Baru saja mulai mengikuti gerakan 'jalan di tempat', perut terasa mules. Saya tahan saja. Rasanya seperti mau kentut. Teman-teman sedang konsentrasi dengan senam. Tidak mungkin mereka tahu kalau saya melepas begitu saja desakan angin dari dalam perut.
Pprrreeetttt..., lega rasanya. Saya toleh kiri-kanan, semua tetap serius bersenam. Syukurlah, tidak ada yang menyadarinya. Saya terus mengikuti gerakan dari instruktur.
Tapi tunggu dulu, 'daerah belakang' tiba-tiba terasa dingin dan licin. Cukup menggajal dan sangat mengganggu gerakan tubuh. Pelan-pelan tangan kiri saya susupkan ke daerah belakang celana. Terasa licin dan lembab.
"Kurang ajar, hari ini baru mereka berkelahi", saya mengumpat dengan suara yang pelan. Tidak ada yang mendengarnya. Perlahan, saya pindah posisi ke barisan paling bontot. Tidak mau kalau ada yang tahu. Saya malu.
Senam selesai, semua murid masuk kelas. Saya perlahan masuk ke kamar mandi. Celana seragam warna merah dilonggarkan, lalu diturunkan sedikit. Secara seksama diperhatikan, ada gumpalan atau percikan berwarna kuning di sana. Saya sentuh sedikit, kemudian membauinya. Ohh..., benar sekali. Dugaan saya tidak meleset.
Ibunda memang tidak pernah salah. Sudah mulai terasa efek perkelahian makanan dalam perut. Nasehat Ibunda selalu tepat. Saya mencrettt. Aduh...
Langsung saja kugapai lagi celana, lalu pulang ke rumah. Biar tidak diketahui, saya melewati jalan yang tidak biasanya kami gunakan. Melewati hutan, jalan yang masih penuh belukar. Hari itu saya bolos sekolah.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H