Puluhan tahun lalu Markadut menjadi jaminan mutu. Orangnya ramah dan gagah, kulit bersih, hidung bangir. Bicaranya lembut tapi tegas. Selalu tersenyum tak kenal waktu. Terlebih saat mendapati kekayaan dan kemuliaannya terus meninggi. "Abang ganteng ahh. . . !" puji ibu-ibu. "Mau kau jadi pacarku nggak, Bang?" goda para gadis belia hingga usia matang, berebutan merayu, silih berganti. Markadut bergeming.
Pujian dan sanjung bertambah-tambah sebab ia dikenal dermawan, jujur, dan menjadi tempat mengadu dan minta pertolongan. Tidak ada sesuatu pun yang cacat dalam hidup dan kesehariannya di mata orang lain.
Tetapi memang, tidak ada orang yang betul-betul sempurna. Pun Markadut. Ia dinilai terlalu keras hati untuk  menumpuk-numpuk harta. Tak malas ia melakukan apa saja demi uang. Usaha apa saja demi kekayaan. Aneka proyek dibuatnya, juga lapangan kerja. Laba menggunung. Kedermawanan tak surut karena itu, bahkan kian menjadi-jadi.
Itu kenapa orang memujinya sebagai sosok jaminan mutu. Sayangnya, sampai usia empat puluh ia lebih pilih membujang. Jangankan dekat wanita, melirik pun tidak. Waktu, pikiran, dan tenaganya fokus untuk uang. Â Beberapa orangtua dengan anak perawan cantik-molek gagal membujuk. Mereka menggunakan cara biasa, jebakan, setengah pakasa, hingga main dukun. Semua kandas.
"Tidak baik pria kaya membujang, Bang. Orang kira nanti kamu ada kelainan.. . . " ucap Bu Salma sat menyodorkan seorang puterinya, dengan nada suara merengek.
"Kekayaan sepeninggalmu kelak untuk siapa? Mestinya 'kan untuk anak-cucu, untuk sanak-saudara, dan untuk isteri. Maka, nikahilah anak perawanku.. . . !" giliran Om Danus mengiba saat memperkenalkan anak sulungnya, yang tampil mirip bintang sinetron.
"Kudidik puteriku dengan sangat baik. Ia kusiapkan menjadi isteri solehah dan taat suami. Kamu tak akan kecewa. . . .!" bisik Pak Sakuri pada kesempatan lain.
Ketiganya kebetulan saling bertemu. Â Tiap orangtua memuji habis-habisan anak masing-masing, dan menjelekkan gadis orang lain. Hingga akhirnya saling bicara keras, terjadi pertengkaran. Â Markadut menggeleng keras-keras. Menolak.
*
Di tengah perasaan jengkel, marah, dan kalut; ada saja yang membuat Markadut tersenyum. Ada lelaki yang berdandang perempuan, ada pula nenek-nenek yang memoles diri sedemikian sehingga mirip boneka, bahkan ada orangutua yang menyodorkan sekaligus ke enam anak pempuannya yang cantik-cantik untuk memilih salah satu ataau sekaligus semuanya.
Markadut hanya bisa tersenyum.Menolak sambil tersenyum. Tawaran terakhir itu entah yang keberapa. Ia tidak suka menyakiti orang lain, siapapun. Sebaliknya ia ingin menyenangkan mereka. Belum ada tawaran yang diterimanya.
Seberapapun gigih mereka membujuk, menghiba, bahkan mengancam. Sekalipun umurnya pun kian matang. Belum tertarik ia untuk terbebani tanggungjawab sebagai suami.
"Mohon maaf. Puluhan orangtua sudah datang. Membawa foto besar anak -anak mereka. Ada perawan yang masih sekolah, yang lain sudah kuliah. Malah ada janda anak tiga. Saya sangat berterima kasih, tapi. . . . . !" ucap Markadut hati-hati dalam bertutur. "Saat ini saya belum tertarik untuk menikah . . . . !"
*
Gagal. Malu. Salah tingkah. Itu yang dirasakan Pak Sakuri. Halus kata-kata penolakan itu. Maknanya sama, penolakan. Kegagalan para orangtua lambat-laun sampai juga di telinga para Mak Comblang komersial. Mereka tak ubahnya makelar barang-barang antik, bahkan calo tanah.
Dalam banyak kesempatan mereka pahlawan. Pemecah persoalan serius para jomblo tak laku. Tapi tak jarang mereka justru serupa mucikari. Seperti oang mau jualan barang. Kepribadian dan budi-pekerti tidak diurusi. Yang penting fisik, dengan segenap ukuran-ukuran yang terangkum dalam kriteria cantik-molek-rupawan-semampai, dan seterusnya.Â
"Mungkin juragan Markadut punya selera beda? Saya bisa mencari apapun pilihanmu, Gan. Sebut saja ciri-cirinya.Tubuh tinggi semampai, kulit kuning-putih atau kehitaman. Sebut saja jenjang pendidikan, kecerdasan, dan kecerdikannya yang Bos mau. " bujuk Tante Valina dengan suara penuh rayu.Â
Markadut berkerut kening.
"Sebut saja mimpi-mimpi juragan. Mata, hidung, dagu, rambut, dan pinggul, maupun mohon maaf. . . . , sebut saja anggota tubuh yang lain. Saya siap berburu, Gan."
Markadut tergelak geli. Tapi tidak bicara sepatah pun. Tante Valina membujuk lebih keras lagi. Lawan bicaranya bungkam. Bahkan ketika perempuan berpenampilan peragawati ia menawarkan dirinya sendiri untuk dijadikan isteri.
"Kalau bingung, ambil saja aku sebagai isteri, Gan. Ditanggung suka, puas, dan ketagihan. . . . . !" ujar Tante Valina seraya membusiungkan dadanya, diiringi terkikik lirih. Â Sebaliknya Maradut ternganga, tak habis-habis heran.
*
Enam bulan kemudian Markadut, alias Badut, alias Kadut, mengumumkan sesuatu tentang dirinya. Ia bulat memutuskan akan menikahi 4 perempuan sekaligus.
Terguncang siapapun yang mendengar itu. Heboh, geger, dan riuh suasana warga kota. Sebab selama ini tak ada pinangan yang diterima. Kapan ia mencari dan mendapatkan pilihannya?
"Sudah gila mungkin si Kadut itu. . .!" komentar seorang Mak Comblang geram.
"Ternyata aku tidak termasuk dalam kriterianya. . . . .!"ujar seorang gadis cantik yang menjadi ketua umum perkumpulan cewek cakep penyuka Markadut. Mereka melongo mendapati siapa yang menjadi pilihan lelaki ganteng itu.
Markadut memilih tiga perempuan tua dan seorang lagi muda. Seorang perawan tua, seorang janda tua, seorang perempuan cacat fisik, dan satu lagi si Mak Comblang gigih, Tante Valina.
Pernikahan sederhana dilakukan sebulan kemudian. Akad nikah dengan undangan terbatas. Cenderung sembunyi-sembunyi. Tapi peristiwa itu sendiri sudah bikin heboh. Juru warta media online dan media sosial justru yang lebih banyak datang meski tanpa diundang.
*
Tiga bulan setelah pernikahan, pada pagi buta, Markadut pergi diam-diam. Ia mengenakan pakaian terjelek yang dimiliknya. Sendirian ke luar rumah. Menuntun sepeda butut. Di ujung jalan aspal ia duduk di sadel, dan mengayuh pedal sepeda pelan-pelan.
Keempat isteri tahu betul rencana itu. Tapi tak hendak mencegah, atau memintanya kembali. Tidak melapor polisi. Markadut dibiarkan raib.
Kabar yang beredar menyebutkan, Markadut sudahi rata semua hartanya. Keempat isteri pun sudah diajari cara mengelolanya. Tak bersisa barang sedikit pun. Markadut sudah cermat memilih mereka.Jujur danpekerja keras, itulah laar-belakang isteri-isterinya. Mereka pun bersedia memenuhi keinginan Markadut. Â Bahkan mereka pun suka berderma atas nama Markadut
*
Belasan tahun berlalu. Suatu siang seorang lelaki tua kurus menengadahkan tngan, mengemis, pada sebuah rumah kecil sederhana tetapi rapi dan asri dipinggiran kota. Seorang perempuan tua ke luar pintu, terbelalak. Terkejut bukan alang-kepalang.Â
"Abang? Markadut?"
"Yaa. Kamu masih ingat aku?"
"Ingat, Bang. Aku menunggumu. Abang juga masih ingat aku, 'kan?"
"Berhasil aku setelah berhari-hari mencari-cari alamat para isteriku. Ke mana yang lain?"
"Sudah meninggal dunia. Harta mereka sudah diwariskan kepada anak-cucu dari suami terdahulu sebelum Abang nikahi, maupun dari anak pungut. Begitu juga harta kekayaanku. Sudah kuserahkan kepada anak-cucuku. Kusisakan rumah ini. Mudah-mudahan Abang tidak menyalahkan keputusan kami itu. . . . . . !"
Markadut memperhatikan perempuan di depannya itu dengan penuh heran. Bagaimana mungkin ia mau menunggu begitu lama, begitu sabar. Dan bahkan tak hendak menikah lagi meski tampilannya masih cantik. Itulah Tante Valina.
"Abang masih suamiku. Aku membuka tangan lebar-lebar kembalinya suami yang belasan tahun kutunggu. Aku menolak lamaran sejumlah lelaki demi Abang."
Markadut tak mampu berkata-kata. Tante Valina mengajak masuk ke dalam rumah. Lalu membuatkan air panas untuk mandi. Juga menyiapkan seperangkat pakaian yang tersisa, yang sudah disimpannya begitu lama.
Sambil menunggu suaminya mandi, Tante Valina menyiapkan the manis panas dan makan siang ala kadarnya. Senyumnya mengembang setiap saat. Kesabaran dan ketulusannya menunggu sekian lama berbuah manis. Ia mampu membuktikan diri, seorang Mak Comblang bukan makelar tanah. Bukan induk semang perempuan nakal. Bukan pula serupa penjual barang yang hanya memburu untung.
Di meja makan siang hari itu Markadut tampil rapi. Tapi tampak grogi dan canggung. Masih ada sisa-sisa ketampanan masa lalunya.
"Ke mana saja selama ini, Bang?"
"Ceritanya panjang. Tapi lain kali saja kuceritakan. . . . . !" ***
Cibaduyut -- Sekemirung, 7 Sept 2021 -- 4 Feb 2022
Sugiyanto HadiÂ
*
Baca juga tulisan lain yang menarik:
Edy Mulyadi si Ciut Nyali, Minta Maaf Sambil Ngeles
Ganjar Pranowo Beri Bantuan Kader PDIP Fajar Nugroho, Pencitraan?
Membuang Sesajen di Semeru, Pontensi Adu Domba, dan Urusan Polisiurusan-polisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H