Boros terdiam cukup lama. Saya juga berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian mengehmbuskan perlahan. "Krik, krik, krik...", hanya terdengar bunyi jangkrik dari arah toilet.
***
"Saya dulu pernah merokok".
Boros ternganga, "Ah, tidak percaya. Mana mungkin muka yang tampak suci seperti abang itu merokok ?"
Saya tertawa geli mendengar Boros berceletuk seperti itu.
"Saya tinggal di lingkungan yang mudah mendapatkan rokok", saya mulai berkisah. Orang tua saya memiliki kios, salah satu barang dagangannya adalah rokok. Karena tidak diawasi dengan ketat, sejak SD saya sudah mulai coba-coba merokok. Saya terpengaruh dengan anggapan banyak orang bahwa merokok itu laki banget, dan memperbanyak teman".
"Terus, terus..?", Boros mendesak.
Saya membasahi tenggorokan dengan kopi yang mulai dingin, "Saat SMP, merokok sudah menjadi rutinitas. Setiap hari harus mengisap. Entah bagaimana pun caranya, harus merokok. Sudah ketagihan. Maka, segala cara dihalalkan. Uang dari orang tua yang seharus digunakan untuk membeli buku, alihkan buat beli rokok. Kalau uang habis, minta rokok sama teman. Kalau tidak cukup, 1 batang rokok bisa buat 5 sampai sepuluh orang, dihisap secara bergilir. Ada istilahnya: satu napas, yaitu tiap giliran hanya boleh dihisap satu kali".
"Waduh, tidak takut tertular penyakit dari mulut ke mulut ?" Boros menyela bertanya.
"Tidak pernah terpikirkan saat itu. Bahkan, saat SMA lebih gila lagi. Saya pernah bersama teman-teman mengelilingi area perkotaan (Ruteng) hanya untuk mencari puntung rokok. Biasanya, kami mencari puntung rokok di tempat sampah dekat ATM. Kalau masuk ATM kan tidak boleh merokok. Nah, orang yang buru-buru masuk ruangan ATM sementara merokok, biasanya segera membuang puntung rokok ke tempat sampah. Puntung itulah yang kami sasar, hingga menjadi rebutan".
"Ah, sampai segitunya kah ?" Boros belum yakin.