Menghadapi gempa sebenarnya kami sudah terbiasa. Ketika penempatan di Tokyo (1995 hingga 1998) Â gempa sering terjadi, meski tidak besar. Melalui media TV secara rutin mengingatkan cara dan tindakan penyelamatan diri saat gempa.
Tapi gempa di Yogya itu cukup kuat (sekitar 5, 9 skala Richter). Guncangan disertai suara desisan kereta api lewat. Seluruh keluarga orang tua panik. Spontan saya membawa dua anak, istri menggendong anak terkecil usia 2 tahun. Kami menyelamatkan diri ke halaman rumah.
Namun, reaksi Bapak dan Ibu (saat itu masih sugeng) serta adik kurang cepat. Mereka masih di dalam rumah. Saya kembali masuk rumah, Ibu hanya berdiam diri dan berteriak " lindu....lindu.... ". Segera saya tarik Ibu keluar rumah, dan diikuti Bapak dan adik saya. Kami semua jongkok di tengah halaman yang cukup luas, menunggu situasi normal.
Yang sangat mengherankan, tetangga sekitar rumah tidak ada satupun yang keluar rumah. Mereka baru keluar rumah setelah gempa berhenti dan suasana kembali tenang.
Kembali pada rencana pulang. Ternyata bandara Adisucipto rusak dan ditutup. Saya menghubungi pihak maskapai penerbangan. Penerbangan dari Jogya ke Jakarta hari itu dipindahkan ke Adisumarno, Solo.
*
Asyik tteman-teman bercerita, hampir-hampir saya kewalahan menuliskannya kembali. Sebagian sudah dipotong, disingkat, atau dikoreksi penulisannya. Selebihnya asli, tulisan teman-teman saya di grup WA Wasibarat.
Nah, itu saja. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 28 Mei 2021 / 16 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H