kesehatan.

Perbedaan praktik keperawatan keluarga biasa dengan program Mahasiswa Berkelas terletak pada tempat tinggal mahasiswa selama masa praktik. Biasanya, mahasiswa tinggal di sebuah posko yang ditentukan, lalu melakukan kunjungan pada waktu tertentu ke rumah keluarga sasaran.

Beda dengan Mahasiswa Berkelas. Mahasiswa tinggal bersama dengan keluarga sasaran selama masa praktik. Situasi ini memungkinkan mahasiswa bisa mengenal lebih dekat masalah keluarga dan keluarga juga bisa lebih leluasa bertanya perihal masalah kesehatan pada mahasiswa.

***

Saat menjalani masa praktik, saya bersama puluhan mahasiswa STIKes Maranatha Kupang menjalani Program Mahasiswa Berkelas di Dusun Oeika, Desa Baumata Utara, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT.

Dusun Oeika terletak di bagian Timur dengan jarak sekitar 5 KM dari pusat desa. Saat itu saya bersama rekan-rekan mahasiswa lain diantar oleh dosen pendamping dari kampus.

Setiba di Oeika, kami diterima oleh kepala dusun bersama tokoh masyarakat, tokoh agama, dan warga setempat. Seperti biasa, ada acara penerimaan yang berlangsung sederhana namun tetap hikmat di balai dusun.

Saya agak cemas ketika tiba waktunya pembagian ke keluarga sasaran. Penentuan keluarga sasaran itu atas kesepakatan perangkat dusun bersama dosen pembimbingnya. Saya tidak tahu akan bertemu dengan keluarga seperti apa.

Saya mengikuti saja langkah kepala dusun yang saat itu mengantar mahasiswa ke keluarga sasaran. Setelah rekan saya yang lain sudah masuk ke rumah keluarga sasaran yang berada di kiri-kanan jalan utama, kini tersisa saya bersama kepala dusun.

"Kita agak masuk ke dalam, ya, rumahnya di sana," kata kepala dusun sambil terus berjalan ke jalan setapak. Jarak dari jalan utama hingga ke rumah tujuan itu kurang lebih 1 KM. Saya perhatikan ke sekeliling, tidak terlihat rumah penduduk yang lain.

Saya makin heran ketika tahu kalau keluarga yang saya temui itu tinggal seorang diri. Sudah rumahnya jauh dari pemukiman warga yang lain, ia tinggal sendirian pula dengan kondisi luka yang tampak tidak terawat dengan baik di bagian kaki kiri.

Itulah awal mula saya berkenalan dengan Bapak Andreas. Setelah tahu kenapa ia hidup sendiri, saya tentu saja penasaran dengan riwayat luka tersebut.

Bapak Andreas bercerita, ada dua penyebab luka di kakinya. Pertama, terjadi sekitar tahun 2020. Waktu itu ia sedang membelah kayu di kebun, lalu tanpa sengaja ada serpihan kayu yang menancap di punggung pergelangan kaki kiri.

Bapak Andreas mengatakan kalau saat itu ia langsung mencabut serpihan kayu tersebut, lalu darah mengucur cukup banyak dari luka tusuk itu. Ia kemudian mengambil daun Sufmuti atau Balakacida, lalu memanahnya hingga lumat, kemudian daun yang telah lembek itu ditempel pada pusat luka. Menurutnya, tidak lama kemudian pendarahan terhenti.

Ia berpikir, luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Ia bukan baru permata kali baru mengalami luka, dan setiap luka sebelumnya bisa sembuh tanpa pengobatan khusus. Maka, Bapak Andreas tidak terlalu memusingkan luka kecil itu.

Namun, setelah sekian lama, lukanya tidak menunjukkan tanda-tanda untuk sembuh. Bapak Andreas merasa gatal di area sekitar luka, sehingga ia sering menggaruk dengan kuku tangan. Selain menggaruk, ia juga menangani lukanya dengan mengoleskan minyak kelapa di area luka.

Meski kakinya luka, Bapak Andreas tetap bekerja sebagaimana petani lainnya di dusun tersebut. Ia bekerja di ladang di belakang rumah yang ditanami singkong, ubi jalar, pisang, dan berbagai jenis tanaman lainnya.

Suatu hari, ia kembali membelah kayu menggunakan kapak. Saat mengayunkan kapak, bilah kapak itu tergelincir dari kayu sasaran dan berbelok menuju tulang kering bagian kiri. Luka kedua ini kurang lebih berjarak 5 cm di atas luka pertama, dan luka ini cukup panjang seperti ukuran bilah kapak.

Bapak Andreas memperlakukan luka kedua itu sama seperti luka pertama. Ia menghentikan darah dengan tempelan daun Sufmuti, kemudian mengoleskan luka dengan minyak kelapa. Tapi, luka-luka itu tidak kunjung sembuh hingga bertahun-tahun lamanya.

Bapak Andreas beralasan puskesmas terlalu jauh ketika saya menanyakan kenapa tidak berobat ke fasilitas kesehatan. Selain itu, ia juga mengeluh soal biaya. Ia mengaku tidak memiliki kartu BPJS dan tidak sanggup memenuhi biaya transportasi selama pengobatan. Karena itu, ia memilih untuk bertahan saja di rumahnya.

Luka Bapak Andreas terlihat agak kehitaman. Kondisi itu disebabkan karena sudah banyak jaringan mati di area sekitar luka, tapi tidak pernah dibersihkan. 

Secara teoritis, luka sebenarnya bisa sembuh kalau kondisinya bersih dan ditunjang dengan asupan nutrisi yang baik. Tapi kalau area luka tidak bersih, maka akan berisiko terjadinya infeksi, sehingga makin sulit untuk sembuh.

Sebagai mahasiswa yang sedang menerapkan asuhan keperawatan keluarga, saya membandingkan apa yang dilakukan oleh Bapak Andreas dengan tugas kesehatan keluarga.

Secara umum, ada lima tugas kesehatan keluarga, yaitu mengenal masalah kesehatan; mengambil keputusan atas masalah yang dialami; kemampuan merawat; memodifikasi lingkungan; dan memanfaatkan fasilitas kesehatan.

Bapak Andreas memang sudah mengenal masalah yang ia alami. Ia sadar mengalami luka, tapi tidak menyadari kalau luka itu bisa membahayakan dirinya kalau tidak diobati dengan benar.

Bapak Andreas juga belum bisa mengambil keputusan dengan tepat. Alih-alih mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan, ia malah membiarkan kondisi lukanya dengan perawatan seadanya saja.

Masalah itu diperparah lagi dengan cara perawatan luka yang salah. Ia hanya mengoles luka dengan minyak kelapa, tapi tidak membersihkan area luka yang memungkinkan jaringan di sekitarnya mengalami penyatuan.

Pendek kata, Bapak Andreas belum bisa menjalankan tugas kesehatan keluarga dengan baik. Karena itu, sebagai calon perawat, saya berusaha menerapkan sedikit ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah saya pelajari selama di kampus.

Setelah beberapa hari berinteraksi, saya makin akrab dengan Bapak Andreas. Ia sosok Bapak yang ramah dan penuh canda. Meski sesekali ia mengeluh nyeri pada kakinya, ia tetap banyak bercerita pengalaman yang memancing tawa.

Saya pun memanfaatkan kedekatan hubungan kami itu dengan memberikan sedikit informasi mengenai luka, khususnya perihal perawatan luka. Saya menekankan bahwa luka itu bisa sembuh sendiri, asal kita jaga kondisinya bersih dan harus didukung juga dengan asupan nutrisi yang baik.

Saya kemudian mengajukan diri untuk membersihkan luka tersebut dan ia setuju. Setelah itu, saya berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Saya diberi kesempatan meminjam set peralatan luka di laboratorium kampus dan membeli beberapa bahan yang diperlukan seperti cairan NaCl, kasa, plester, dan sebagainya.

Saat pembersihan luka hari pertama, saya mengeluarkan cukup banyak jaringan mati yang sudah menghitam di sekitar area luka. Selain itu, saya juga menekan-nekan di sekitar area luka agar pus atau nanahnya bisa keluar.

Setelah dibersihkan, saya juga mengingatkan Bapak Andreas agar area luka tidak terkenal oleh material yang kotor supaya tidak terinfeksi. Saya juga mengajak Bapak Andreas untuk banyak mengonsumsi makanan yang banyak mengandung protein. 

Singkat cerita, selama menjalani masa praktik keperawatan keluarga selama 2 minggu, saya rutin melakukan pembersihan luka. Semakin hari, kondisi lukanya makin membaik; sebelumnya terlihat agak kehitaman berubah menjadi kemerahan. Luka yang merah ini menunjukkan adanya pertumbuhan jaringan baru, ini menjadi tanda baik menuju kesembuhan.

Selain itu, selama membersihkan luka, saya sekalian mengajarkan Bapak Andreas teknik perawatan luka sederhana yang bisa ia kerjakan sendiri. Saya senang ketika menjelang selesai masa praktik, ia telah mampu melakukannya secara mandiri.

Saya kemudian merenung, apa yang saya lakukan tidak hanya merawat luka, tapi juga merawat laku. Saya berkesempatan memengaruhi laku atau perilaku Bapak Andreas sehingga makin peduli pada perawatan luka.

Hingga masa praktik berakhir, kondisi luka Bapak memang belum sempurna. Tapi, warna area luka sudah terlihat memerah. Kondisi seperti itu menunjukkan adanya pertumbuhan jaringan baru; itu tanda baik menuju kesembuhan.

Masa praktik telah berakhir, saya berpisah dengan Bapak Andreas. Saya menganjurkan dirinya untuk terus memperhatikan kondisi lukanya, jaga kebersihan, dan terus rawat hingga sembuh. Ia berulang-ulang kali mengungkapkan terima kasih dan berpesan, "kalau libur, datang lah bermain lagi ke sini."

Saya pulang dengan lega. Apa yang saya lakukan untuk Bapak Andreas sebenarnya hanya bagian kecil dari ikhtiar menerapkan ilmu keperawatan yang sudah dipelajari. Saya bersyukur, sebab dari sorotan mata Bapak Andreas saya bisa meyakini bahwa pelayanan yang sederhana namun tulus bisa membangkitkan semangat bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun