Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Soto Sapi di Pasar Desa

30 Oktober 2020   17:35 Diperbarui: 30 Oktober 2020   17:45 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi soto sapi - travelingyuk.com

Tiga orang lelaki itu berjalan beriring-iring di pematang sawah. Pasar desa tujuan mereka. Embun subuh masih lekat di ujung daun-daun jagung muda, di pucuk-pucuk putih bunga ilalang.

Sepanjang jalan mereka berceloteh. Terutama dua lelaki muda itu.

"Soto sapi pasti enak sekali, ya. . . . " seru di bungsu. Ia berjalan setengah berlari paling belakang. Nyaring suaranya memecah sunyi pagi disela suara langkah bapak dan kakaknya terseret-seret. "Kalau boleh, dua mangkok pasti kuhabiskan. Pasti enak sekali. Bahkan sekarang pun aromanya sudah menyengat hidungku. . . . . !"

"Terbalik, Dik. Bukan dua mangkok soto sapi dan separing nasi. Tapi semangkok soto sapi dan dua piring nasi. Rencanaku juga begitu. Tambah tempe goreng, perkedel kentang, kerupuk, dan sambel terasi dua sendok," sahut si sulung. "Dan minumnya? Kamu tahu apa yang paling aku suka?"

"Susu jahe panas . . . . ."

"Betul."

Bapak diam, tidak menyahuti percakapan dua anaknya itu, dan mempercepat langkah. Dalam hati kecil hanya bergumam sendiri: "Mudah-mudahan uangnya cukup."

*

Di kantor Polsek, saat menunggu pemeriksaan.

"Kalau saja kalian bilang baik-baik, berterus-terang minta, pasti kuberi sebanyak yang kalian suka," geram di pemilik kebun kepada para pencuri saat melapor ke kantor polisi.

"Kami khilaf, Pak. Minta maaf. . . . !" ujar si bapak dengan kepala tertunduk.

"Mestinya kalian minta baik-baik. Tapi tidak. Kalian memilih mencuri. Bila kali ini kulepas, siapa berani memastikan lain waktu tidak akan mencuri lagi?" si pelapor meneruskan bicaranya.

"Ya, maaf sekali lagi, Pak. . .  !"

Pemeriksaan berlangsung cepat. Tak berbelit-belit.

Pak Polisi tak mampu tersenyum. Kening berkerut, dan pikiran berbantahan sendiri. "Tugasku menanggapi laporan, dan mengajukan ke pengadilan sesuai pasal pencurian. Berat, tidak sampai hati sebenarnya. Bahan makanan itu tak seberapa harganya. . . . . !"

Seorang saksi yang dihadirkan pun merasa risih dengan pikirannya sendiri. "Kalau kepala desa dan warganya cukup peka perasaan serta hati mereka, tidak harus ada pencurian lantaran lapar. Aku ikut bersalah dalam hal ini."

Dan itulah drama kecil yang tak berarti apa-apa bagi Lik Klawit, dengan dua anaknya usia remaja Jarwan dan Sardan. Tiga lelaki kurus, hitam, dan tampak pucat itu tak punya senyum.

*

Satu setengah bulan Lik Klawit dan dua anaknya terperam dalam ruang berjeruji besi. Kepala Lapas berbaik hati menemui mereka. Bukan hanya menasihati, ia juga memberi sejumlah uang. Tak seberapa tetapi cukuplah.

"Pulanglah kalian. Jangan mencuri lagi. Sekadar kalian tahu. Gara-gara kasus kalian warga dewa menggeruduk, melakukan demo. Polisi di demo. Pemilik kebun singkong di demo. Pengadilan, hingga Lembaga Pemasarakatan di demo. . . . . . !"

"Maafkan kami, Pak. . ." jawab Lik Klawit.

"Mereka minta kalian dibebaskan. Untungnya tidak sampai rusuh. Hati nurani siapapun pasti menyetujui tuntutan itu. Tetapi hukum harus dijalankan. Para penegak hukum digaji untuk pekerjaan itu. Nah, semoga hal ini tidak terulang lagi. . . . . !" ucap Pak Kalapas seraya memeluk satu per satu orang-orang yang hendak dibebaskan itu.

*

Keluar dari pintu besi yang besa itu, ketiganya termangu-mangu mengingat pengalaman yang tak terduga: menjadi pesakitan. Seenak-enaknya hidup di penjara, lebih enak menjadi pekerja srabutan. Meski tidak selalu mendapat upah, meski tak jarang bekerja begitu berat dari pagi sampai malam; menjadi orang bebas tetaplah lebih menyenangkan.

"Ke mana kita, Pak?" tanya Jarwan.

"Langsung ke rumah?" sambung Jarwan.

Lik Klawit tidak menjawab. Dan sepanjang jalan memang tidak ada percakapan. Mereka beriringan berjalan ke desa mereka. Belasan kilo jauhnya.

Jelang tengah malam, pada sebuah desa yang mereka lewati sebuah kegaduhan sedang terjadi. Heboh, warga berlarian. Berteriak-teriak. Obor dan senter berkelebatan. Lalu entah mengapa Lik Klawit dengan kedua anaknya itu ditangkap. Ketiganya tak berkutik.

"Ini pencurinya. Lihat kawan. Ayo, kita hajar sampai mampus. . . . !" teriak warga. Mereka merangsek, dengan membawa beragai peralatan. Senjata tajam dan tumpul.

Beruntung seorang polisi cepat datang. Polisi yang kebetulan warga setempat. Orang-orang berdatang makin banyak. Dan pak Polisi mengenali ketiganya.  

Lewat perdebatan panjang akhirnya Lik Klawit, Jarwan dan Sardan dilepaskan. Sebuah keberuntungan. Kalau saja si pencuri tidak tertangkap dengan barang curiannya beberapa saat kemudian bisa jadi ketiganya bakal kembali menjadi penghuni Lapas. Kali ini dengan tubuh remuk, tak mampu membela diri.

*

Malam gelap, sepi dan dingin. Bulan sabit tersenyum tipis. Hutan karet, kebun, sawah, dan perdesaan terlewati. Tanpa bicara kecuali pada perasaan dan hati mereka sendiri-sendiri.

Jelang pagi keputusan berubah. Lik Klawit yang  mengusulkan. Jarwan dan Sardan tak menolak. Mereka setuju singgah dulu di pasar desa. Hari itu kebetulan hari pasaran. Tujuan mereka hanya satu, makan soto sapi.

Lik Klawit meraba beberapa lembar uang pemberitan Kepala Lapas. Pikirnya, mudah-mudahan cukup untuk mengongkosi rasa lapar mereka. ***

Cibaduyut, 30 Oktober 2020 / 13 Rabiu'ul Awal 1442

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun