Hanya beberapa orang koruptor yang mengaku bersalah dan meminta maaf. Mungkin mereka membayangkan betapa uang yang ditilap itu mungkin hak orang-orang miskin dan orang-orang yang sangat memerlukan bantuan.
Lalu menjalani hukuman sesuai vonis yang dijatuhkan hakim. Itu pun banyak diantara ang menerima remisi. Bahkan banyak diantara mereka yang hidup bermewah-mewah tatkala berada di balik terali besi.
Beberapa fakta itu membuktikan, masih akan lama lagi negeri ini bebas dari tindak korupsi-kolusi-nepotisme.Â
Penjara khusus koruptor karenanya menjadi persinggahan sangat memalukan sejumlah menteri, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR RI maupun DPRD Provinsi-Kabupaten-Kota, dan para pemangku kepentingan lain. Itu kalau mereka masih punya rasa malu dan ada niat bertobat.
Jadi, sangat wajar banyak anggota DPR RI malas memberi laporan harta kekayaan yang dimiliki.
*
Menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan keharusan bagi anggota DPR RI. Pelaporan itu sendiri dimaksudkan sebagai salah satu upaya pencegahan korupsi.
Menurut  Firli, dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ada perintah untuk melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara. Wajib lapor harta kekayaan dilakukan sebelum, selama, dan setelah melakukan atau menduduki jabatan.
Selain demi mendukung tugas KPK, pelaporan harta kekayaan  merupakan bentuk pertanggungjawaban publik terhadap rakyat yang memilih.
Sayangnya, ketentuan pelaporan harta kekayaan para penyelenggara negara itu tanpa disertai sanksi dan konsekuensi. Akibatnya tingkat kepatuhan rendah. Bahkan pun untuk para "yang mulia".Â
Andai saja mulai dari parpol pengusung memberi ancaman PAW (pergantian antar waktu) pasti tak ada satu pun anggota DPR RI yang lalai, malas, serta mencari-cari alasan untuk tidak melapor.