"Andai saja harga rokok naik seperti isu tadi, apa kamu setuju ?" Boros kembali bertanya.
"No idea", kata saya sambil menggelengkan kepala, "kalau menurut kamu, bagaimana ? Apa analisis Anda sebagai pengamat ?".
"Saya kira akan terjadi ketidakseimbangan kosmik. Kasian warga miskin nantinya, semakin banyak pengeluaran untuk membeli rokok. Sudah miskin, nantinya semakin miskin akibat membeli roko yang mahal. Apalagi mahasiswa seperti saya, terpaksa banyak menipu orang tua atau keluarga agar memperolah jatah uang lebih buat beli rokok".
Saya menyela pembicaraan Boros gara-gara batuk. Mungkin gara-gara asap rokok. Entahlah, pokoknya batuk yang membuat pembicaraan Boros terhenti.
"Selain itu", Boros menlanjutkan penjelasan, "kalau sampai harga rokok naik, bisa-bisa banyak industri rokok yang kolaps. Ujungnya, nasib pekerja industri rokok dan petani tembakau serta cengkeh, tentunya semakin merana. Masalah pengangguran terus bertambah. Masalah sosial akan berjamuran".
Saya diam saja. Sesekali menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Beberapa helai rambut berjatuhan. Lama-lama bisa botak kalau terlalu mendengar Boros bicara.
"Pemerintah tidak boleh menaikkan harga rokok sesuka hati, ia kan ?" Boros seolah-oleh terus mendesak saya untuk menyatakan pendapat tentang rokok.
"Stop !, saya sedikit mengagetkan Boros, "dengarkan baik-baik !".
Saya menunjukkan jari telunjuk, "Pertama, kamu sudah tahu kalau saya tidak merokok. Tapi, soal orang boleh rokok atau tidak, saya tidak peduli. Saya malas berargumentasi yang tak bertepi, karena apapun yang ada di dunia ini khususnya Indonesia, mana sih yang tidak kontroversi ? Sekolah, ada yang bilang tidak perlu; lebih banyak bermain dari pada belajar; full day school; home scooling, dll. Rokok, yang kontra bilang mengganggu kesehatan; yang pro bilang meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan petani atau pekerja industri. Pengedar narkoba, sebagian bilang harus dihukum mati karena efek perbuatannya menghancurkan generasi bangsa; ada juga yang bilang tidak boleh dihukum mati, itu melanggar HAM. Bumi, kini kembali diperbebatkan, apakah benar-benar bulat atau datar. Si Mukidi yang tidak tahu apa-apa, bahkan jadi sasaran, dijadikan kambing-hitam dalam perdebatan. Jadi, tidak usah diperdebatkan terus. Renungkan saja baik-baik, kalau memang mau terus merokok, monggo..".
Saya menghunus jari kedua, jari tengah, "Kedua, kalau hasil perenungan kamu menyatakan rokok itu baik, silakan dan nikmati proses serta dampaknya. Begini, informasi atau penyuluhan tentang bahaya merokok sudah saaaaaannnnnngatttttttttt banyak. Meski banyak, orang-orang tetap skeptis. Biarkan pengalaman efek merokok itu dirasakan dulu, karena menyesal itu memang harus muncul di belakang, kalau di depan namanya pendaftaran".
Saya menambah jari manis untuk diancungkan, "Ketiga, kalau sudah mantap memilih rokok sebagai bagian dari hidup, bahagialah. Jangan sampai anda mengeluh soal harga. Saat sakit, mengeluh tidak ada uang untuk berobat. Mengeluh tidak mampu menbayar iuran asuransi kesehatan. Mengeluh dan selalu berharap mendapat bantuan pemerintah. Malu kalau kita merokok dengan gagahnya, eh ternyata seorang pengeluh".