Saya mengerjakan skripsi tahun 2014, kurang lebih 9 tahun lalu, tapi sensasi rasa cemasnya masih terekam jelas dalam ingatan hingga saat ini, dan mungkin akan terus menghantui pikiran.
Saat itu saya kuliah di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Surabaya. Setelah hampir merampungkan mata kuliah Metodologi Penelitian, dosen koordinator meminta kami memasukkan topik penelitian.
Selama mempelajari Metodologi Penelitian, kami selalu diingatkan untuk mencari topik yang memiliki nilai novelti atau kebaruan. Bisa topiknya yang baru atau kalau topik lama, setidaknya menggunakan metode yang baru.
Kamu tahu, frasa 'nilai kebaruan' itu gampang disebutkan, tapi terasa sulit begitu mau dirumuskan. Saya sudah mengikuti saran dosen, bahwa harus membaca banyak studi-studi terdahulu. Tapi semakin saya baca, saya merasa semua hal sudah diteliti oleh orang lain.
Sejak saat itu, hari-hari saya diselimuti perasaan cemas. Saya cemas tidak bisa menemukan topik yang memiliki nilai kebaruan. Kalaupun ada satu-dua topik yang sempat terpikirkan, tapi tidak yakin bisa mempertanggungjawabkan di hadapan dosen pembimbing.
Sementara galau seperti itu, pada suatu hari, salah seorang dosen keperawatan jiwa menawarkan penelitian bersama yang hasilnya bisa untuk skripsi. Jadi, dosen tersebut memiliki proyek penelitian yang meliputi tema yang besar, sehingga perlu dipecahkan menjadi beberapa penelitian kecil.
Selepas kuliah, saya langsung menghadap dosen tersebut dan melamar diri untuk bergabung. Beliau setuju dan memberi saya petunjuk untuk meneliti tentang ACT untuk pasien kanker.
Saya iyakan saja, meski saya kurang paham apa itu ACT. Setelah itu saya mencari tahu sendiri, ternyata itu singkatan dari Acceptance anda Commitmen Therapy. Sejak saat itu, saya mulai mencari referensi sebanyak-banyaknya.
Ketika masa pembagian dosen pembimbing, saya malah mendapat dosen yang bukan pemberi ide topik tadi. Saya mulai cemas lagi, apakah nanti bisa cocok atau tidak?