Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mang Soman Ketagihan Dinasihati

28 Maret 2022   22:48 Diperbarui: 28 Maret 2022   22:56 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption ilustrasi pensiunan berebut nomor antrean di bank pada awal bulan - makassar.tribunnews.com

Pertemuan dengan kawan lama benar-benar asyik. Sebab jenis apapun yang bernama nostalgia hanya bisa dikupas kembali bersama teman lama.

Tapi tidak bila harus bertemu kawan bernama Amang Permana. Sebab ternyata ia istiqomah pada keajegan, alias belum berubah: ia banyak 'berkotbah'. Meski tanpa satu dalil agama pun disertakan, tapi nasihat belaka kata-katanya.

Sayang kalau dilewatkan nasihatnya, tapi jadi bosan pula lama-lama. Ibarat makan sesuatu yang terlalu enak, lama-lama datang juga rasa jenuh. Dan cerita demikian disimpulkan Bang Brengos dalam tulisan rutin bertema peristiwa ringan sehari-hari. Begini ditulisnya:

Hidup ini penuh dan berlimpah ruah dengan nasihat. Boleh diambil semua bila mau, dan mampu. Tapi rasanya tidak perlu. Karena satu-dua saja cukuplah. Asalkan kita sanggup mengurainya dengan sabar dan benar. Pada akhirnya nanti bakal terangkai jua satu nasihat dengan nasihat lain, hingga akhirnya tak habis-habis terungkap.

*

Selesai menyeterika di ruang tengah, merapikan hasil kerjanya. Lalu memasukkan ke dalam lemari, denganhati-hati. Rapi dan harum dan tertata sesuai urutan dan kombinasi pemakaiannya, itulah salah satu maha karya tak terkira agung para ibu rumah tangga.

Setelahnya Mak Jumilah mengintip tulisan suaminya.

"Mau juga Abang menerima nasihat.. . . . !" itulah sambutan Mak Jumilah di meja makan, selepas hidangan siang tersantap lumat dengan sempurna.

"Yaa, apa mau dikata? Lelaki itu karib lama, mantan aktivis mahasiswa. Otaknya cerdas luar biasa. Orangnya baik, sopan, ramah, jujur, dan tentu saja banyak berteori."

"Bukankah Abang sendiri sudah kenyang dengan pengalaman hidup yang dapat dijadikan nasihat bagi orang lain?" suara Mak Jumilah coba menyodorkan ironi.

"Tidak setiap hari, Mak. Lagi pula, menjadi obyek curhat bukankah juga satu bentuk menyebar kebaikan kepada orang lain? Mana tahu setelah itu perasaan dan pikirannya kembali jernih untuk menjalani hidup dengan sabar dan syukur. . . . !"

Mak Jumilah mengangkat kening, dan Bang Brengos mengangguk-angguk kecil. Mungkin keduanya sedang sama-sama mencocokan gagasan yang berbeda.

"Terserah Abang saja. Tapi mestinya adil, kalau sekali waktu isterimu ini menasihati, sesederhana dan seremeh apapun, camkan dalam hati. Hormati, dan jangan dianggap angin lewat. . . . .  !"

Bagai petir menyambar semau-maunya dan sekena-kenanya, dan tersambarlah daun telinga lelaki tua itu. Bang Brengos tercengang, ada sesuatu yang membuat wajahnya setegang itu. Sambaran itu. Camkan, tegas.

*

Di bawah rindang pohon mahoni, dan selebihnya pepohonan taman asri di Jalan Diponegoro itu, Bang Brengos rajin berkunjung tiap awal bulan.

Tanggal satu, kalau bukan kalender merah. Datang dengan penuh suka-cita, disertai bangga, ditemani harapan. Bakal segera terisi pula dompet kulit aus yang sehari-hari tipis, tanpa penghuni sama sekali, dengan beberapa lembar rupiah.

Bank pensiunan, itu sebutan lain dari namanya yang keren dan wah, dan masih juga setia mengurusi keuangan memelas para pensiunan.

Di sana biasanya Bang Brengos bertemu kawan lama. Lalu berbasa-basi dengan canda, dan selebihnya unjuk keprihatinan. Tetapi tetap saja ada nada berbagi, khususnya berupa nasihat. Sari patinya sudah dituliskan Bang Brengos, diluar dugaannya, itu tentang Mang Soman Trimanso.

Nasihat itu bukan berupa kata-kata, tapi sikap tenang, sabar, dan ungkapan lunak nan sejuk untuk justru minta dinasihati.

"Bang Brengos ini 'kan banyak pengalaman, banyak keberhasilan. Tolong nasihati saya dengan satu atau dua cerita koleksi Abang. . . .!"

Terpana. Bang Brengos terbingung-bingung oleh permintaan itu. Tak terduga, dan ia sama sekali tidak siap akan adanya kemungkinan sedemikian.

"Aku bukan ustad, bukan pula orang berhasil. Meski seujung kuku. Aku hanya suka menulis. Memang ada satu dua nasihat kecil yang kerap tak sengaja terselipkan diantara kisah, tapi. . . .  !"

"Itu pun cukuplah. Nasihat kecil, satu saja, Bang. Tulisanmu belum satu pun saya baca. Jadi, ceritakan saja. Nggak keberatan 'kan, Bang?"

Dengan berbagai cara berkelit, Bang Brengos hendak menghindar. Ia bercerita hal-hal lain, berganti topik. Ia bahkan pamit ke toilet, lalu berjalan ke teras. Antrian masih cukup panjang, harus sabar menunggu.

Bagi pensiunan, menunggu pun dapat dimanfaatkan dengan banyak hal: berjalan-jalan berkeliling, merenung, beristiqfar, berzikir, dan tentu ngobrol dengan sesama pensiunan. Tapi ketemu dengan Mang Soman membuatnya justru berpikir banyak.

"Apa yang bisa kunasihatkan padanya?"

Baru saja hendak masuk ke ruang tunggu bank, Bang Brengos hampir betabrakan dengan Mang Soman Trimanso yang agaknya sudah lupa atas permintaannya sendiri, yaitu minta dinasihati.

Tapi Bang Brengos tahu diri. Sebelum lelaki itu menuntutnya dengan nasihat yang tadi dijanjikannya, ia harus menjawab. Tapi tiba-tiba ia ingat kawan lain yang sarat nasihat. Mungkin itulah jalan keluar terbaik yang bisa ditemukannya.   

"Sudah ambil uang pensiunannya, Mang? Nah, kita duduk di bangku bawah pohon itu. Aku ingin memberi satu kisah atas permintaanmu akan nasihat. . . . . !" desak Bang Brengos.

*

Mang Soman, lelaki tua itu, pulang dengan hati lega, sebab membawa satu nama: Amang Permana. Siapa lagi ia kalau bukan lelaki hebat yang penuh nasihat.Akalnya bagai sumur tanpa dasar dalam hal menasihat.

"Temuilah dia. Bisa kuatur tempat dan waktunya, bahkan juga fasilitasnya," gumam Mang Soman Trimanso mengulang-ulang ucapan Bang Brengos.

Dan ia tersenyum sendiri pada usulan itu. Ia tahu siapa Amang Permana, kenal betul. Lelaki itu tetangganya sewaktu bekerja di luar Jawa. Ia hafal betul tabiatnya, bahkan juga isi nasihatnya. Gara-gara tabiatnya, Mang Soman ketagihan dinasihati.***

 Cibaduyut, 28 Maret 2022 / 25 Sya'ban 1443

Sugiyanto Hadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun