Mohon tunggu...
Suhadi Sastrawijaya
Suhadi Sastrawijaya Mohon Tunggu... Penulis - Suhadi Sastrawijaya

Suhadi Sastrawijaya penulis berdarah Jawa- Sunda. Hobi membaca terutama buku-buku sastra dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Senja Memejamkan Mata

25 Januari 2024   22:28 Diperbarui: 25 Januari 2024   22:28 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    Senja itu begitu damai.  Seorang lelaki paruh baya duduk termenung menghadap laut. Tatapannya begitu teduh, laksana mega yang memerah saga dilangit barat. Orang- orang kampung memanggilnya Abah Darma. Memang, tak  ada satu orang pun di kampung  itu  yang  tahu tentang Abah Darma. Lelaki tua yang kini menghabiskan hari  tuanya di tepian pantai selat sunda, dulunya seorang kaya raya. Dia adalah salah seorang  pejabat penting di negeri ini. Tapi kini ia menghabiskan hari tuannya hanya berdua denganku, tinggal di sebuah rumah sederhana di tepi pantai. Padahal anak- anaknya yang tinggal di Jakarta hidup kaya raya. Ada yang menjadi pejabat tinggi dan ada juga yang menjadi pengusaha sukses. Harta, kemewahan, pangkat dan jabatan, sudah membuatnya mual. Dia seperti melihat bangkai tikus jika melihat orasi partai politik di Televisi. Maka ketika televisi menayangkan diskusi pemilu dia langsung mengganti channelnya atau bahkan, mematikan pesawat Televisi  itu.

         "Mon, Mamon. Kemarilah," panggilannya membuyarkan lamunanku. Akupun menghampirinya. "Mon, sungguh miris para pemimpin di negeri ini. Mereka dengan suka cita menyia-nyiakan amanat rakyat."  Gumamnya lirih, sembari mengelus- elus punggungku. Aku melihat lukisan kegetiran di raut wajah tirusnya. Matanya yang sudah kelabu kini menahan deraian- deraian bening. Sudah tujuh tahun aku menemani dia di pantai ini. Banyak  suka dukanya yang sudah kusaksikan. Semua  anaknya  sudah tak lagi menyayanginya.  Tapi akhir- akhir ini  mereka ingin mengurusi orang  tuanya yang sudah tua renta itu.  Mungkin kasihan melihatnya hidup susah atau ingin menebus dosanya yeng telah dilakukan pada orang tuanya. Tapi abah  Darma tidak sudi dengan niat anak- anaknya itu. Suatu hari ketika  anak sulungnya datang ke rumah,  hendak menjemputnya dari rumah itu, Tapi Abah Darma marah- marah.

         "Aku tidak mau tinggal bersamamu. Bukankah dulu kau tidak peduli  denganku."

"Itu dulu pa, aku akui, aku salah. Untuk itu aku minta maaf pa.  Maka dari itu tinggallah bersamaku pa,"

       "Paling  kamu kesisni ada maunya. Percuma!  aku tidak mau." Abah darma mencibir.

Anak sulung Abah darma mengerutkan dahi sejenak, kemudian  melempar pandangannya  ke arah laut di samping halaman rumah Abah Darma. Dia lalu memohon- mohon kepada Abah Darma.

      "Boleh saja papa tidak percaya padaku. Dulu aku memang salah. Memaksa papa untuk melakukan praktek suap demi ambisiku. Aku sudah tega mengorbankan orangtuaku sendiri untuk kepentinganku. Tapi sekarang, aku mau berubah pa, demi Tuhan pa, aku  datang kesini ingin menebus semua kesalahan- kesalahanku."

Baca juga: Ratapan Senja

       "Percuma kalau anjing sudah suka makan kotoran,"  jawab Abah Darma tegas, sembari menghisap rokok kreteknya yang hampir habis.  "Segala cara dihalalkannya. Sumpah dan janji di lalapnya.  Sekali  lagi tidak!  Aku  tidak sudi tinggal dengan anak durhaka sepertimu.  Dulu kamu merengek- rengek minta bantuan padaku agar  kamu menduduki jabatan  penting di ibu kota. Aku rela berkorban untuk anak kesayanganku, samapai aku masuk penjara karena peraktek suap untuk menolongmu, tapi balasannya apa? Ketika seekor tupai tua ini jatuh dari lompatannya, dan terperosok ke dalam bui, apakah kamu menolongnya, tidak, 'kan? Dan sekarang kamu datang kesini mau minta bantuanku lagi 'kan? Aku juga tahu, kalau televisi sedang  ramai memberitakan kasus korupsimu."

Baca juga: Doa Tengah Malam

         Anak sulung abah darma itu tertegun. Terlihat riak air mukanya yang memerah, mungkin ia malu atas semua perbuatannya. Atau tidak malu melainkan kecewa, karena rencananya gagal.  Aku yang sejak kecil tinggal dan dirawat oleh Abah Darma, tahu bagaimana perasaannya selama ini. Drama kehidupan keluarga ini sudah lama mengalami konflik. Aku hanya bisa menyaksikan  dari tempat yang agak jauh. Mana mungkin aku bisa melerainya, Abah Darma naik pitam. Ia marah.

        "Sekarang tinggalkan rumah ini. Aku tidak sudi lagi melihat muka busukmu." bentak Abah Darma.

      "Tapi aku ini anakmu pa"

"Tidak! Kamu bukan  anakku lagi. Pergi!" Tanpa komentar lagi anak sulung Abah Darma itu pergi dengan wajah murung.

        Pada hari berikutnya. Pada waktu yang sama. Senja. Waktu favoritku dan Abah Darma. Aku duduk di belakangnya sembari memerhatikan deburan ombak yang berderai pelan. Aku mendengar dia sedang berbicara dengan orang di seberang telepon. Pelan- pelan terdengar olehku suara orang diseberang telepon itu. Karena Tuhan telah memberikan kelebihan daya pendengaranku, maka dari itu aku bisa mendengar suara orang di seberang telepon itu. Rupanya dia seorang perempuan. Sepertinya dia orang  kaya.

       "Mister, aku pesan  seekor kuda jantan untuk malam minggu nanti.  Ingat ya, dia harus kuat staminanya.  Aku tidak mau yang lemah. Aku kan petualang yang hebat."

       "Ah, kamu bisa saja.  Sabar dong San, kamu tenang saja," ujar Abah Darma. Dia memanggil San pada perempuan itu. Mungkin namanya Susan atau Santi. Atau yang lainnya. Entahlah aku tidak tahu. Abah Darma kembali melanjutkan pembicaraannya. " Aku punya seokor kuda jantan yang tangguh,  masih Muda. Pokoknya dia sanggup membawamu berpetualang semalam suntuk."

        "Ah, sombong sekali perempuan itu, dia bilang seorang petualang sejati? Berlari naik kuda? Apa dia tidak tahu aku juga seorang petualang. Bahkan aku pernah menang juara satu lomba lari se kabupaten. Tapi seperti apa kehebatan orang itu. Kalau dia kemari aku berani mengajaknya adu lari." Gumamku dalam hati. Aku sering mendengar  Abah Darma berbicara kepada orang di seberang telepon dengan menawarkan kuda jantan. Pdahal  setahuku Abah Darma tidak pernah memlihara kuda. Dan selama ini pula aku tidak tahu persis abah darma bisnis apa. Yang aku lakukan hanya  berbakti dan mengabdi pada orang yang telah berbaik hati merawatku selama ini.

         Namun pada malam berikutnya aku benar- benar tahu apa bisnisnya Abah Darma. Seperti biasa aku tahu dari orang yang berbicara disebrang telepon. Pada malam itu aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Mereka kembali membicarakan kuda jantan.

       "Tidak takut haram, jualan kuda jantan?" ujar perempuan yang di panggil San itu membuka pembicaraan.

       "Hahah, sudahlah jangan munafik. Kita kan sama saja." Abah Darma menimpali.

"Ya, betul. Yang penting saling menguntungkan."

       "Betul San. Menjadi geremo itu lebih baik daripada koruptor yang pekerjaanya selalu meyengsarakan rakyat. Kita yang dengan pekerjaan haram, memberikan pekerjaan kepada pemuda- pemuda pengangguran untuk menjadi gigolo, itu lebih baik. Daripada mereka para pejabat terlaknat. Dengan tega mereka merampas hak rakyat, bukannya meningkatkan kesejahteraan, bukannya meningkatkan taraf pendidikan rakyat supaya mereka punya keterampilan dan bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik, malahan mempersempit pekerjaan dan mempersulit ekonomi rakyat. Siapa yang membuat para pemuda dan gadis desa melacurkan diri? Siapa yang membuat mereka begitu? Itu semua para pejabat terkutuk itu." Kata Abah Darma tersungut- sungut.

       "Betul. Kita tidak salah. Yang salah itu mereka. kalau mereka tidak mempersulit ekonomi  rakyat, tidak mungkin rakyatnya seperti ini. Kita kan hanya menolong orang- orang yang butuh pertolongan. Kenapa coba, mereka dengan semena- mena melakukan razia, membui para pelacur itu. Bukannya memberi pekerjaan yang baik?"  Terdiam sejenak. Kemudian orang yang dipanggil San itu kembali berbicara. "Ya, begitulah. Kalau masuk neraka kayaknya duluan mereka."

      "Sudahlah San. Jangan berbicara soal neraka." Jawab Abah Darma sambil berlalu meninggalkan rumah. Spertinya mau menemui perempuan yang dipaanggil San itu.

      "Astaghfirullah Alazim, " aku sangat tidak menyangka kalau Abah Darma melakukan perbuatan seperti itu. Tuhan, aku takut akan terjadi sesuatu kepada Abah Darma dan lebih- lebih terhadap diriku sendiri. Apa yang harus aku lakukan?

***

        Hari berikutnya  aku pulang,  habis bermain dari pantai. Aku sendirian, karena sekarang Abah Darma jarang mengajakku bermain di pantai. aku bisa merasakan, dia sekarang tidak dekat seperti dulu. Padahal semenjak kedua orangtuaku meninggal, Abah Darma lah yang merawatku, dialah yang sanggup berperan sebagai orang tua, tapi kini,  kehidupanku benar- benar seorang yatim piatu.  Mungkin karena dia sekarang lebih fokus berbisnis profesi haram itu. Ya Tuhan.

        Sore itupun aku pulang dengan gontai. Sementara  burung- burung laut beterbangan tidak jauh dariku. Mereka bergerombol hendak pulang ke sarang. Mungkin setelah itu mereka bercengkrama dengan anak- anaknya.  Aku  iri melihat kebersamaan mereka itu. Punya keluarga, lengkap dengan ayah bunda. Tapi tidak denganku, yang sejak kecil ditinggal orang tua, ibuku meninggal  dibunuh  massa karena  disangka mencuri ayam. Begitulah hukum di negeri ini. Seperti  pisau, tajam kebawah, tapi tumpul keatas. Mereka rakayat jelata yang salah sedikit saja dihukum berat, tapi para koruptor malah dibiarkan bebas keliaran. Setelah kematian ibuku, aku pergi tak tentu tujuan, terkatung- katung bagai gelandangan.  Kemudian angin dan hujan deras melanda seluruh kota Jakarta, aku kedinginan, berteduh disebuah pohon dekat pembuangan sampah yang tidak pernah disukai orang. Kemudian aku ditolong oleh abah Darma, orang tua yang bersahaja. Aku menaruh harapan dan masa depanku padanya.  Tapi kini, harapanku kabur.  Abah Darma mulai tidak peduli padaku. Ah, tidak. Tuhan, aku telah mendustakan nikmatmu. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan. Itulah sabdamu yang aku dengar  yang dibacakan oleh hamba- hambamu yang saleh. Seharusnya aku bersyukur, dengan Engkau mengirimkan seorang  Abah Darma, aku masih bisa hidup sampai sekarang, dan tidak mati terhina didekat tumpukan sampah busuk. Aku juga tidak pantas mengingkari kebaikan Abah Darma. Tuhan, ampuni aku.

         Sesampainya aku di halaman rumah Abah Darma. Tiba- tiba aku dikejutkan dengan bau amis yang menyengat hidung. Sementara orang- orang ramai berkerumun di rumah abah Darma. Ada apa sebenarnya? setelah dekat alangkah terkejutnya aku. Aku melihat Abah darma telanjang bulat  berdua dengan seorang pemuda. Tubuhnya terkulai lemah tidak berdaya, tubuhnya bersimbah darah, botol- botol miras berantakan. Aku  hendak masuk ke pintu belakang yang terbuka, yang di dalamnya terdapat Abah Darma dan seorang pemuda itu. Tapi orang orang- mencegahku. Aku meronta, lalu mereka dengan kasar menyeretku ke tempat yang agak jauh.  Oh Tuhan, mereka kejam sekali. Padahal aku ingin menemui Abah Darma untuk terakhir kalinya, orang yang merawatku sejak kecil. Tidak berapa lama, lima orang  polisi  datang. Mereka sepertinya agak keheranan. Terdengar dua diantara polisi itu bercakap- cakap.

        "Ternyata dia adalah Darma Wangsa Pratama, mantan narapidana kasus suap tujuh tahun lalu. Saya tidak menyangka dia beralih profesi menjadi gremo"

        "Benar! Ternyata dia juga penyalur tenaga kerja ilegal ke luar negeri, dan bukan hanya itu, dia ternyata suka kepada sesama jenis sejak tujuh tahun yang lalu"

       "Benarkah?" polisi lainnya keheranan.

"Betul. Dulu kan saya bekerja di rutan tenpat Pak Darma di bina. Jadi saya tahu"

        Astaghfirullah alazim. Ya Tuhan, ampunilah dosa- dosa Abah Darma. Bagaimanapun buruknya dia, dialah yang sudah berjasa merawatku sejak kecil. Dulu aku seorang anak yatim- piatu yang kuyup kedinginan  di tempat sampah di pinggiran kota Jakarta, sampai akhirnya datang Abah Darma menemukanku, lalu merawatku dengan baik. Tapi aku sungguh  bingung mengapa Abah Darma dan manusia- manusia lainnya  sampai melakukan perbuatan yang begitu keji dan menjijikan, dan menganggap baik suatu perbuatan tercela dengan membandingkannya dengan perbuatan tercela lainnya. Padahal aku yang kata mereka hewan paling haram dan najis, tidak sampai melakukan perbuatan seperti itu.  Aku hanyalah seokor anjing yang tidak bisa berbuat apa- apa. Tidak bisa menyadarkan perbuatan tercelanya Abah Darma. Tapi dalam hati aku selalu mendoakan orang yang telah berjasa merawatku sejak kecil. "Abah Darma, semoga Tuhan mengampuni dosa- dosamu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun