*
Belasan tahun berlalu. Suatu siang seorang lelaki tua kurus menengadahkan tngan, mengemis, pada sebuah rumah kecil sederhana tetapi rapi dan asri dipinggiran kota. Seorang perempuan tua ke luar pintu, terbelalak. Terkejut bukan alang-kepalang.Â
"Abang? Markadut?"
"Yaa. Kamu masih ingat aku?"
"Ingat, Bang. Aku menunggumu. Abang juga masih ingat aku, 'kan?"
"Berhasil aku setelah berhari-hari mencari-cari alamat para isteriku. Ke mana yang lain?"
"Sudah meninggal dunia. Harta mereka sudah diwariskan kepada anak-cucu dari suami terdahulu sebelum Abang nikahi, maupun dari anak pungut. Begitu juga harta kekayaanku. Sudah kuserahkan kepada anak-cucuku. Kusisakan rumah ini. Mudah-mudahan Abang tidak menyalahkan keputusan kami itu. . . . . . !"
Markadut memperhatikan perempuan di depannya itu dengan penuh heran. Bagaimana mungkin ia mau menunggu begitu lama, begitu sabar. Dan bahkan tak hendak menikah lagi meski tampilannya masih cantik. Itulah Tante Valina.
"Abang masih suamiku. Aku membuka tangan lebar-lebar kembalinya suami yang belasan tahun kutunggu. Aku menolak lamaran sejumlah lelaki demi Abang."
Markadut tak mampu berkata-kata. Tante Valina mengajak masuk ke dalam rumah. Lalu membuatkan air panas untuk mandi. Juga menyiapkan seperangkat pakaian yang tersisa, yang sudah disimpannya begitu lama.
Sambil menunggu suaminya mandi, Tante Valina menyiapkan the manis panas dan makan siang ala kadarnya. Senyumnya mengembang setiap saat. Kesabaran dan ketulusannya menunggu sekian lama berbuah manis. Ia mampu membuktikan diri, seorang Mak Comblang bukan makelar tanah. Bukan induk semang perempuan nakal. Bukan pula serupa penjual barang yang hanya memburu untung.