Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Awas, Saling Tuduh Kebablasan Berujung Gaduh

15 Februari 2021   14:15 Diperbarui: 16 Februari 2021   10:24 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap hari ada saja urusan penting yang melibatkan banyak tokoh di negeri ini. Mutakhir, salah satunya soal tuduhan GAR ITB bahwa Din Syamsuddin radikal. 

Maka bermunculanlah keriuhan tanggapan/komentar pro-kontra. Awak media sekadar mengutip pernyataan tokoh dari unggahan di akun Twitter/Facebook pribadi mereka. Hanya sayangnya, media lebih banyak mengutip pernyataan orang-orang yang kontra.

Tentu saja media boleh juga ikut dalam keberpihakan pro-kontra itu. Itu sangat jelas pada pilihan narasumber yang mereka pilih. Dan bagi awak media maupun para pengambil kebijakan redaksional media tidak mudah untuk berlaku seimbang. Persoalan di atas sebenarnya berputar pada ucapan tertentu seorang Din (ucapan itu mungkin berisi tuduhan).

Dan hal itu menjadi dasar GAR ganti menuduh. Gawatnya, tuduhan berkisar soal radikal dan radikalisme dengan sejumlah ucapan/ungkapan yang bersangkutan untuk dijadikan dalih.

Anehnya, sejumlah orang tokoh agama/politik/akademisi dalam posisi kontra menyalahkan (dalam berbagai variasi pilihan kata) tuduhan demikian. Dan bersamaan dengan itu ganti menuduh (dengan berbagai variasi pilihan kata pula). 

Coba saja cermati alasan mereka kontra, dan ujung-ujungnya (dan ini tak kalah gawat) menyalahkan Pemerintah. Ditambah lagi ada setidaknya dua sosok penting kementerian ikut berkomentar, maka duduk persoalan tidak semakin mengerucut untuk sampai pada benar-tidaknya tuduhan melainkan melebar ke mana-mana.

Ada yang sekadar mendefinisikan istilah kritik dan buzzer, ada yang coba membeda beda pengertian radikal dengan radikalisme, lalu melebar lagi ke Islamophobia, permusuhan dua kubu Pilpres lalu, keruntuhan Pemerintahan dan negara, dan banyak lagi.

*

Selain orang-orang yang aktif ikut dalam mencermati persoalan dan berpihak, tidak sedikit orang yang sekadar jadi pengamat. Dan tulisan ini memilih posisi terakhir itu.

Pilihan ini penting untuk sekadar mengingatkan: berdebatlah sampai berbusa-busa, sampai teler alias pingsan, atau sampai masuk liang kubur kalau perlu; tapi tetaplah dalam koridor berbaik sangka, optimistik setiap persoalan berguna untuk menuju perbaikan, memecahkan persoalan bangsa, keutuhan dan makin kuat-maju-sejahtera NKRI, dan seterusnya. 

Bila tidak, sebaiknya hentikan saja omong-kosong itu. Tapi bisa menggunakan cara lain, tanya langsung kepada Din Syamsudin apakah beliau memang bersikap/berucap radikal dan radikalis, atau tidak. Kalau tidak, selesai persoalan. Kalau ya, teruskan urusannya lewat mekanisme dan aturan yang berlaku. 

Jangan biarkan negara senantiasa gaduh gara-gara sekadar tuduh-menuduh. Orang lain menuduh tidak boleh, giliran diri sendiri dengan seenak perut menuduh. Menganggap orang lain telah berburuk sangka, padahal upaya untuk mengingatkan orang lain disertai pula dengan berburuk sangka.

Bila hal-hal seperti itu tidak direm dan dijaga dengan baik, maka negeri  ini akan terperosok pada jurang tuduh-menuduh, yang memunculkan situasi gaduh, dan pada akhirnya bukan tidak mungkin akan runtuh. Ngeri, dan seperti tidak mungkin. 

Tetapi manakala akar-rumput sudah dilibatkan dalam urusan pelik dalam berbangsa-bernegara (di antaranya soal kebhinnekaan negeri ini) maka maka runtuh itu tinggal menunggu momentum. Dan pasti ada yang diuntungkan bila keadaan itu betul-betul terjadi. 

Ada dalangnya, ada sponsornya, ada pelaku utamanya, ada provokatornya, dan ada pula pemasok amunisi. Keruntuhan dalam kesia-siaan bila tidak cepat disadari upaya pencegahannya.

 *

Maka alangkah baik bila kubu pro dan kontra (dalam persoalan tuduhan kepada Din Syamsudin, dan banyak persoalan lain di negeri ini) duduk bersama dalam satu pembahasan dan pemecahan persoalan dengan kepala dingin, dengan akal sehat, tanpa dilandasi kepentingan buruk terselubung, dan seterusnya. 

Radikal dan radikalisme merupakan tuduhan serius. Kalau benar makin berkembang, marak, dan merajalela bakal parah sekali akibatnya. Kalau kebablasan tak terkendali mengerikan akhirnya.

Media online menjadi sarana murah-meriah untuk berbagai kepentingan ke arah sana. Para penyebar serta penganut maupun penghayat paham radikal maupun radikalisme asli (siapa pun dan bersembunyi di mana pun) pasti teramat bersukacita bila akhirnya negeri ini bubar-jalan.

Kalau persoalan hanya sekadar istilah "kritik" maka kembalilah pada pengertian sederhana: menegur, mengingatkan, memberi saran/usulan. Tidak harus dengan geram dan mengancam.

Mungkin Din betul hanya mengkritik, dan karena itu tidak perlu dipermasalahkan ke ranah radikal atau radikalisme. Tetapi bersamaan dengan itu mari belajar kembali arti sebenarnya dari tindakan mengkritik. Pasti ada batas-batasnya, ada pula persyaratannya, ada penyesuaian dengan situasi-kondisi, ada jalan keluar pemecahan, dan terutama ada pula cara terbaik yang harus ditempuh.

Dan penting, kritik disertai data/fakta secukupnya. Kritik tidak didasari rasa benci dan antipati. Lebih baik lagi bila disertai pemecahan masalah, dan jalan keluar. Jangan berlagak mengkritik padahal menyusupinya dengan permusuhan, adu-domba, hoaks, merasa benar sendiri, dan seterusnya.

*

Berbagai nama tokoh dengan segenap ungkapan mereka terus bermunculan ramai dibahas media arus utama maupun media online, dan masing-masing membawa arti pentingnya masing-masing. 

Bangsa ini tidak beranjak semakin cerdas-berbudaya-berakhlak mulia bila setiap persoalan dibawa ke urusan tuduh-menuduh, hingga bikin kisruh, bahkan gaduh dan rusuh. Pilpres terakhir sudah lama lewat tetapi aroma rusuh masih terasa gaungnya hingga kini.

Itu mengapa sosok yang mampu bersikap dan berucap menyejukkan, mendamaikan, solutif, dan berjiwa besar untuk bangsa ini perlu terus dimunculkan. 

Media arus utama (lokal-regional dan nasional) mestinya menjadikan mereka sebagai narasumber dan rujukan utama. Jangan malah mencari narasumber "para vokalis" yang gemar belaka ikut-ikutan mengompori, meramaikan, dan sekadar cari panggung membuatnya semakin riuh.

Atau, jangan-jangan tokoh ideal dan mumpuni, serta mampu bersikap layaknya seorang negarawan seperti itu sudah tidak ada lagi di negeri ini? Mungkinkah mereka termasuk kelompok "silent majority" yang tertelan ingar-bingar dan euforia minoritas vokalis? Entah. Tetapi semoga kekhawatiran di atas tidak pernah terjadi. ***

Sekemirung, 15 Februari 2021  / 5 Rajab 1442

Simak tulisan menarik sebelumnya:
cerpen-momongan
cerpen-dompet-kosong
/guru-kompetensi-dan-tanggalkan-dulu-predikat-itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun