Terpana. Bang Brengos terbingung-bingung oleh permintaan itu. Tak terduga, dan ia sama sekali tidak siap akan adanya kemungkinan sedemikian.
"Aku bukan ustad, bukan pula orang berhasil. Meski seujung kuku. Aku hanya suka menulis. Memang ada satu dua nasihat kecil yang kerap tak sengaja terselipkan diantara kisah, tapi. . . . Â !"
"Itu pun cukuplah. Nasihat kecil, satu saja, Bang. Tulisanmu belum satu pun saya baca. Jadi, ceritakan saja. Nggak keberatan 'kan, Bang?"
Dengan berbagai cara berkelit, Bang Brengos hendak menghindar. Ia bercerita hal-hal lain, berganti topik. Ia bahkan pamit ke toilet, lalu berjalan ke teras. Antrian masih cukup panjang, harus sabar menunggu.
Bagi pensiunan, menunggu pun dapat dimanfaatkan dengan banyak hal: berjalan-jalan berkeliling, merenung, beristiqfar, berzikir, dan tentu ngobrol dengan sesama pensiunan. Tapi ketemu dengan Mang Soman membuatnya justru berpikir banyak.
"Apa yang bisa kunasihatkan padanya?"
Baru saja hendak masuk ke ruang tunggu bank, Bang Brengos hampir betabrakan dengan Mang Soman Trimanso yang agaknya sudah lupa atas permintaannya sendiri, yaitu minta dinasihati.
Tapi Bang Brengos tahu diri. Sebelum lelaki itu menuntutnya dengan nasihat yang tadi dijanjikannya, ia harus menjawab. Tapi tiba-tiba ia ingat kawan lain yang sarat nasihat. Mungkin itulah jalan keluar terbaik yang bisa ditemukannya. Â Â
"Sudah ambil uang pensiunannya, Mang? Nah, kita duduk di bangku bawah pohon itu. Aku ingin memberi satu kisah atas permintaanmu akan nasihat. . . . . !" desak Bang Brengos.
*
Mang Soman, lelaki tua itu, pulang dengan hati lega, sebab membawa satu nama: Amang Permana. Siapa lagi ia kalau bukan lelaki hebat yang penuh nasihat.Akalnya bagai sumur tanpa dasar dalam hal menasihat.