Markadut hanya bisa tersenyum.Menolak sambil tersenyum. Tawaran terakhir itu entah yang keberapa. Ia tidak suka menyakiti orang lain, siapapun. Sebaliknya ia ingin menyenangkan mereka. Belum ada tawaran yang diterimanya.
Seberapapun gigih mereka membujuk, menghiba, bahkan mengancam. Sekalipun umurnya pun kian matang. Belum tertarik ia untuk terbebani tanggungjawab sebagai suami.
"Mohon maaf. Puluhan orangtua sudah datang. Membawa foto besar anak -anak mereka. Ada perawan yang masih sekolah, yang lain sudah kuliah. Malah ada janda anak tiga. Saya sangat berterima kasih, tapi. . . . . !" ucap Markadut hati-hati dalam bertutur. "Saat ini saya belum tertarik untuk menikah . . . . !"
*
Gagal. Malu. Salah tingkah. Itu yang dirasakan Pak Sakuri. Halus kata-kata penolakan itu. Maknanya sama, penolakan. Kegagalan para orangtua lambat-laun sampai juga di telinga para Mak Comblang komersial. Mereka tak ubahnya makelar barang-barang antik, bahkan calo tanah.
Dalam banyak kesempatan mereka pahlawan. Pemecah persoalan serius para jomblo tak laku. Tapi tak jarang mereka justru serupa mucikari. Seperti oang mau jualan barang. Kepribadian dan budi-pekerti tidak diurusi. Yang penting fisik, dengan segenap ukuran-ukuran yang terangkum dalam kriteria cantik-molek-rupawan-semampai, dan seterusnya.Â
"Mungkin juragan Markadut punya selera beda? Saya bisa mencari apapun pilihanmu, Gan. Sebut saja ciri-cirinya.Tubuh tinggi semampai, kulit kuning-putih atau kehitaman. Sebut saja jenjang pendidikan, kecerdasan, dan kecerdikannya yang Bos mau. " bujuk Tante Valina dengan suara penuh rayu.Â
Markadut berkerut kening.
"Sebut saja mimpi-mimpi juragan. Mata, hidung, dagu, rambut, dan pinggul, maupun mohon maaf. . . . , sebut saja anggota tubuh yang lain. Saya siap berburu, Gan."
Markadut tergelak geli. Tapi tidak bicara sepatah pun. Tante Valina membujuk lebih keras lagi. Lawan bicaranya bungkam. Bahkan ketika perempuan berpenampilan peragawati ia menawarkan dirinya sendiri untuk dijadikan isteri.
"Kalau bingung, ambil saja aku sebagai isteri, Gan. Ditanggung suka, puas, dan ketagihan. . . . . !" ujar Tante Valina seraya membusiungkan dadanya, diiringi terkikik lirih. Â Sebaliknya Maradut ternganga, tak habis-habis heran.