Mohon tunggu...
Suhadi Sastrawijaya
Suhadi Sastrawijaya Mohon Tunggu... Penulis - Suhadi Sastrawijaya

Suhadi Sastrawijaya penulis berdarah Jawa- Sunda. Hobi membaca terutama buku-buku sastra dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Senja Memejamkan Mata

25 Januari 2024   22:28 Diperbarui: 25 Januari 2024   22:28 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       "Betul. Kita tidak salah. Yang salah itu mereka. kalau mereka tidak mempersulit ekonomi  rakyat, tidak mungkin rakyatnya seperti ini. Kita kan hanya menolong orang- orang yang butuh pertolongan. Kenapa coba, mereka dengan semena- mena melakukan razia, membui para pelacur itu. Bukannya memberi pekerjaan yang baik?"  Terdiam sejenak. Kemudian orang yang dipanggil San itu kembali berbicara. "Ya, begitulah. Kalau masuk neraka kayaknya duluan mereka."

      "Sudahlah San. Jangan berbicara soal neraka." Jawab Abah Darma sambil berlalu meninggalkan rumah. Spertinya mau menemui perempuan yang dipaanggil San itu.

      "Astaghfirullah Alazim, " aku sangat tidak menyangka kalau Abah Darma melakukan perbuatan seperti itu. Tuhan, aku takut akan terjadi sesuatu kepada Abah Darma dan lebih- lebih terhadap diriku sendiri. Apa yang harus aku lakukan?

***

        Hari berikutnya  aku pulang,  habis bermain dari pantai. Aku sendirian, karena sekarang Abah Darma jarang mengajakku bermain di pantai. aku bisa merasakan, dia sekarang tidak dekat seperti dulu. Padahal semenjak kedua orangtuaku meninggal, Abah Darma lah yang merawatku, dialah yang sanggup berperan sebagai orang tua, tapi kini,  kehidupanku benar- benar seorang yatim piatu.  Mungkin karena dia sekarang lebih fokus berbisnis profesi haram itu. Ya Tuhan.

        Sore itupun aku pulang dengan gontai. Sementara  burung- burung laut beterbangan tidak jauh dariku. Mereka bergerombol hendak pulang ke sarang. Mungkin setelah itu mereka bercengkrama dengan anak- anaknya.  Aku  iri melihat kebersamaan mereka itu. Punya keluarga, lengkap dengan ayah bunda. Tapi tidak denganku, yang sejak kecil ditinggal orang tua, ibuku meninggal  dibunuh  massa karena  disangka mencuri ayam. Begitulah hukum di negeri ini. Seperti  pisau, tajam kebawah, tapi tumpul keatas. Mereka rakayat jelata yang salah sedikit saja dihukum berat, tapi para koruptor malah dibiarkan bebas keliaran. Setelah kematian ibuku, aku pergi tak tentu tujuan, terkatung- katung bagai gelandangan.  Kemudian angin dan hujan deras melanda seluruh kota Jakarta, aku kedinginan, berteduh disebuah pohon dekat pembuangan sampah yang tidak pernah disukai orang. Kemudian aku ditolong oleh abah Darma, orang tua yang bersahaja. Aku menaruh harapan dan masa depanku padanya.  Tapi kini, harapanku kabur.  Abah Darma mulai tidak peduli padaku. Ah, tidak. Tuhan, aku telah mendustakan nikmatmu. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan. Itulah sabdamu yang aku dengar  yang dibacakan oleh hamba- hambamu yang saleh. Seharusnya aku bersyukur, dengan Engkau mengirimkan seorang  Abah Darma, aku masih bisa hidup sampai sekarang, dan tidak mati terhina didekat tumpukan sampah busuk. Aku juga tidak pantas mengingkari kebaikan Abah Darma. Tuhan, ampuni aku.

         Sesampainya aku di halaman rumah Abah Darma. Tiba- tiba aku dikejutkan dengan bau amis yang menyengat hidung. Sementara orang- orang ramai berkerumun di rumah abah Darma. Ada apa sebenarnya? setelah dekat alangkah terkejutnya aku. Aku melihat Abah darma telanjang bulat  berdua dengan seorang pemuda. Tubuhnya terkulai lemah tidak berdaya, tubuhnya bersimbah darah, botol- botol miras berantakan. Aku  hendak masuk ke pintu belakang yang terbuka, yang di dalamnya terdapat Abah Darma dan seorang pemuda itu. Tapi orang orang- mencegahku. Aku meronta, lalu mereka dengan kasar menyeretku ke tempat yang agak jauh.  Oh Tuhan, mereka kejam sekali. Padahal aku ingin menemui Abah Darma untuk terakhir kalinya, orang yang merawatku sejak kecil. Tidak berapa lama, lima orang  polisi  datang. Mereka sepertinya agak keheranan. Terdengar dua diantara polisi itu bercakap- cakap.

        "Ternyata dia adalah Darma Wangsa Pratama, mantan narapidana kasus suap tujuh tahun lalu. Saya tidak menyangka dia beralih profesi menjadi gremo"

        "Benar! Ternyata dia juga penyalur tenaga kerja ilegal ke luar negeri, dan bukan hanya itu, dia ternyata suka kepada sesama jenis sejak tujuh tahun yang lalu"

       "Benarkah?" polisi lainnya keheranan.

"Betul. Dulu kan saya bekerja di rutan tenpat Pak Darma di bina. Jadi saya tahu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun