Suatu siang ketika saya menjemput Gibran di sekolahnya, dia berlari penuh gairah sambil merogoh sesuatu di saku celananya.
"Bapa, bapa....tadi Keke (bukan nama sebenarnya) kasi Gibran surat," katanya sambil menyerahkan kertas yang terlipat kecil seukuran tahu dibelah dua.
Saya tidak langsung membukanya, sebab guru dan beberapa temannya masih memperhatikan dari jauh. Saya menyuruh dia segera naik ke sepeda motor, lalu pulang.
Keke, meski ini nama yang sengaja saya samarkan untuk tulisan ini, adalah nama yang sering ia sebut dari sekian banyak teman-temannya di sekolah.
Barangkali ini juga kesalahan saya; kesalahan kami sebagai orang tua yang kadang-kadang iseng mencocokkan anak satu dengan yang lain sebagai pacar. Apakah kebiasaan ini hanya kami yang lakukan?
Tapi seingat saya, ketika saya masih kanak-kanak seusia Gibran, banyak orang-orang yang lebih tua suka asal menjodohkan seperti itu. Misalnya tiba-tiba berkata, "Eh, kamu pacarnya Desi."
Desi itu sebenarnya anak tetangga teman bermain. Tapi ketika sering diganggu seperti itu, lama-lama sebagai anak, saya merasa suka dengan sosok Desi.
Itu hanya misalnya, Desi juga bukan nama yang sebenarnya. Kita kembali pada pengalaman Gibran, saya merasa dia juga mengalami hal yang sama.
Semenjak kami iseng bertanya siapa temannya yang cantik, siapa teman cewek yang dia suka, akhirnya dia konsisten pada satu nama: Keke. Kami berusaha mengalihkan perhatiannya pada nama teman cewek yang lain, tapi dia tetap kukuh menyebut Keke.
Sampai ketika dia bercerita baru saja menerima surat dari Keke, saya tidak hanya penasaran, tapi juga merasa khawatir. Ada apa pada anak-anak ini sampai pakai surat segala? Mereka masih anak TK yang kadang-kadang masih minta bantuan orang tua buat cebok.
Begitu tiba di rumah, Gibran terus mendesak, "Bapa, baca suratnya Keke."
Saya juga penasaran, lalu segera membukanya. Secara umum terlihat tulisan dengan huruf tali yang pastinya ditulis orang tua, buka huruf atau tulisan anak TK.
Saya membaca dengan seksama. Sepertinya kertas itu dicopot dari buku agenda rapat orang tua, karena isinya berupa rencana kerja bakti di sebuah lingkungan rumah.
"Bapa tidak bisa bahasa Inggris? Gibran terus mendesak karena saya tidak kunjung membaca keras-keras. Dia kira tulisan huruf tali itu sama dengan bahasa Inggris.
Gibran sebenarnya sudah mengenal huruf dalam taraf yang lumayan. Kalau saja tulisan itu ditulis dengan huruf tegak, dia pasti tidak membutuhkan bantuan saya. Tapi itu huruf tali, dia belum belajar sampai di sana, sehingga ia mengira itu yang namanya bahasa Inggris.
Saya sedang memikirkan apa yang perlu saya terangkan ke Gibran, anak pertama kami yang belum genap 6 tahun pada saat itu, kemudian mata saya tertuju pada sebuah coretan kecil. Itu sebenarnya hanya coretan asal jadi saya kira, tapi kalau dilihat dari berbagai sudut, kadang bisa terlihat seperti bentuk hati.
"Ini seperti ada gambar love," kata saya dengan mimik serius.
Gibran tersenyum, tapi saya kemudian khawatir juga. Apakah ini gejala yang wajar pada anak-anak seusia Gibran.
Hingga saat ini, Gibran selalu berobsesi menjadi pacarnya Keke. Tapi, kalau kami menganalisis dari apa-apa yang dia cerita, Keke sepertinya biasa saja. Keke mungkin anggap Gibran sebagai teman biasa, tapi Gibran malah memikirkan hal lain.
Mungkin salah kami juga yang sering tanya hal-hal yang tidak semestinya. Kami juga tidak tahu mana anak yang bernama Keke itu. Kami mengenalnya dari cerita-cerita Gibran sepulang sekolah.
"Tadi Keke kasi saya permen," kata Gibran suatu hari.
"Hari ini Keke beri permen ke Ibnu," katanya pada hari lain dengan mimik yang lesu.
Pendek kata, sosok Keke cukup melekat dalam pikirannya. Dia sampai tahu kalau Keke sedang pindah rumah, meski ketika ditanya alamatnya, dia bingung di mana.
Selain Keke, dia juga sering menyebut nama-nama teman lain. Menurutnya, sebagian besar teman-temannya baik, tapi ada satu yang jahat. Kita sebut saja nama teman itu: Julito.
Pada masa awal-awal masuk sekolah, Gibran sering mengeluh tentang Julito. Tanpa kami bertanya, kadang-kadang Gibran bercerita kalau hari itu Julito berperilaku kasar. Misalnya, melempar tas atau suka memaksakan kehendak untuk bermain kejar-kejaran.
Awalnya kami anggap biasa, dan kami hanya bilang ke Gibran supaya berani bilang "jangan" kepada teman yang suka usil. Tapi ternyata si Julito terus mengganggu dan Gibran selalu kepikiran tentang itu.
"Lapor ke guru," kata mama Gibran.
Gibran bilang sudah lapor, tapi setelah guru menegur, Julito usil lagi. Selalu begitu katanya.
"Kalau begitu pukul saja, biar dia tahu rasa," kata mamanya lagi, terlihat agak kesal.
Saya tidak menyangka mamanya menganjurkan kata pukul. Kami berdiskusi lagi, hingga akhirnya kami sepakat agar Gibran cukup melapor ke guru saja. Atau mengalah juga lebih baik.
Saat perayaan Paskah kemarin, ketika misa Kamis Putih, kami hanya berdiri di halaman gereja saking berjubelnya umat yang datang. Kami sedang fokus pada jalannya ibadah, retiba Gibran memekik, "Itu Julito!"
Kami menoleh. Seorang anak berperawakan pendek tapi gemuk tersenyum lebar. Alih-alih menakutkan, menurutnya saya tampilan umumnya dia lucu. Saya jadi ragu kalau itu anak yang nakal.
Julito kemudian mendekati kami, lalu berusaha menggoda Gibran. Mereka sempat bercanda sebentar, lalu saling berbagi jajan.
Saya sempat berpikir, sekolah tidak selamanya menjadi tempat yang nyaman buat belajar; kadang jadi kandang yang baik berkembangnya aksi perundangan. Tapi, hal itu terjadi tidak selamanya terjadi atau disebabkan pihak luar, bisa jadi anak kami Gibran juga menjadi pelaku bully buat yang lain.
Bully atau perundungan memang tidak baik. Sebagai orang tua, saya dan istri juga kadang tanpa sengaja mencontohkan perundangan pada anak. Sepertinya bercanda mencocokkan dengan anak lain sebagai pasangan kekasih.
Saya juga sadar, ketika Gibran merasa diperlakukan kasar oleh Julito, bisa jadi Gibran juga berperilaku kasar pada anak yang lainnya. Semua kemungkinan bisa terjadi.
Pendek kata, perundangan saat ini mungkin tidak bisa dihindari. Kita memang bersemangat berkampanye agar perilaku seperti itu dihilangkan, tapi nyatanya cukup sulit.
Karena itu, selain berusaha menguranginya, kita juga perlu memperkuat mental anak. Mereka harus terbiasa, bahwa kadang hidup memang keras seperti itu. Jadi harus siap untuk menghadapinya dengan baik.
***
Kemarin, 18 Mei 2023, Gibran genap berusia 6 tahun. Dia gembira ketika diberitahu tentang ulang tahun itu, apalagi kami sebagai orang tua.
Dia gembira karena selain mendapat hadiah, dia juga sadar bahwa sebentar lagi dia akan masuk ke SD. Mamanya sudah mendaftar di salah satu sekolah yang berbeda dengan TK-nya saat ini.
Saya ikut senang ketika melihat dia gembira. Tapi juga kepikiran, apakah dia nanti tetap riang kalau si Keke ternyata sekolah di tempat berbeda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H