*
Keluar dari pintu besi yang besa itu, ketiganya termangu-mangu mengingat pengalaman yang tak terduga: menjadi pesakitan. Seenak-enaknya hidup di penjara, lebih enak menjadi pekerja srabutan. Meski tidak selalu mendapat upah, meski tak jarang bekerja begitu berat dari pagi sampai malam; menjadi orang bebas tetaplah lebih menyenangkan.
"Ke mana kita, Pak?" tanya Jarwan.
"Langsung ke rumah?" sambung Jarwan.
Lik Klawit tidak menjawab. Dan sepanjang jalan memang tidak ada percakapan. Mereka beriringan berjalan ke desa mereka. Belasan kilo jauhnya.
Jelang tengah malam, pada sebuah desa yang mereka lewati sebuah kegaduhan sedang terjadi. Heboh, warga berlarian. Berteriak-teriak. Obor dan senter berkelebatan. Lalu entah mengapa Lik Klawit dengan kedua anaknya itu ditangkap. Ketiganya tak berkutik.
"Ini pencurinya. Lihat kawan. Ayo, kita hajar sampai mampus. . . . !" teriak warga. Mereka merangsek, dengan membawa beragai peralatan. Senjata tajam dan tumpul.
Beruntung seorang polisi cepat datang. Polisi yang kebetulan warga setempat. Orang-orang berdatang makin banyak. Dan pak Polisi mengenali ketiganya. Â
Lewat perdebatan panjang akhirnya Lik Klawit, Jarwan dan Sardan dilepaskan. Sebuah keberuntungan. Kalau saja si pencuri tidak tertangkap dengan barang curiannya beberapa saat kemudian bisa jadi ketiganya bakal kembali menjadi penghuni Lapas. Kali ini dengan tubuh remuk, tak mampu membela diri.
*
Malam gelap, sepi dan dingin. Bulan sabit tersenyum tipis. Hutan karet, kebun, sawah, dan perdesaan terlewati. Tanpa bicara kecuali pada perasaan dan hati mereka sendiri-sendiri.