Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Tokoh Cerita yang Hidup

15 Mei 2023   12:14 Diperbarui: 15 Mei 2023   12:29 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul              : Kode Etik Laki-laki Simpanan

Penulis           : Robertus Aldo Nishauf

Penerbit         : Buku Fanu

Tahun terbit   : Cetakan 1, Maret 2019

Ketebalan      : 12,5 x 19 cm; Vi + 102 hlm

ISBN               : -

Siapa sebenarnya Robertus Aldo Nishauf yang mengarang kumpulan cerpen "Kode Etik Laki-laki Simpanan" ini? Ia memperkenalkan diri sebagai penulis yang lahir-besar di Timor Barat dalam biografi yang tertulis pada halamam akhirnya bukunya itu.

Saya tinggal di tempat yang sama. Sebagai penulis baru yang ingin terus belajar, saya selalu berusaha belajar dari penulis-penulis lain yang ada di sekitar saya. Selama upaya berguru itu, saya belum pernah berkenalan langsung atau sekadar mendengari cerita orang perihal nama Robertus Aldo Nishauf ini.

Saya menyadari, Timor Barat ini memang cukup luas. Bisa jadi lingkaran pertemanan saya saja yang sempit, sementara penulis yang biasa disapa Aldo itu berada di titik-titik yang mungkin tidak pernah saya jangkau. Atau, mungkinkah ia hanya tokoh yang sengaja diada-adakan?

Kita tinggalkan dulu perihal latar belakang penulisnya itu, mari sedikit membahas 10 cerita pendek yang ia tulis. Kesan umum yang saya peroleh, penulisnya berhasil membuat cerita yang baik; cerita yang bisa dinikmati dalam sekali duduk; cerita yang berhasil membuat pembacanya berpikir dan mengembangkan imajinasi. Pendek kata, itu salah satu buku cerpen yang baik menurut saya.

Setiap cerita memang mengangkat beragam tema. Meski demikian, bila kita mencermati hubungan satu cerita dengan cerita yang lain, hal itu menjadi semacam autobiografi penulisnya. Dugaan itu muncul karena dari 9 cerita, semua menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal, dan nama tokoh aku itu sesekali disebut Aldo, atau lebih lengkapnya Robertus Aldo Nishauf.

Cerpen "Siapa yang Menyuruhmu Masturbasi?" saja yang menggunakan sudut pandang orang ketiga. Di situ Aldo seperti sedang mengisahkan temannya yang bernama Ivan, mahasiswa yang akan menjalani ujian skripsi, tapi gagal lantaran keranjingan melakukan masturbasi.

Dari segi teknis penulisan cerpen, saya pikir buku ini tanpa banyak cela. Setiap cerpen dibukan dengan kalimat yang kuat; kalimat yang merangsang pembaca untuk terus penasaran, ada apa lagi setelahnya. Saya kira bukan hanya kalimat pertama, kalimat selanjutnya hingga kalimat terakhir pun tetap memikat pembaca, setidak-tidaknya untuk saya. Penulis memiliki kemampuan menulis narasi yang rapi dan runut, sehingga tidak memusingkan pembaca.

Kombinasi antara narasi, deskripsi, dialog, dan elemen cerpen lainnya juga runtut. Pengenalan atau penggambaran tokoh juga sangat juara. Setiap tokoh digambarkan selayak orang yang hidup; ia mempunyai masa lalu dan mempunyai harapan-harapan yang ingin dicapai, tapi memiliki banyak kendala dalam prosesnya. Kendala yang dihadapi tokoh-tokoh tersebut membuat cerita memiliki ketegangan yang stabil. Hal itu didukung pula dengan alur cerita yang maju-mundur, dan hal ini pula yang membuat saya sebagai pembaca tidak rela meninggalkan buku sebelum selesai hingga akhir.

Ending ceritanya juga bikin geregetan; karena penulisnya hampir membuat semua akhir cerita yang menggantung. Penutup cerita seperti itu memungkinkan pembaca untuk terus berpikir atau berimajinasi, apa lagi yang akan dialami para tokoh selanjutnya. Itu seperti cerita yang belum selesai, dan penulisnya ingin membebaskan pembaca untuk menentukan bagaimana kisah itu mau diakhiri.

Sarat dengan Sara dan Vulgar

Urutan cerpen dalam buku tersebut menggambarkan kisah penulisnya ketika memasuki masa kuliah di Jawa. Selama di Jawa, Aldo si penulis itu merasa dipandang tidak adil oleh orang-orang kota itu.

"Setengah warga kota ini menatap saya dengan jijik," demikian keluhannya pada halaman 2, "dan sering pula beberapa dari mereka tidak tahan untuk bertanya secara langsung, mengapa rambut saya terlalu keriting, mengapa rahang dan hidung saya sangat besar."

Apakah Aldo menerima perundangan itu begitu saja dengan tabah? Tentu saja tidak, meski ia membalas perilaku rasis itu tidak secara terbuka. Kalau tidak maki-maki dalam hati, ya, dituliskan dalam cerita seperti yang dilakukannya dalam buku tersebut. Seperti ketika ia menghadapi Endah Galuh Dalimah, tokoh orang Jawa yang menjadi teman kuliahnya saat itu. Aldo sangat membenci Endah, sampai ia mengatakan lewat tatapan mata: "Kasihan kau, Anak Jawa. Kau kaya dan trendi, tapi tolol bukan main."

Isu SARA model olok-olokan berbasis suku seperti itu banyak kita temukan dalam cerpen yang lainnya. Pendek kata, ada banyak konten yang sarat dengan sara, termasuk juga cukup vulgar.

Pada halaman sampul buku ini memang sudah diberi tanda khusus "Untuk Dewasa", sebab banyak adegan yang terbilang cukup vulgar. Sebagai anak muda yang normal, Aldo tentu saja berpacaran, bahkan memiliki banyak kekasih. Kisah percintaan masa muda itu diwarnai dengan aksi ciuman, berpelukan, hingga melakukan hubungan layaknya suami istri. Beberapa cerita dalam buku ini memang dengan jelas mendeskripsikan adegan hubungan seks; seperti membenarkan berita-berita seks bebas remaja yang kita dengar atau baca selama ini.

Beberapa cerita juga menyinggung isu-isu sensitif yang ada di Indonesia. Misalnya tentang peristiwa kelam tahun 1966 yang dilakukan PKI. Kemudian ada juga bagian yang membahas tentang upaya atau perdebatan tentang perjuangan kemerdekaan Papua.

Berangkali dengan alasan adanya konten yang menyinggung isu-isu sensitif tersebut, buku ini akhirnya terbit tanpa memiliki ISBN. Kita tahu, setiap buku pada umumnya memiliki nomor seri dikeluarkan perpustakaan nasional. Salah satu syarat untuk mendapatkan nomor itu, isi buku tidak boleh berisi isu sara, mengandung unsur porno, dan hal yang dilarang pemerintah lainnya.

Beberapa isu tersebut bisa saja dianggap sebagai hal yang negatif. Tapi, menurut saya, persepsi seperti itu sangat bergantung pemikiran pembaca. Bagi saya, itu kisah normal yang terjadi dalam kehidupan yang nyata. Susastra yang baik tentunya menggambarkan kondisi sosial penulis atau apa terjadi di sekitarnya. Bila kita memandang buku itu dengan pikiran terbuka, saya pikir tidak ada masalah dengan beberapa hal khusus tadi.

 

Belajar Menulis dari Aldo

Terlepas dari beberapa isu sensitif di atas, buku ini mengajarkan banyak hal, salah satunya kita bisa belajar menulis atau menjadi penulis dari cara atau pengalaman hidup Robertus Aldo Nishauf. Selain mengisahkan pejalanan kuliah dan percintaan yang dilalui Aldo, cerpen-cerpen dalam buku ini juga banyak menyinggung tentang karir kepenulisannya.

Aldo mengkritik kebiasaan penulis dalam cerita "Para Penulis" yang memperumit diri sendiri dengan berbagai teori menulis, perkembangan kesusastraan, dan hal-hal lain yang, menurut pandangan Aldo, rumitnya seperti usaha memerdekakan Papua Barat (hal. 11).

Aldo yang lebih dikenal sebagai penyair itu menulis karena memang ia menyukai aktivitas itu. Karena dilandasi rasa senang, ia menulis saja, sesuai isi hati dan pikirannya. Kebetulan saja puisi-puisinya disukai banyak orang, dipuji para kritikus sastra, dan dibagikan anak-anak remaja kasmaran di berbagai media sosial.

Sebagai penulis yang produktif dan berkualitas, beberapa karyanya pernah terbit di media massa. Berkat keberhasilannya itu, selain mendapatkan pujian, ia juga mendapat penghasilan tambahan. Honor menulis itu meringankan beban orang tuanya yang harus mengirimkan uang kuliah, uang kos, dan biaya perkuliahan lainnya.

"Saya membenci penyair yang menjelaskan puisinya...," demikian kalimat pembuka pada cerita Vera dan Puisinya pada halaman 83.

Sebagai penyair ulung, Aldo secara tidak langsung mengajarkan bahwa puisi yang baik itu adalah puisi yang mampu mengembangkan daya imajinatif pembacanya. Karena puisi berfungsi seperti itu, maka penyair tidak perlu memberi penjelasan tambahan kepada pembacanya. Setelah menulis, penulisnya telah "mati", dan biarkan pembaca yang menginterpretasi dengan leluasa.

Pada bagian selanjutnya, Aldo pun tahu, ternyata Vera yang mengaku penyair itu hanya membaca puisi dari satu penulis favoritnya. Hal itu menggambarkan miskinnya referensi penulis tentang puisi, sehingga tidak mengherankan bila puisi Vera dianggap sangat buruk oleh Aldo. Banyak membaca dengan tema dan topik yang variatif, tentunya akan membentuk seorang penulis yang baik.

Setidaknya itulah sisi negatif dan positif dari buku itu, tapi kita perlu kembali lagi pada pertanyaan awal, siapa sebenarnya si Robertus Aldo Nishauf itu?

Bila kita cek informasi pada halaman sampul dalam, editor buku itu adalah salah satu penulis ternama NTT: Felix K. Nesi. Dan kita tahu, setidaknya warga Timor Barat, Buku Fanu yang menjadi penerbit buku itu merupakan salah satu unit usaha besutan penulis Orang-Orang Oetimu itu bersama Komunitas Leko, Kupang.

Ketika buku ini mulai dijual secara terbatas oleh Komunitas Leko, ada desas-desus kalau cerpen dalam buku ini sebenarnya karya Felix K. Nesi. Ada banyak orang yang menanyakan hal itu. Karena terus didesak, akhirnya Felix menjawab secara terbuka lewat blog-nya bernama Sufmuti. Di situ Felix menjelaskan kalau Aldo itu merupakan salah satu tokoh dalam cerita berjudul "kenangan" yang tergabung buku kumcer pertamanya: Usaha Membunuh Sepi.

Menurut Felix, Aldo itu hidup dan ia ingin menceritakan banyak hal tentang dirinya sendiri. Ia, si Aldo itu, merupakan tokoh rekaan ciptaan Felix, tapi kemudian ia menjadi tokoh yang benar-benar hidup. Ia memiliki masa lalu, memiliki hasrat dan impian masa depan. Felix telah membuat tokoh cerita yang hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun