Saya lebih meyakini orang yang berkomenta terakhir. Saya ikuti dia, kemudian bilang, "Kaka, ayo kita jalan sama-sama".
Satu area yang sangat sulit. Memang tidak panjang, tapi sangat mengerikan. Tempat kita memegang atau menginjakkan kaki, jaraknya cukup jauh. Melihat ke atas rasa ngeri, menoleh ke belakang apalagi, kaki saya bergetar dan berkeringat. Saya berulang-ulang kali menyebut nama Tuhan.
Teman yang jalan berdekatan dengan saya juga takut. Hampir putus asa, dan mau turun. Tidak lama berselang, seorang yang turun dari puncak menyemangati kami untuk terus ke puncak.
"Eh kaka, saya takut ne, kaki su gemetar neh, saya mengeluh hampir meneteskan air mata.
"Tidak apa-apa ! Ini mudah saja. Ayo, kaka angkat itu kaki kanan, nah tahan di situ, tangan pegang di batu yang di atas itu, kemudian naik dan kaki kiri langsung angkat cepat ke batu di atas", dia meyakinkan saya sambil memberi petunjuk yang jelas.
Saya langsung percaya padanya, dan ternyata berhasil. Saya senang dan terus memanjang. Kaki dan tangan semakin perih, saya tahan saja. Jalan terus, meskin dengan cara merangkak perlahan.
Puji Tuhan, kaki saya berhasil menginjak di puncak gunung. Lega, bangga, terharu, dan senang bercampur jadi satu. Saya tersenyum ke semua teman-teman yang sudah mencapai puncak duluan, lalu bilang, "Saya juga bisa teman, hehehehe..."
Rasa syukur itu kami sempurnakan dengan dengan foto-foto, baik sendiri, berdua, bertiga, atau beramai-ramai. Ada teman yang berkomentar, "Kita foto sampai puas, hingga daya batrei kamera atau hp sampai habis".
Tapi, bagaimana dengan bendera yang dipegang-pegang dalam foto ? Nah, itu bendera sudah ada sejak lama, entah siapa atau komunitas apa yang menancapnya di sana.
Setelah merasa cukup foto-foto dan menikmati suasana puncak, kami bersepakat segera turun. Tapi, sebelumnya kami melakukan tanda tangan massal di spanduk yang telah kami siapkan sebelumnya, kemudian diikat di sana (puncak). Itulah sedikit tanda, bahwa dalam sejarah perjalanan hidup kami, pernah mengijakkan kaki di puncak Gunung Fatuleu.