Beberapa cerita juga menyinggung isu-isu sensitif yang ada di Indonesia. Misalnya tentang peristiwa kelam tahun 1966 yang dilakukan PKI. Kemudian ada juga bagian yang membahas tentang upaya atau perdebatan tentang perjuangan kemerdekaan Papua.
Berangkali dengan alasan adanya konten yang menyinggung isu-isu sensitif tersebut, buku ini akhirnya terbit tanpa memiliki ISBN. Kita tahu, setiap buku pada umumnya memiliki nomor seri dikeluarkan perpustakaan nasional. Salah satu syarat untuk mendapatkan nomor itu, isi buku tidak boleh berisi isu sara, mengandung unsur porno, dan hal yang dilarang pemerintah lainnya.
Beberapa isu tersebut bisa saja dianggap sebagai hal yang negatif. Tapi, menurut saya, persepsi seperti itu sangat bergantung pemikiran pembaca. Bagi saya, itu kisah normal yang terjadi dalam kehidupan yang nyata. Susastra yang baik tentunya menggambarkan kondisi sosial penulis atau apa terjadi di sekitarnya. Bila kita memandang buku itu dengan pikiran terbuka, saya pikir tidak ada masalah dengan beberapa hal khusus tadi.
Belajar Menulis dari Aldo
Terlepas dari beberapa isu sensitif di atas, buku ini mengajarkan banyak hal, salah satunya kita bisa belajar menulis atau menjadi penulis dari cara atau pengalaman hidup Robertus Aldo Nishauf. Selain mengisahkan pejalanan kuliah dan percintaan yang dilalui Aldo, cerpen-cerpen dalam buku ini juga banyak menyinggung tentang karir kepenulisannya.
Aldo mengkritik kebiasaan penulis dalam cerita "Para Penulis" yang memperumit diri sendiri dengan berbagai teori menulis, perkembangan kesusastraan, dan hal-hal lain yang, menurut pandangan Aldo, rumitnya seperti usaha memerdekakan Papua Barat (hal. 11).
Aldo yang lebih dikenal sebagai penyair itu menulis karena memang ia menyukai aktivitas itu. Karena dilandasi rasa senang, ia menulis saja, sesuai isi hati dan pikirannya. Kebetulan saja puisi-puisinya disukai banyak orang, dipuji para kritikus sastra, dan dibagikan anak-anak remaja kasmaran di berbagai media sosial.
Sebagai penulis yang produktif dan berkualitas, beberapa karyanya pernah terbit di media massa. Berkat keberhasilannya itu, selain mendapatkan pujian, ia juga mendapat penghasilan tambahan. Honor menulis itu meringankan beban orang tuanya yang harus mengirimkan uang kuliah, uang kos, dan biaya perkuliahan lainnya.
"Saya membenci penyair yang menjelaskan puisinya...," demikian kalimat pembuka pada cerita Vera dan Puisinya pada halaman 83.
Sebagai penyair ulung, Aldo secara tidak langsung mengajarkan bahwa puisi yang baik itu adalah puisi yang mampu mengembangkan daya imajinatif pembacanya. Karena puisi berfungsi seperti itu, maka penyair tidak perlu memberi penjelasan tambahan kepada pembacanya. Setelah menulis, penulisnya telah "mati", dan biarkan pembaca yang menginterpretasi dengan leluasa.