"Tidak setiap hari, Mak. Lagi pula, menjadi obyek curhat bukankah juga satu bentuk menyebar kebaikan kepada orang lain? Mana tahu setelah itu perasaan dan pikirannya kembali jernih untuk menjalani hidup dengan sabar dan syukur. . . . !"
Mak Jumilah mengangkat kening, dan Bang Brengos mengangguk-angguk kecil. Mungkin keduanya sedang sama-sama mencocokan gagasan yang berbeda.
"Terserah Abang saja. Tapi mestinya adil, kalau sekali waktu isterimu ini menasihati, sesederhana dan seremeh apapun, camkan dalam hati. Hormati, dan jangan dianggap angin lewat. . . . . Â !"
Bagai petir menyambar semau-maunya dan sekena-kenanya, dan tersambarlah daun telinga lelaki tua itu. Bang Brengos tercengang, ada sesuatu yang membuat wajahnya setegang itu. Sambaran itu. Camkan, tegas.
*
Di bawah rindang pohon mahoni, dan selebihnya pepohonan taman asri di Jalan Diponegoro itu, Bang Brengos rajin berkunjung tiap awal bulan.
Tanggal satu, kalau bukan kalender merah. Datang dengan penuh suka-cita, disertai bangga, ditemani harapan. Bakal segera terisi pula dompet kulit aus yang sehari-hari tipis, tanpa penghuni sama sekali, dengan beberapa lembar rupiah.
Bank pensiunan, itu sebutan lain dari namanya yang keren dan wah, dan masih juga setia mengurusi keuangan memelas para pensiunan.
Di sana biasanya Bang Brengos bertemu kawan lama. Lalu berbasa-basi dengan canda, dan selebihnya unjuk keprihatinan. Tetapi tetap saja ada nada berbagi, khususnya berupa nasihat. Sari patinya sudah dituliskan Bang Brengos, diluar dugaannya, itu tentang Mang Soman Trimanso.
Nasihat itu bukan berupa kata-kata, tapi sikap tenang, sabar, dan ungkapan lunak nan sejuk untuk justru minta dinasihati.
"Bang Brengos ini 'kan banyak pengalaman, banyak keberhasilan. Tolong nasihati saya dengan satu atau dua cerita koleksi Abang. . . .!"