TAFSIR PENULIS NASKAH MALAYU TERTUA DIDUNIA
(Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah)
Oleh : Suhardiman Rusdi.
Kebudayaan Malayu merupakan salah satu kebudayaan tertua di Nusantara yang sudah lebih dari seribu lima ratus tahun mengenal tulisan. Istilah Malayu sendiri dapat dipastikan sama tua atau barangkali malahan lebih tua lagi daripada sejarah keberadaan aksara dibumi Malayu. Istilah Malayu pertama kali muncul pada tahun 671 M oleh seorang biksuTiongkok bernama I-Tsing yang pada saat itu bermukim di kerajaan Malayu (Jambi) yang terletak di lembah Batang Hari untuk memperdalam pengetahuan mengenai filsafat agama Budha. Kemudian ia pindah ke kerajaan Sriwijaya yang pusatnya berada di lembah sungai Musi di sekitar kota Palembang untuk menyalin dan menerjemahkan naskah-naskah Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan ditahun 689 M bahwa Malayu telah kehilangan ke daulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu semua utusan yang dikirim ke negeri Tiongkok berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu pun lagi dikirim dari Malayu.
Selama berabad abad Sriwijaya tetap berjaya sebagai kerajaan yang berkuasa, dan tidak pelak lagi bahwa Sriwijaya patut dipandang sebagai tempat nya kebudayaan Malayu berkembang di sepanjang Prasasti-prasasti yang diwariskan oleh Sriwijaya yang semuanya berasal dari abad ketujuh dan berbahasa Malayu Tua membuktikan bahwa bahasa Malayu adalah bahasa yang sangat tua, akan tetapi pengetahuan kita tentang perkembangan bahasa Malayu sesudah itu sangat terbatas. Hal itu dikarenakan jarangnya prasasti yang berbahasa Malayu, sementara naskah Malayu yang ditulis pada kertas tidak dapat bertahan lama di iklim tropis sehingga hanya sejumlah kecil naskah yang ditulis sebelum abad ketujuh belas masih ada sampai sekarang.
Karena kebanyakan naskah Malayu yang sebelumnya diketahui ditulis dengan huruf jawi maka malahan ada pakar yang meragukan bahwa sebelum zaman Islam pernah ada tradisi pernaskahan Malayu. Dengan ditemukannya naskah Tanjung Tanah terbukti bahwa orang Malayu memiliki tradisi naskah pra-Islam. Naskah Tanjung Tanah yang berasal dari abad 13/14 juga menunjukkan bahwa orang Malayu pernah menggunakan kulit kayu/daluang sebagai media tulis, dan tidak ada alasan untuk menolak lagi dugaan bahwa di dahulu kala juga ada naskah Malayu yang ditulis di media lain seperti daluang, buluh, daun palem dan sebagainya, dan bahwa tradisi pernaskahan sudah berkembang sejak abad ketujuh. Dengan ditemukannya naskah kuno Tanjung Tanah-Kerinci Jambi yang merupakan Kitab Undang-Undang Malayu Tertua Didunia maka semua teori tentang sejarah dan keaksaraan di bumi alam Malayu perlu ditinjau kembali. (Kuzok 2006).
Pada prinsifnya, untuk memberi nama sesuatu objek arkeologi atau sejarah tidak bisa sembarangan. Sudah barang tentu Ada ketentuan yang jelas. Penamaannya sebagai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah (KUUTT) Naskah Malayu Tertua Didunia  oleh : Prof, Ulil Kuzok, disebabkan naskah ini satu-satunya dan tiada duanya didunia hanya dapat dijumpai atau terdapat  dikampung Tua Desa Tanjung Tanah Kecamatan Danau Kerinci, kampung ini yang dulunya tergabung dalam Mandapo Tanah Saliman, naskah kuno ini satu2nya naskah yang ditulis menggunakan dua aksara yakni aksara Pasca Pallawa (Malayu Kuno) dan Aksara Incao (Aksara Asli Kerinci) Pusaka kuno ini merupakan pusaka leluhur Luhah/Kalbu Depati Talam yang dikeramatkan oleh masyarakat Tigo Luhah Tanjung Tanah.
 Naskah Kuno ini pada mulanya dipotret oleh  seorang belanda di atas Jembatan pada saat Kenduri Sko di Dusun Tanjung Tanah ditahun 1941 yang bernama Petrus Voorhoeve pada saat itu menjabat sebagai taalambtenar (pegawai bahasa dizaman kolonial) untuk wilayah Sumatra, Voorhoeve menyebutkan sebuah naskah daluang dari Tanjung Tanah di mandapo Tanah Saliman (terletak sekitar 13 kilometer dari Kota, Sungai Penuh), yang pernah dilihatnya pada tanggal 9 April 1941. Pada saat itu beliau sempat mengambil foto naskah tersebut namun mutu gambar kurang memuaskan"Keadaan di Tanjung Tanah, di atas jembatan beratap dikelilingi kerumunan orang enak dipandang, tetapi kurang sesuai untuk mengambil foto" (ibid, hal. 384).
 Naskahnya berupa"buku kecil yang dijilid dengan benang[...berisikan] dua halaman beraksara rencong ,halaman-halaman lainnya beraksara Jawa Kuno. [...] Teks naskah tersebut merupakan versi Malayu dari buku undang-undang Sarasamucchaya [...] Sebagian besar teks terdiri atas daftar denda. Saya ingat dengan pasti bahwa nama Dharmasraya disebut dalam teks. Di tempat inilah didirikan patung Amoghapasa di tahun Saka 1208 (1286 M)" (ibid, hal.385). Voorhoeve pasti menyadari keistimewahan naskah yang ditemukannya, misalnya dengan menyebutnya "jelas pra-Islam" (ibid, hal.389), namun beliau tidak sampai pada sebuah kesimpulan, namun berikutnya pula naskah Kuno Tanjung Tanah ini diteliti ulang dan dialih bahasakan dengan melibatkan para pakar ahli bahasa kuno Oleh  Prof. Dr, Ulil Kuzok  Gelar Depati Candikio Kalam Negeri. Gelar Depati Candikio Kalam Negeri ini dianugrahkan oleh Pemangku Adat Tigo Luhah Tanjung Tanah pada prosesi Kenduri Sko ditahun 2008,  kerena dia telah berjasa mempopulerkan nama Kampung Tua Tanjung Tanah dengan menamai Judul Bukunya Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Malayu Tertua Didunia. sehinga menjadi terkenal dibumi Malayu bahkan dunia internasional .
Naskah undang-undang Tanjung Tanah ini secara umum menggunakan Bahasa Malayu Kuno agaknya mengunakan dialek-logat Tanjung Tanah di Masa Dahin (kuno) meskipun terdapat bahasa Sansekerta di bagian pembuka dan penutup. Bahan naskah terbuat dari daluang dan telah diuji usianya melalui penanggalan karbon. Hasilnya menunjukkan kitab ini dibuat sekitar abad ke 13/14 M. Sampai saat ini belum ada ditemukan naskah lain yang ditulis menggunakan bahasa Malayu melebihi usia Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Sehingga kitab ini masih menduduki posisi pertama sebagai naskah berbahasa Malayu tertua di dunia. Dihalaman ke-28-30 mengindikasikan bahwa kitab ini dibuat atau dirumuskan secara bersama antara pihak kerajaan Dharmasraya dan para Depati dari Bumi Silujur Alam Kurinci dalam Sebuah sidang atau pertemuan agung yang disebut Sidang Mahatmia.
Pertemuan ini turut dipersaksikan oleh Maharaja Dharmasraya. Hasil rumusan undang-undang itu telah disetujui oleh seluruh peserta sidang dan ditulis oleh seorang juru tulis bernama Kuja Ali Depati. Kemudian, barulah undang-undang tersebut disahkan atau diresmikan oleh Maharaja Dharmasraya. Dan diberlakukan untuk masyarakat silujur alam kurinci serta undang-undang ini dibuat sebagai alat para depati untuk memerintah serta mengatur se-isi alam kerinci, Selanjutnya bunyi teks halaman ke-28-30 KUUTT: (28)...sakian bunyi (29) nyatnya titah Maharaja Drammasaraya // yatnya yatna sidang mahatmia saisi Bumi Kurinci silunjur Kurinci // samasta likitam Kuja Ali Dipati di Waseban di Bumi Palimbang di hadappan Paduka Sri Maharaja Dra (30) mmasraya. Barang salah silihnya, suwasta ulih sidang mahatmia samapta.
Terjemahan : Demikianlah bunyinya titah Maharaja Dharmasraya, diperhatikan dengan seksama oleh  sidang mahatmia se-isi Bumi Kerinci sepanjang Kerinci. Semuanya ditulis sendiri oleh Kuja Ali Dipati di Paseban di Bumi Palimbang, di hadapan Paduka Sri Maharaja Dharmasraya. Masing-masing --isi dari Kitab Undang-Undang ini-- disetujui oleh sidang mahatmia (rapat  agung), selesai dan sempurna.  Dan di halaman ke-29, dapat kita temui  nama penulis Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yaitu "Kuja Ali " yang berkedudukan pula sebagai seorang Dipati. Bunyi bagian tersebut adalah ".....Samasta Likitam Kuja Ali Dipati...." (artinya: semuanya ditulis oleh Kuja Ali, Depati.
Tulisan ini sengaja kita  buat dalam rangka upaya menelusuri dan untuk  mencari  jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dan diperdebatkan oleh penulis sejarah, media massa, penulis artikel, dan masyarakat umum terhadap sosok misterius Kuja Ali depati,  Apakah Kuja Ali Berasal dari penduduk lokal Tanjung Tanah-Kerinci-Jambi, Persia, Arab, India atau pegawai kerajaan Darmasraya ..? Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah sama sekali tidak menyebutkan asal usul dan silsilah dari Kuja Ali Depati sehingga sampai saat ini sejarawan belum bisa mengungkap asal usul dari Kuja Ali Depati, barangkali dalam penelitiannya tidak melibatkan tokoh masyarakat setempat . Butuh data sejarah yang cukup untuk menunjukkan dari mana asal usul Kuja Ali ini. Para ahli saat ini hanya bisa menduga-duga  plus menerka-nerka mengenai  Kuja Ali depati itu. Untuk menelusuri  dan mencari jawaban sosok mesterius  Kuja Ali Depati  alangkah baik nya kita telusuri kutipan-kutipan para ahli sejarah, media massa, penulis artikel dan pendapat masyarakat Setempat :
Menurut Prof. DR, Ulil Kuzok. (Tempo.2008.): Dari Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah ini, kita menemui ada pemungkiman orang asing di dharmasraya kemungkinan Tamil dan Persia, karena ada petunjuk orang yang menulis naskah kuno Tanjung Tanah menyandang nama Depati Kuja Ali, kemungkinan kalau bukan dari Tamil dia itu dari Kuja di Persia.
Menurut Prof, Aulia Tasman,PhD. Dalam  buku Menulusuri Jejak Kerajaan Malayu Jambi hal 41 dan Malpu 188 : Penulis Naskah Malayu Tertua Didunia Depati Kuja Ali mungkin pada waktu pemerintahan Depati IV Alam Kerinci abad ke 13- 14 masehi ini merupakan sekretaris pribadi dari Depati Atur Bumi (yang mengurus pemerintahan dalam negeri) yang berasal dari dusun Tanjung Tanah. Sehingga secara turun-temurun Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah ini disimpan dan dikeramatkan sebagai barang pusaka oleh masyarakat Tanjung Tanah sampai sekarang. Dari keterangan yang ada terlihat bahwa daerah Tanjung Tanah adalah daerah penting dalam pemerintahan Depati IV Alam Kerinci, khususnya di wilayah Kedepatian Atur Bumi.
Menurut : M. Ali Surakhman, Sejarahwan. Tinggal di Jambi : Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah  tidak semuanya tertulis dengan aksara Sumatera, namun pada 2 lembar terakhir KUUTT,  ditulis dengan aksara Incoung (aksara Kerinci kuno), walaupun isi naskah ini tidak ada bersentuhan dengan Islam, namun penulis naskah ini, adalah Kuja Ali Depati, Siapa wujud Kuja Ali Depati? Ada berbagai Tafsiran, bahwa dia dari Persia, namun dengan Depati di belakangnya, bisa jadi orang lokal, atau gelar yang diberikan untuk menghormati peranannya, Kuja dalam Bahasa Melayu kuno, orang yang sangat penting, Kuja, Kuju, Koja, yang juga dijumpai dalam kata kata Persia, namun hal yang terpenting Ali tidak mungkin beragama Hindu Budhha.
Menurut Sunliensyar, Hafiful Hadi. (boedaya kerinci) : Nama atau gelar Kuja yang digunakannya berasal dari kata "Khoja" dalam bahasa Malayu. Kata "Khoja" ini berasal pula dari bahasa Persia yaitu Khawajah yang artinya Tuan atau pemimpin. Gelar Khoja ini digunakan pula oleh tokoh-tokoh muslim lain pada abad ke-14 hingga ke-16 seperti yang ditemukan pada Nisan Aceh dan hikayat-hikayat Melayu. Sedangkan kata "Ali" merupakan nama yang juga umum dipakai oleh orang Muslim. Karena Ali merupakan nama dari sepupu dan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, juga sebagai Khalifah ke-4 dalam sejarah Islam. Hal inilah yang menjadi alasan kuat para sejarawan mengidentifikasi Kuja Ali sebagai orang Islam.Â
Menurut Said Hanafi, (Gelar Depati Talam Tuo) : berdasarkan tutur orang tua-tua dahulu, Kuja Ali itu adalah orang kepercayan Raja (Mangku Bumi) asli penduduk Tanjung Tanah dia seorang Depati yang menulis, menyimpan dan menerapkan KUUTT untuk diberlakukan di  Bumi selujur alam kerinci.  menurut nya pula pada zaman dahulu apabila terjadi silang sangketa yang terjadi dibumi selujur alam kerinci depati yang berasal dari Tanjung Tanahlah yang dipanggil untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan silang-sangketa itu, naskah kitab undang-undang dan baju hakim yang digunakan saat bersidang masih tersimpan awet diatas Loteng Rumah Gedang sampai sekarang.
Menurut Sarwani, S,KOM. (PNS), Walaupun nampak sepele dan terkesan mengada-ada, tapi bisa menjadi petunjuk bahwa Kuja Ali adalah orang Tanjung Tanah asli. Dalam transliterasi kritis KUUTT tidak ditemukan kata yang berakhiran NG, misalnya: malin (maling), kambin (kambing), uran (orang), Â baran (barang), anjin (anjing), dsb. Hal ini sama dengan pelafalan kata-kata berakhiran NG oleh sebagian masyarakat Tanjung Tanah yang hanya dibaca N seperti halnya dengan transliterasi kritis KUUTT tersebut, dan hal ini tidak ditemukan di daerah lain. Dengan demikian, antara logat masyarakat Tanjung Tanah sekarang dengan zaman KUUTT ditulis oleh Kuja Ali terdapat kemiripan dalam pelafalan NG menjadi- N.
Menurut Dalimi. SE. (Tokoh Pemuda) : Sepertinya Kuja Ali bukan dari Persia, India atau pegawai kerajaan dharmasraya, kemungkinan besar Kuja Ali adalah penduduk lokal Tanjung Tanah-Kerinci, sebab Kuja Ali tidak mengunakan gelar kerajaan dibelakang namanya seperti Mahapatih, Maha Menteri , Mangku Bumi , Mpu, dll, Akan tetapi Kuja Ali mengunakan gelar jabatan Depati di belakang namanya, gelar jabatan depati ini Identik gelar jabatan adat yang digunakan  oleh masyarakat adat suku kerinci, jabatan depati dikerinci  masih bertahan sampai saat ini, walaupun gelar jabatan depati dulunya juga pernah dijumpai dan pernah ada di  sebagian daerah bumi malayu seperti di jambi, bengkulu, bangka-belitung, lampung dan Sumatra Selatan. Disamping itu pula kalaulah memang Naskah KUUTT itu ditulis pada jaman Maharaja Diraja Adityawarman mengapa maharaja adiatyawarman tidak menujuk/mempercayai penulis dari pihak kerajaan seperti nama yang tersebut dalam prasasti pagarruyung I, Prasasti Pagarruyung  I  menyebutkan   nama  penulis prasasti  atau  biasa  disebut citralekha.  Penulis Prasasti  Pagarruyung  I  disebutkan  dalam  baris  ke-20 dan 21 dengan nama Mpungku Dharmma Dwaja bergelar  Karuna  Bajra. Adityawarman yang men-cantumkan nama penulis prasasti. Dengan bunyi : ""bulan  Waisaka  tanggal  15  paro  terang (purnama), hari Buddha. Itulah karya dari sang guru 21.  mpungku  Dharmmaddwaja  yang  dipuji dengan gelarnya Bajra (kilat) yang penuh kasih sayang""
Menurut Syafriadi Tayib. (Pemuda), Kalau kita merujuk dari Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Kuja Ali Depati, kemungkinan adalah salah satu dari depati IV Suku dibumi selujur alam Kerinci yang di beri Kepercayaan oleh raja Darmasraya di bumi selujur alam Kerinci yang berasal dari tanjung tanah yang dipercaya sebagai juru tulis, juru simpan sekaligus juru terap Naskah undang-undang Tanjung Tanah di abad 13/14 M, hal ini terungkap dihalaman sembilan Naskah KUUTT dengan bunyinya sebagai berikut : paha //..// barang orang nayik ka rumah orang tida ya barsarru barku-wat barsuluh, bunuh sanggabu-mikan salah ta olih mamu-nuh sangga bumikan oleh dipa-ti barampat suku, sabu su-k....xxxnuh sabusuk tida...Dst...
Menurut Johari Abdullah. ST (Guru). Kalau Kita Baca Tambo Kerinci (TK 119. ) Kuja Ali Depati sepertinya bukan dari pendakwah/pemimpin yang berasal  India-Tamil atupun dari Persia, bisa jadi Kuja Ali Depati adalah penduduk lokal Kerinci seperti terungkap  dalam tambo kerinci tersebut terdapat nama KUJA yang ditulis dengan aksara incung dengan media tulang yang bunyinya sebagai berikut : "(1) hini paratama hasan jadi dipati dalam saliman (2) hija juga hanak sang nginda kunin sarapu calik sara(3) mpu KUJA sarampu kumbang sarampu kunin baduwa jadi di(4) pati hada sarapu jadi dipati haca sara kunin batiga(5) han surang sarampu tuwan surang sarampu manis surang salih (6) sati dalan dipati sarah gumi sarampu kumbang dalam di?(7) pa salaman dipati kacik dipati sutan ma(8) nggala hiya paratama hagan piha tangga dipati Sali..Dst...
Menurut Zakaria Abdullah (Tokoh Masyarakat). Naskah kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang ditulis Kuja Ali Depati yang merupakan pusaka anak jantan dan anak batino masyarakat Tanjung Tanah, yang disimpan diatas loteng rumah gedang Depati Talam Tuo dan sekaligus telah menjadi pusaka milik  Kalbu/Luhah Depati Talam Tigo Luhah Tanjung Tanah dan depati yang berasal dari Tanjung Tanah disekitar abad 13-14 M mempunyai peranan penting dan strategis sekali dalam roda pemerintahan kedepatian IV suku di Bumi Selujur Alam  Kurinci sebagai mana yang tersebut pada naskah kuno undang-undang tanjung tanah dihalaman sembilan. Setelah kita membaca dan menganalisa KUUTT,Kuja Ali Depati, besar kemungkinan adalah orang lokal kerinci tepatnya orang tanjung tanah, karena dia mengetahui kondisi seluk beluk wilayah kerinci pada umumnya serta mengetahui kondisi seluk beluk wilayah diselingkaran  lembah Danau kerinci pada khususnya hal ini dapat kita buktikan kosa kata/bahasa/dialeg yang terdapat di dalam naskah KUUTT mencerminkan alat perkonomian yang digunakan Masyarakat yang tinggal diselingkaran Danau Kerinci, seperti biduk, kajang, pengayuh, galah, lantai, pukat, jala, pasap dll. Dan selanjutnya apabila kita membaca secara utuh Naskah KUUTT,  dapat kita temui kosa kata/dialeg/ bahasa  yang digunakan KUUTT hampir 65 sampai 75 persen adalah bahasa atau dialek/logat Tanjung Tanah masa Bahi (Kuno) dan kosa kata atau bahasa/dialek yang terdapat dalam naskah KUUTT masih diucap, dipergunakan, dimengerti oleh seluruh penduduk masyarakat Tanjung Tanah sampai sekarang, seperti kosa kata/dialeg :
Mahu,tumbuk,kapit,tumbak,sukat,kati,kundae,bungkal,sakiyan,jerat,besimalilao,khurasani,pulut,mabuk,pening, judi, jahi, selang,ulih, baju dastar,dusa,tuba,suluh dll...
Dari beberapa keterangan yang ada diatas terlihatlah besar kemungkinan bahwa penulis Naskah KUUTT naskah malayu tertua didunia Kuja Ali Depati adalah penduduk lokal (Tanjung Tanah-Kerinci), Kuja Ali Depati kemungkinan adalah salah satu dari Depati IV suku di bumi selunjur alam Kurinci yang diberi kepercayaan  Oleh Maharaja Darmasraya (Malayu-Jambi), kerena Kuja Ali dianggap cakap menulis, membaca, memahami aksara pasca pallawa (Malayu Kuno) dan aksara incung Kerinci maka dipercaya untuk menulis,menyimpan dan mengunakan/memberlakukan/menerapkan naskah KUUTT  itu untuk seluruh penduduk se-isi bumi silujur alam kerinci. Berikutnya pula Kalaulah kita menyakini Kuja Ali itu pendakwah/pemimpin/saudagar yang berasal dari India-Tamil, Persia ataupun pegawai kerajaan yang dipercaya untuk menulis naskah KUUTT berarti kita secara tak langsung menyatakan bahwa penduduk Malayu Kuno dan Kerinci kuno serta Pemegang Naskah KUUTT tidak cakap menulis,membaca, memahami, apalagi untuk mengunakannya Naskah KUUTT yang beraksara Pallawa dan aksara incung kerinci itu..!!  pertanyaan yang akan muncul mungkinkah Kuja Ali itu pendakwah/pemimpin/saudagar yang berasal dari India-tamil, persia ataupun pegawai kerajaan yang dipercaya untuk menulis naskah KUUTT itu mengetahui kondisi, seluk beluk alam kerinci serta kebutuhan yang perlu diatur untuk Penduduk kerinci..?? jawabannya tentu tidak, tentunya orang yang paling memungkinkan mengetahui kondisi, seluk beluk, hal-hal yang perlu diatur untuk penduduk bumi selujur alam kerinci serta kebutuhan Penduduk selunjur alam kerinci adalah penduduk kerinci itu sendiri (Kuja Ali) dan pertanyaan berikutnya yang akan muncul adalah: mungkinkah pemegang Naskah KUUTT itu tidak cakab membaca,menulis, memahami Aksara Pasca Pallawa (Malayu Kuno) dan aksara Incung kerinci ..?? jawaban nya jelas tidak, yang pasti tidak mungkin penyimpan naskah KUUTT itu tidak Cakap menulis, membaca bahkan memahami aksara Pasca pallawa dan aksara incung Kerinci.!! kalaulah penyimpan Naskah KUUTT itu tidak cakap menulis, memahami dan membaca aksara Pasca Pallawa (malayu Kuno) dan incung kerinci, bagaimana caranya sipemegang (penyimpan) naskah KUUTT itu ingin menerapkan, memberlakukan KUUTT dibumi selunjur alam Kurinci...!!!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H