Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

57 Detik yang Tak Terlupakan Dahsyatnya

29 Mei 2021   01:47 Diperbarui: 29 Mei 2021   01:47 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
57 detik gempa yogya - ogja.idntimes.com

Cukup 57 detik untuk membuat kerusakan hebat. Itulah gempa bumi Yogyakarta Mei 2006. Gempa bumi tektonik kuat itu mengguncang wilayah dua provinsi: DIY dan Jateng. Peristiwanya, Sabtu pagi, 27 Mei 2006 kurang lebih pukul 05:55:03 WIB.

Terkait gempa Yogya, kemarin siang penulis memancing teman-teman sesama anggota WhatsApp untuk bercerita.  Ada yang perlu penulis hubungi secara japri karena mereka ikut grup berbeda.

Paling awal, perlu penulis kutip data seorang teman lulusan Fakultas Geologi, Mas Raharjo Santosa (biasa dipanggil Raharsan), yang diangkumnya dari beberapa sumber:

"Gempa yang sangat mengagetkan penduduk Yogyakarata dan Jawa Tengah merupakan gempa bumi tektonik bermagnitudo terkoreksi 6.3 Skala Richter. Pusat gempa pada 37,6 Kilometer di selatan kota Yogyakarta, pada kedalaman 33 Km, tepatnya di Kali Opak."

"Gempa ini termasuk gempa darat yang terjadi karena adanya pergesaran patahan aktif Kali Opak. Pengaruh gempa sangat dirasakan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng)."

Gempa di Yogya itu memunculkan rasa terkejut, sekaligus terkesima. Berikut tanggapan seorang teman sesama grup WA, Mbak Lusi Yuwantari, tentang penyebab gempa yang berbeda:  "Melas tapi ana sing lucu.. . .," komentarnya. "Biasane Yogya kena gempa merga Gunung Merapi, dan yang terkena warga di daerah utara. Kali ini yang parah malah daerah selatan, terutama daerah Bantul. Bener2 ora tau terpikirkan yo..."

Hoaks Tsunami

Kabar bohong, alias hoaks, beredar cepat di tengah bencana. Ini cerita dari teman lain, Mbak Supriyati, mengenai hoaks yang terlanjur dipercaya. Dengan tuturan bergaya medsos, campuran Indonesia dengan Jawa, dan dipisahkan dengan titik-titik, diceritakannya:

"Isu tsunami itu critane  nyampe ke godean juga, wes ditambah2i..krn jare tsunami wis tekan demak ijo....Kel sy yo percoyo wae ......terus dho ngungsi munggah gunung, .....abis itu.....komunikasi terputus.... Anak wedok mbarep kuliah di yogya......gak bisa dihubungi.....duuuuh ati wis ketar ketir..... Alhamdulillah, semua diparingi selamat."

Masih mengenai hoaks, lain lagi cerita Mbak Tiesni Handayanti.

"Isu tsunami itu critane nyampe tetangga2 merapi view..wes ditambah2i..krn jare tsunami dah nyampe alun2 lor..  Dan sy yo percoyo wae wktu kui krn pas lg panik2 e...."

Diantara yang panik, masih ada yang berpikir jernih. Ia bahkan sempat menyarankan kepada orang-orang yang panik untuk mencari cara lain dalam hal menyelamatkan diri. 

Seperti diceritakan oleh teman Mas Kuspriyo Murdono:  "Disamping gempa susulan yang terus menerus, yang buat tambah membuat  panik, .... juga karena ada isu tsunami. Orang-orang bilang tsunami sudah sampai Dongkelan, sehingga jalananan macet. Mereka mau mengungsi ke Jalan Kaliurang."

"Saya jelaskan kepada teman-teman kompleks perumahan agar tenang. Jalanan macet, dan kalau memang ada tsunami mending naik ke rumah tetangga yang tingkat 3. Akan lebih  aman, dari pada macet di jalan dan kesapu tsunami...!!"

*

Rumah Rusak atau Ambruk Rata Tanah

Masih cerita rekan Mas Kuspriyo: "Waktu gempa tahun 2006, saya pas di Yogyakarta. Di rumah seorang anak saya di Rejowinangun, Kotagede. Rusak, tapi tidak parah. Genting melorot, berjatuhan..!"

"Waktu itu saya dan semua anggota keluarga bertahan di sana. Tapi terjadi lagi gempa susulan, ya..!! Terpaksa pindah ke rumah lama di Ngampilan. Alhamdulillah aman. Semoga gempa tidak terjadi lagi karena menakutkan dan semua orang jadi panik, ya..!!!"

Lain lagi cerita Mbak Rachma Ghani, saat gempa besar terjadi ia berada di luar kota.
"Kebetulan pas gempa saya di Jakarta ... Rumah Gerjen yang rumah kuno n kosong ya kena retak2 ..."

Cerita lain lagi dari Mbak Anny Silviati. Bahasanya khas komunikasi di WA sesama perantau Jawa ke ibukota: "Omahku yo retak2 aja temboke, tp TV iso nggoleng2 tekan lantai.. . .omahe mbak Nanik, adike  mas  Djaji tonggoku, rusak parah. . . . tp alhamdulillahe nggak ada korban jiwa... sing ngalami yo podo trauma."

Ada lagi cerita Mbak Ika Nurbiati yang mengaku malu menuturkannya. Begini, katanya (ini juga tanpa titik, tapi hanya 69 kata): "Sy mau cerita tp malu, waktu Yogya ada gempa sy pas di Yogya, pagi2 jam 5 udah mau brkt, jd seisi rumah bangun, ibu mertua, adik ipar, sama kpnkn2 (baca keponakan-keponakan), sy waktu itu boncengan naik motor sama suami dg tujuan Yogya - Jakarta, pas berhenti sarapan baru lihat TV klu Yogya ada gempa besar, untung wkt itu udah bangun semua, rumah ibu mertua ambruk tinggal atapnya yg kelihatan" Masih ada sedikit terusannya: "Klu wkt itu masih tidur semua, mgkn tdk selamat (meninggal dunia)"

Soal rumah siapa yang rusak, dan bangunan siapa yang ambruk, atau utuh seperti tak tersentuh gempa, memang tidak mudah dimengerti awam. Jadi, menurut Mbak Tiesni: "Mmng sprtinya (kesannya) kayak "pilih2" ya yg rusak..hehe.. Ada yg rmhnya hancur..tp sblhe msh utuh...pdh kondisi awal bangunan podo..."

Yg di Bantul juga gitu.. Ada yg hancur...bbrp rmh..njur jejere msh utuh...let bbrp.rmh ada yg hancur lg...bgt sterusnya.... Yg gempa jogja itu..selatannya ring road selatn  rusaknya  parah.. Tp.utaranya ring road-selatan gak parah...

Masih mengenai cerita rata tanah, Mas Raharsan mendapatkan cerita dari beberapa saksi mata, kemudian ditulisnya, sebagai berikut:  "Beberapa saksi mata mengatakan bahwa sesaat sebelum rumah mereka roboh, terdengar suara gemuruh diikuti air sumur mereka tergoncang goncang sampai muncrat muncrat ke permukaan tanah dan beberapa  sumur hilang airnya berganti dengan pasir."

"Lain lagi dengan saksi yang ada di luar rumah mereka, saat di sawah, melihat langsung tanah yang mereka injak goyang goyang dan diputar putar sehingga kepala jadi pusing, terlihat tanah bergelombang mendekati dia dan terlemparlah dia sejauh 1 meter. Katanya, tanah itu bergelombang seperti gulungan karpet yang digoyangkan. Ia melihat rumah mertua adikku dan rumah di sekelilingnya di mBantul yg rata dgn tanah."

*

Korban Tewas di Tempat

Rumah dan bangunan roboh menjadi salah satu penyebab banyak korban tewas. Berikut cerita dari adik penulis, Joko Santosa, rumah di Rejowinangun dekat Kebun Binatang:  "Pas gempa sopirku (Mas Eko, 40-an tahun) lagi memanasi mesin mobil. Ia panik mau lari ke mana, akhire jongkok persis di sisi tembok. Malangnya, tembok peninggalan zaman Belanda itu ambruk menimpanya. Ia tewas di tempat."

Saat itu adik berdinas di Kendari. Malam hari setelah gempa, ia sudah sampai Yogya. Sedih, melihat rumahnya yang ambruk. Sempat anak sulung ketiban boto pula. Tapi bersyukur, keluarga selamat. Hikmahnya, rumah diperbaiki menjadi dua lantai, lebih besar dan kukuh.

*

Soal korban tewas mbak Tiesni, juga punya cerita. Yang mengalami seorang pramuruti (perawat lansia) ibu mertuanya.  "Ibu mertua kan ada pramuruti-nya.. dia wong Klaten.. Pagi itu lngsung pamit krn dikabari ibunya  kembrukan omahe, meninggal...yg sdh rata dg tanah.. Mbak Pramuruti pnya 2 anak... tinggal serumah dg ibunya tsb."

"Pagi itu anak2 nya dia kluar rumah mau beli sarapan...mlh slamet mrk...ketika kembali rumahe wes roto, n mbah nya sdh meninggal.. Sediiih bngt... "

*

Masih mengenai korban tewas di tempat, Mas Slamet Mulyono, yang tinggal di Kotagede, menceritakan mengenai seorang adik laki-lakinya.  "Saat gempa adik laki-lakiku (46 tahun) sdh bangun dan di luar rumah. Kami bersebelahan rumah. Ia masuk kamar kembli krn anak (laki-laki 7th) msh ada di dalam. Saat itu terjadi goncangan hebat. Ia sdh tdk mampu mengangkat anaknya, dan hanya melindungi dengan badannya."

"Naas...tembok kamar patah 1,5 meter di kedua sisi, dan roboh menimpa bag blkg kepala adikku. Ia meninggal di tempat, tp anaknya selamat krn terlindung tubuh bapaknya.  Skrg anaknya sdh lulus SMK, dan kerja di Kaltim."

Saat persiapan pemakaman normal. Disucikan, disholatkan, dan dimakamkan seperti biasa. Namun, ketika penggalian makam, ada gempa susulan dan isu tsunami. Tenaga gali berlarian. Setelah dhuhur dilanjutkan, pemakaman lancar. Keluarga begitu. Malam sebelum gempa, adik Mas Slamet itu melayat teman di luar kampung sampai tengah malam.

*

Cerita Tak Terputus-Putus

Ada juga cerita yang tak terputus-putus. Hanya dibatasi "koma" selebihnya lanjut sampai akhir. Unik dan menarik ceritanya. Ada 130 kata, tanpa titik, bila dibaca dengan tempo cepat seperti orang nge-rap. Inti cerita, satu keluarga ingin cepat-cepat mengungsi, menggunakan dua mobil. Tapi jalan macet, arahnya tidak kompak. Begitulah cerita Mbak Laksmi:  

"Kangmasku omahe neng Popongan Sleman, sing jenenge gempa yo kroso banget, wedi yen omahe ambruk  njur panik rekane arep lungo ngadoh mulo masku njupuk kunci mobil cepet2 nggowo anake 2 mlebu mobil dinase, nah mbakyu iparku yo njupuk kunci arep nggawa mobil pribadine, anake sing no 3 dicandak digowo mlebu mobil, ning mergo panik ora omong2 sing kamasku ngalor mbakyu iparku ngidul, bareng wis tekan Muntilan, anake bengok2 mergo ibune ora ketok neng mburi kamasku lagi sadar terus bingung mergo anak2 e do nangis, semono ugo mbakyu iparku yo nggoleki mobile masku ora ketok, akhire loro2ne bali omah maneh, loro2ne kaget bareng tekan omah ternyata bedo arah, weruh omahe isih utuh ora sido lungo, ning mobile tetep neng ndalan lan janjian yen gempa gede maneh langsung lungo ning kudu barengan."

*

Sekolah Libur, Jalanan Sepi

Masih cerita Mas Raharsan, dikutip dari seorang teman sesama kuliah di Fakultas Geologi UGM. Gaya bahasa tulisannya disingkat-singkat, masih asli ke luar dari lubuk hati:  "Pagi itu sy br dtg dr jkt, dan baru 10mnt masuk rmh, lg ngobrol dg bojo, anak mbarep lg mandi, anak ragil sdh pakai baju sekolah ..., almari berderak2 dan barang di atas almari tumbang, sgr srmua tak tarik keluar rmh."

"stlh gempa reda sgr brkt ngantar 2 anak ke sekolah ... agak heran jalanan terasa sepi ...., stlh nunggu bbrp saat trnyt sekolah hr itu ditiadakan, kmd sgr pulang lg ke rmh, jalur PP rmh - ke sekolah anak2 tdk melalui daerah yg terdampak berat gempa shg tdk menyangka kerusakan".

*

Berakhir Peluk-Pelukan dalam Tangis

Ada lagi tuturan yang tak kalah panjang dan seru. Disampaikan oleh teman Mbak Tiesni Handayanti. Kali ini lengkap gambaran kondisi yang terjadi, juga dialog, maupun suasana hati dan perasaan, sebagai berikut:

"Pagee aq ngalami itu..krn aq n p.Issa pas di Jogja di Merapi view jln.Kaliurang...berdua aja. Kesaksian ku.. mmng betul di halaman rumah , hamparan rumput rumah ku sprt karpet yg yg di goyang2...tanah nya kliatan... Dan mobil ku  njondhil2 duwur bngt...kabel2 listrik sprt kita klau main lompat tali ... Genteng pada mlorot jatuh.... "

"Aq mlayu metu omah ke arah depn.... Lha p.Issa kok ora metu2 omah..aq mlebu maneh... lha kok  mbalah ijik nang halamn mburi lagi gondelan tower sik nggo toren air... Wallllaaaahhh.... Njur tak.geret metu...kearah dpn...karo wel2an lha genteng pada tiboo.. Agak.lumayan lama juga itu gempa jogja... Sereeeem lah..n tak terlupakan...."

Takut dan kalut, dan panik jadi satu. Ditambah bingung. Itulah yang dirasakan mbak Tiesni. Apalagi ketika komunikasi terputus. Ia sempat menelepon adik-adiknya di Jakarta. Titip anak-anak, ucapnya. Tak lama listrik diputus, padam. Ponsel pun tak ada sinyal.

Mengungsi, menjadi kata kunci. Mobil disiapkan, koper isi surat-surat penting dimasukkan. Pengungsi lain berebut jalan. Mereka berteriak-teriak akan datangnya tsunami. Jalan kaliurang kilometer 11 pun penuh. Jadi 5 jalur. Setelah beberapa saat berpikir, merasa aneh, bukankah mereka ada di ketinggian?

"Stlh reda aq kelilng komplek ternya bnyk yg parah..pada ambrol bangunan2..  Trs bar kui aq mlebu ngomah njur peluk2an karo p.Issa karo nangis wong 2..  Jebul iki mau gempa tenanan n dahsyat... Pagi nya aq turun ke arah selatan...kliling2... Ya Allah...Bantul porak poranda..."

*

Putus komunikasi akibat gempa, begitu cerita Mas Ekasmara, kala itu pejabat pada sebuah perusahaan telekomunikasi. Cerita dalam Jawa di rumah isterinya, dibatasi dengan titik-titik pula. Ada saudara isterinya yang "kembrukan tembok" (tertimpa tembok), sebagai berikut:

"Omah bojoqu nang mBantul wis rata, adik pripan kembrukan tmbok rubuh, meninggal ..  Pas gempa sworon gemuruh medni, lemah koyo ombak .., gempa ngono ra gur sepisan .."

"Wektu kuwi aq ijih nang club house, Sulaeman Golf Course, lg mlaku arep nang hole 1 tee off, lwat tv koq krungu brita mBantul gempa .. Aq tlpon2 raiso nyambung, njuk aq batal golf, tlpon ktr Yogjo tak kon ngeck & ndandani tlpon omahqu .. Bapak mertuaqu kagt, konco2qu sak batalion nggrudug omah mBantul .. "

*

Hilang Akal

Masih ada cerita lain dari Mas Ekasmara: "Nk panik cn akal shat iso ilang .. Aq yo nganti tuku tnda nggo camping, merga wkt kuwi ono sedulur arep mantu, mbok menawa ngko ijih ra aman arep turu nang tnda wa .. Tnda larang2 dituku, saiki mbuh nang ndi barang, pangsionan ngn nk kon tuku nh wis kanglan .."

Dikomentari pula oleh Mbak Tiesni, begini: "Tuuuullll...panik marai  ra nalaaarrr... Aq pas di Jogja, krn ibu mertua di rawat di RS.. Bgtu wes ora gonjang ganjing ndonyane...njur  kmi trs mluncur ke RS.. Pasien dg bed-nya sdh pada di halaman RS..penuh..."

*

Dukungan dan Bantuan 

Solidaritas sosial terbentuk dengan cepat ketika musibah terjadi. Ada yang secara resmi kedinasan, dan tidak sedikit yang merupakan swadaya warga masyarakat. Begitu cerita teman Mbak Ira Wisnuwardani secara kedinasan:  "Nek aku pas gempa Yogya ada di Jkt . Tapi krn pekerjaanku, jadi hari itu juga diperintah segera  menyiapkan obat2an dan alat2.kesehatan utk segera dikirim ke Yogya... Jadi sama anak buah nglembur tekan mbengi."

"Teman2 kantorku banyak yg berangkat ke Yogya utk mem-back up Nakes di sana.  Ada yg lagi keluar kota,  ditelp Kep Dinas-ku malam itu juga langs pul ke Jkt. Waktu itu banyak cerita sedih yg aku dengar.  Klo saudara2ku Alhamdulillah selamat,  cuma rumahnya ada yg retak2."

Cerita memprihatinkan akibat gempa juga dirasakan Mbak Hardanti Primastuti.  Keprihatinan itu mengetuk hatinya untuk ikut membantu. Seperti diceritakannya berikut ini: "Rumahku di Imogiri Bantul yang waktu SD saya tempati, rata dengan tanah. Namun, saat itu kondisi rumah kosong. Kondisi yang sama terjadi pada Sekolah SD dan SMP-ku di Imogiri. Rata tanah. Puji Tuhan, atas usulan saya kepada Dirut Bank Mandiri, gedung SD dan SMP tersebut dibantu untuk dibangun kembali."

"Ya Puji Tuhan, bangunan baru lebih bagus dari yang semula. Waktu saya berkunjung banyak sekali rumah2 yang rata dengan tanah.robohnya.  Kawasan Imogiri memang daerah yg terparah rusaknya, krn pas di atas lempeng patahan."

*

Soal pemberian bantuan juga diceritakan Mas Widyarka, begini ceritanya: " Melihat langsung dahsyatnya akibat gempa, ditambah pemberitaan media, saya mengajak teman-teman satu angkatan di Kementerian Luar Negeri untuk membantu korban gempa di Jogya."

"Kepedulian mereka begitu tinggi. Kami berhasil membangun kembali sebuah Mushola, dan mengisi perlengkapannya, di dekat SMP Negeri 2 Bantul. Kebanggaan kami bertambah, sebab ide merenov mushola datang dari teman non-muslim. Sungguh, ini wujud toleransi yang luar biasa...."

Cerita pemberian bantuan juga disampaikan oleh Mbak Rachma Ghani. "Kebetulan kantor saya dapat bantuan dari lembaga dana untuk renovasi rumah2 yang rusak di Bantul ....yang diutamakan rumah perajin dulu dan rumah2 sekitarnya ..."

"Alhamdulillah, dengan batuan staf lapangan Yayasan kami bisa merenovasi rumah antara 150 hingga 200 rumah, dan memberi sedikit modal untuk para perajin .. "

Bantuan meski sedikit tetaplah berarti, terlebih jika datang dari banyak orang. Cerita bantuan juga dimiliki Mbak Isbinarsih: "Iya betul.. sy sama temen pendengar rri jkt.. sama rri yk ikut membantu sedikit unt korban gempa di daerah Sleman tp lupa tempatnya... sy temenan sama alm pa Saptono guru (SMA) kita ... ayahnya mb Lily.. tp malah blm pernah ketemu mb Lily.. jd ikut nimbrung cerita"

*

Ingat Ibu

Cerita gempa mengingatkan pada sanak-saudara, juga orangtua. Seperti diceritakan Mbak Sri Suliswati. Begini ceritanya: "Wah rame ttg gempa, jadi ingat ibu...waktu itu sy di Jakarta jadi tilp ke Yogya, nggk bisa nyambung, panik krn beritanya luar biasa kerusakan akibat gempa. Ibu di Yogya pd saat gempa baru jalan pagi olga dr rumah ke pasar ngasem, ternyata ibu nggk menyadari klu ada gempa, pas lewat kraton lho kok ada ribut2 dan ada sebagian (bangunan) yg rusak. Pas sampai di rumah baru pirso klu tadi geger pada mencari2 Ibu karena kakak dpt berita klu mau ada tsunami. Saya dengar critanya sesudah tilp bisa tersambung. Alhamdulillah rumah hanya retak dikit."

*

Seorang teman Mas Widyarka Ryananta juga sedang menengok kedua orangtuanya di Yogya ketika gempa terjadi. Berikut penuturannya: "Ketika terjadi gempa, kami sekeluarga sedang menjenguk orang tua di Jl. Perkutut,  Demangan Baru seusai penugasan di KBRI Brussel Belgia, selama hampir 4 tahun. Beberapa hari di Yogya, Sabtu itu jadwal kami kembali ke Jakarta. Pesawat sore hari dari bandara Adisucipto. Tapi gempa besar terjadi.

Menghadapi gempa sebenarnya kami sudah terbiasa. Ketika penempatan di Tokyo (1995 hingga 1998)  gempa sering terjadi, meski tidak besar. Melalui media TV secara rutin mengingatkan cara dan tindakan penyelamatan diri saat gempa.

Tapi gempa di Yogya itu cukup kuat (sekitar 5, 9 skala Richter). Guncangan disertai suara desisan kereta api lewat. Seluruh keluarga orang tua panik. Spontan saya membawa dua anak, istri menggendong anak terkecil usia 2 tahun. Kami menyelamatkan diri ke halaman rumah.

Namun, reaksi Bapak dan Ibu (saat itu masih sugeng) serta adik kurang cepat. Mereka masih di dalam rumah. Saya kembali masuk rumah, Ibu hanya berdiam diri dan berteriak " lindu....lindu.... ". Segera saya tarik Ibu keluar rumah, dan diikuti Bapak dan adik saya. Kami semua jongkok di tengah halaman yang cukup luas, menunggu situasi normal.

Yang sangat mengherankan, tetangga sekitar rumah tidak ada satupun yang keluar rumah. Mereka baru keluar rumah setelah gempa berhenti dan suasana kembali tenang.

Kembali pada rencana pulang. Ternyata bandara Adisucipto rusak dan ditutup. Saya menghubungi pihak maskapai penerbangan. Penerbangan dari Jogya ke Jakarta hari itu dipindahkan ke Adisumarno, Solo.

*

Asyik tteman-teman bercerita, hampir-hampir saya kewalahan menuliskannya kembali. Sebagian sudah dipotong, disingkat, atau dikoreksi penulisannya. Selebihnya asli, tulisan teman-teman saya di grup WA Wasibarat.

Nah, itu saja. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Wallahu a'lam. ***

Sekemirung, 28 Mei 2021 / 16 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun