Bab 1: "Pagi yang Nyaris Sempurna" (Lanjutan)
Joko berdiri di depan mejanya, menatap Milo, si kucing yang kini duduk di atas keyboard komputer. Kucing itu menatap balik dengan tatapan yang seolah berkata, "Aku tahu segalanya, manusia, tapi aku tak akan membantumu."
"Baiklah, rencana darurat," gumam Joko, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Langkah pertama: menutupi celana robek. Setelah melirik sekeliling ruangan untuk memastikan tak ada yang melihat, Joko merogoh laci mejanya. Di dalamnya, ia menemukan selembar stiker besar bekas acara perusahaan tahun lalu. Stiker itu berbentuk logo perusahaan yang besar, tapi cukup untuk menutupi area strategis yang robek.
Dengan hati-hati, Joko menempelkan stiker itu di bagian celananya yang sobek. Ia meringis saat merasa sedikit aneh, tapi ini adalah solusi terbaik yang ia punya saat ini. Setidaknya, sekarang ia tidak perlu khawatir memperlihatkan bagian yang tidak seharusnya.
Langkah kedua: rambut. Setelah kegagalan besar dengan kecap pagi ini, Joko tahu dia tidak bisa lagi bertaruh dengan produk apapun yang tersedia di kantornya. Sebaliknya, ia berjalan ke pantry, membuka kulkas, dan menemukan sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya---botol air soda.
"Teori air soda katanya bisa bikin rambut kaku dan bersih," pikir Joko. "Atau... mungkin aku baru saja membuat itu."
Tanpa pikir panjang, Joko mencuci rambutnya dengan air soda di wastafel pantry. Ketika dia selesai, rambutnya memang tidak lagi lengket, tapi kini malah tampak seperti landak yang baru saja keluar dari mesin pengering.
"Baiklah, ini mungkin lebih buruk, tapi lebih baik daripada rambut kecap," desah Joko sambil menatap bayangannya di cermin kecil pantry.
Langkah ketiga: presentasi. Ia berlari kembali ke mejanya, membuka file presentasi, dan mengecek apakah semua sudah siap. Namun, ketika ia melihat daftar slide yang ada, matanya terbelalak.
"Tunggu... kenapa judul slide-nya 'Masa Depan Nasi Goreng di Indonesia'?" Joko menepuk dahinya. File yang ia buka bukanlah presentasi proyek, melainkan presentasi konyol dari acara internal bulan lalu yang diisi penuh dengan lelucon tak masuk akal tentang makanan.
Dengan panik, Joko mencari-cari file yang benar, tapi waktu terus berjalan. Suara langkah kaki terdengar semakin ramai di luar, menandakan klien sebentar lagi tiba.
"Aduh, kenapa bisa begini?!" gumam Joko sambil membuka folder demi folder di komputer, namun semua file tampak seperti berantakan. Tidak ada satu pun file presentasi proyek yang bisa ia temukan.
Ketika ia hampir menyerah, tiba-tiba Tatang muncul di belakangnya, menyeringai. "Eh, Jo, lo lagi cari presentasi yang bener?"
Joko menoleh dengan panik. "Tatang, tolong, file presentasi proyek yang benar di mana? Gue harus presentasi ke klien sebentar lagi!"
Tatang menahan tawa, lalu menarik flashdisk dari kantongnya. "Tenang, bro, gue udah backup semuanya. Ini presentasi yang lo butuhin."
Joko menatap Tatang seolah pria itu adalah pahlawan yang turun dari langit. Dengan cepat, ia mencolokkan flashdisk itu ke komputernya dan membuka file yang benar. Presentasi proyek akhirnya muncul di layar, lengkap dan rapi.
"Terima kasih, Tatang!" seru Joko dengan lega.
Namun, saat itu juga, Pak Budi tiba-tiba muncul dari balik pintu ruang kerja Joko. "Joko, kliennya sudah datang. Kamu siap, kan?"
Joko tersenyum canggung, "Siap, Pak!"
Sambil membawa laptop dan mencoba menutupi rasa khawatirnya, Joko melangkah menuju ruang rapat, diiringi Pak Budi yang menatapnya dengan penuh harap.
Begitu masuk ke ruang rapat, Joko langsung merasakan ketegangan. Klien yang datang ternyata bukan sembarang orang; mereka adalah investor dari luar negeri, lengkap dengan setelan jas mahal dan wajah serius. Semua mata tertuju padanya.
Dengan gugup, Joko memulai presentasi. "Selamat pagi, bapak-bapak, ibu-ibu sekalian. Hari ini saya akan mempresentasikan proyek inovatif yang sudah kami persiapkan..."
Beberapa menit pertama berjalan lancar. Joko berhasil menjelaskan konsep proyek dengan tenang meski keringat mulai mengalir di dahinya. Namun, di tengah penjelasan yang sedang serius-seriusnya, Milo tiba-tiba melompat ke meja, mendarat tepat di depan layar proyektor, menghalangi seluruh presentasi.
Mata Joko membelalak, tapi sebelum dia sempat bereaksi, Milo dengan anggun berjalan di sepanjang meja, dan... tiba-tiba mulai mengeong keras. Para klien bingung, dan Pak Budi tampak ingin pingsan.
"Apa ini bagian dari presentasi?" salah satu klien bertanya dengan aksen tebal.
Joko berusaha tersenyum. "Eh, ini... inovasi terbaru kami---integrasi kucing dalam proyek teknologi. Kami percaya hewan peliharaan dapat meningkatkan produktivitas..."
Suasana ruang rapat berubah hening, diwarnai tatapan tak percaya dari para klien. Joko tahu, itu terdengar lebih konyol daripada apa pun yang pernah ia ucapkan dalam hidupnya. Milo, si kucing, hanya menatap balik Joko dengan ekspresi tenang seolah berkata, "Aku membantumu, manusia, meski kamu tidak tahu caranya."
Joko hanya bisa tertawa kering dalam hatinya. Ya, hari yang "nyaris sempurna" ini jelas akan dikenang untuk waktu yang lama---dan mungkin jadi bahan lelucon di kantor selama bertahun-tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H