"Hari ini Keke beri permen ke Ibnu," katanya pada hari lain dengan mimik yang lesu.
Pendek kata, sosok Keke cukup melekat dalam pikirannya. Dia sampai tahu kalau Keke sedang pindah rumah, meski ketika ditanya alamatnya, dia bingung di mana.
Selain Keke, dia juga sering menyebut nama-nama teman lain. Menurutnya, sebagian besar teman-temannya baik, tapi ada satu yang jahat. Kita sebut saja nama teman itu: Julito.
Pada masa awal-awal masuk sekolah, Gibran sering mengeluh tentang Julito. Tanpa kami bertanya, kadang-kadang Gibran bercerita kalau hari itu Julito berperilaku kasar. Misalnya, melempar tas atau suka memaksakan kehendak untuk bermain kejar-kejaran.
Awalnya kami anggap biasa, dan kami hanya bilang ke Gibran supaya berani bilang "jangan" kepada teman yang suka usil. Tapi ternyata si Julito terus mengganggu dan Gibran selalu kepikiran tentang itu.
"Lapor ke guru," kata mama Gibran.
Gibran bilang sudah lapor, tapi setelah guru menegur, Julito usil lagi. Selalu begitu katanya.
"Kalau begitu pukul saja, biar dia tahu rasa," kata mamanya lagi, terlihat agak kesal.
Saya tidak menyangka mamanya menganjurkan kata pukul. Kami berdiskusi lagi, hingga akhirnya kami sepakat agar Gibran cukup melapor ke guru saja. Atau mengalah juga lebih baik.
Saat perayaan Paskah kemarin, ketika misa Kamis Putih, kami hanya berdiri di halaman gereja saking berjubelnya umat yang datang. Kami sedang fokus pada jalannya ibadah, retiba Gibran memekik, "Itu Julito!"
Kami menoleh. Seorang anak berperawakan pendek tapi gemuk tersenyum lebar. Alih-alih menakutkan, menurutnya saya tampilan umumnya dia lucu. Saya jadi ragu kalau itu anak yang nakal.