Gibran, anak pertama kami yang genap 6 tahun pada 18 Mei 2023 lalu, tiba-tiba kehilangan kacamata hitamnya ketika kami hendak berangkat dari rumah.
Saya hendak mengantar mamanya Gibran bersama Abran (Adiknya Gibran yang baru berusia 5 bulan) ke tempat kerja, lalu lanjut mengantar Gibran ke TK Angkasa tempat ia sekolah saat ini, tapi entah bagaimana kacamata yang sebelumnya sempat dipakai anak itu kemudian raib.
Mama Gibran menyuruh anak itu untuk segera menemukan kacamata itu kembali. Gibran memang berusaha menyisir tiap sudut rumah, tapi hasilnya nihil.
Saya juga ikut heran, sebab sekitar berapa menit sebelumnya saya melihat ia bergaya dengan kacamata itu. Tapi begitu hendak berangkat ke sekolah, kenapa benda itu seperti punya kemampuan menghilang.
Berangkat ke sekolah sebenarnya tidak membutuhkan kacamata hitam, sebab ia bukan alat penunjang belajar. Tapi 4 hari yang lalu, pihak sekolah mengundang kami sebagai orang tua murid untuk membicarakan rencana kegiatan family gathering di sebuah tempat wisata baru yang ada di Kota Kupang, NTT.
Saat rapat tersebut, salah satu guru Gibran yang akrab disapa Ticer (baca: teacher) Sena, menjelaskan bahwa anak-anak akan menampilkan atraksi drumband. Dan Gibran dipilih sebagai salah satu penabuh drum.
Ticer Sena juga mengingatkan, khusus pemain drumband dianjurkan menggunakan celana jins biru dan baju putih. Supaya lebih menarik, anak-anak juga diminta memakai kacamata hitam.
Dari beberapa persyaratan itu, kami merasa sudah siap semuanya. Kami sudah belikan Gibran kacamata hitam sudah sejak lama.
Cuaca di Kota Kupang, kamu tahu, sangat menyengat. Panas ekstrem. Orang-orang selalu bilang, kota ini memiliki dua matahari. Apalagi saat ini laporan dari BMKG menunjukkan bumi sedang panas-panasnya. Isu pemanasan global yang didengar sejak dulu mulai terasa.
Dari sekian banyak dampak cuaca panas ekstrem tersebut, salah satunya bikin silau kalau sedang jalan siang. Kami tidak bisa menghindari jalan siang, sebab Gibran pulang sekolah menjelang pukul 12.00 dan saat itu rasanya matahari di Kupang tidak hanya dua sebagaimana orang-orang biasa menyeletuk, tapi seperti ada empat. Dua terpancar dari atas, duanya lagi dari bawah. Kita seperti sedang dikukus, keringat mengalir terus di setiap lekukan tubuh.